Minggu, 06 Desember 2020

VIDEO MIRIP GISEL DALAM PEMBAHASAN

 Beberapa hari yang lalu tersebar sebuah video pornografi yang mirip dengan seorang artis bernama gisel. Video tersebut sangat menghebohkan jagat maya dan menjadi perbincangan panas diantara warganet di indonesia. Memang video tersebut sangat meresahkan karena isi dari videonya berisi tentang adegan persetubuhan yang seharusnya tidak menjadi konsumsi publik. Pada dasarnya bukan masalah siapa pelaku yang ada dalam video tersebut, namun dampak dari menonton video tersebut dapat meracuni generasi penerus bangsa; terlebih lagi anak-anak di bawah umur. Maka penting dan perlu ditindak oleh penegak hukum bagi penyebar video tersebut demi mencegah rusaknya moralitas generasi penerus bangsa. 

Apabila video tersebut benar adanya dilakukan oleh artis yang bernama gisel. Maka, bisa saja dia akan terjerat undang-undang pornografi sebagaimana yang telah menjerat ariel noah. Ariel terjerat pasal 29 UU Pornografi dan masuk bui selama 3,5 tahun. Pasal 29 UU pornografi berbunyi :

Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).

Seandainya video tersebut tidak dimaksudkan untuk konsumsi publik; akan tetapi pasal 29 bisa menjeratnya karena bunyi pasalnya "memproduksi, membuat,...". Dari klausul memproduksi dan membuat ini si pembuat konten yang berbau pornografi dapat dijerat oleh hukum meskipun untuk konsumsi pribadi. Karena pasal tersebut tidak menyebutkan maksud dan tujuan pembuatan konten pornografi. 

Dengan adanya peristiwa ini menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi kita semuanya; bahwa bukan hanya sekedar memproduksi dan membuat konten pornografi jauh lebih penting daripada itu adalah jangan pernah melakukan hubungan seksual di luar yang diajarkan oleh agama. Karena rentetan dari tindakan tersebut bisa sangatlah banyak. Jika yang berbuat asusila usianya di bawah umur maka terjerat UU perlindungan anak, jika hamil di luar nikah maka anak tidak bisa bernasab terhadap bapaknya, jika melakukan aborsi maka terjerat UU tentang aborsi dan masih banyak lagi masalah setelah perbuatan tersebut. Mari menjaga diri kita, keluarga kita, teman kita dari hal-hal yang buruk. 

Terima kasih.

Sabtu, 05 Desember 2020

BERBUAT BAIK KEPADA TETANGGA


Banyak sekali ajaran Nabi Muhammad SAW tentang moralitas, mulai dari hal-hal yang kecil. Mulai bertutur kata yang baik, menjalin silaturrahim, berbuat baik kepada tetangga, dll.
Dalam pembahasan kali ini saya lebih spesifik membahas masalah tetangga. Memang di zaman ini bertetangga menjadi semakin kompleks bagaikan 2 sisi mata uang. Satu sisi ada tetangga yang baik di sisi uang ada tetangga yang buruk. 
1. Tetangga yang baik
Tetangga yang baik selalu membuat kita nyaman dan tentram. Mereka membantu kita disaat kita dalam kesusahan. Membuat kita mudah untuk membalas kebaikan mereka. 
2. Tetangga yang buruk
Tetangga yang buruk selalu membuat kita tidak tentram. Selalu menggunjing. Jika kita dalam kesusahan mereka malah terlihat senang. 
Yang perlu menjadi pelajaran dari kedua tipe tetangga tersebut Nabi Muhammad SAW mengajarkan untuk berbuat baik kepada keduanya. Apakah itu tetangga baik ataupun tetangga buruk kita diperintahkan untuk berbuat baik kepada ke
duanya. Sebagaimana hadits : 









Hadits tersebut adalah sebagian kecil ajaran yang mulia dari Nabi Muhammad SAW. Semoga kita bisa berbuat baik kepada siapa saja teelebih kepada tetangga. 
 
 


Selasa, 10 Desember 2013

HAK ATAS TANAH MENURUT UUPA




HAK-HAK ATAS TANAH MENURUT UUPA
(HAK MILIK DAN HAK GUNA USAHA)
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Hukum Pertanahan


Oleh:
Muhammad Iqbal. M           
Rizka Fadhilatin                    
Syamsul Arifin                      




BAB I

PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Agraria atau pertanahan adalah salah satu sistem yang memiliki hukum tersendiri dalam sistem hukum nasional. Yang mana masih banyak diantara masyarakat awam yang belum memahami tentang aturan Agraria itu sendiri.
Sehingga dalam kehidupan sehari-hari, ketika mereka dihadapkan pada persoalan perdata mereka sulit untuk menyelesaikan masalah tersebut karena kurangnya pengetahuan tentang hukum Agraria yang ada di Indonesia. Maka dari itu kami mengangkat judul ini agar supaya kita lebih memahami tentang apa yang harus kita ketahui mengenai persoalan hukum Agraria. Agar dalam menghadapi persoalan yang sesungguhnya kita tidak lagi bingung untuk menentukan mana yang sebenarnya harus kita utamakan.  

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian Hak Milik dan Hak Guna Usaha?
2.      Siapa saja yang berhak memiliki Hak Milik dan Hak Guna Usaha?
3.      Kapan terjadi dan hapusnya Hak Milik dan Hak Guna Usaha?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk menjelaskan pengertian Hak Milik dan Hak Guna Usaha.
2.      Untuk menjelaskan siapa saja yang berhak memiliki Hak Milik dan Hak Guna Usaha.
3.      Untuk menjelaskan kapan terjadi dan hapusnya Hak Milik dan Hak Guna Usaha.








BAB II
PEMBAHASAN
Dasar hukum ketentuan hak-hak atas tanah diatur dalam pasal 4 ayat (1) UUPA, yaitu “Atas dasar hak menguasai dari Negara atas tanah sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum”.[1]
Hak atas tanah bersumber dari hak menguasai dari Negara atas tanah dapat diberikan kepada perorangan baik warga Negara Indonesia maupun warga Negara asing, sekelompok orang secara bersama-sama dan badan hukum baik badan hukum privat maupun badan hukum publik.
  Macam- macam hak atas tanah dimuat dalam Pasal 16 jo. Pasal 53 UUPA, yang dikelompokkan menjadi 3 bidang, yaitu:
1.      Hak atas tanah yang bersifat tetap
Yaitu hak-hak atas tanah ini akan tetap ada selama UUPA masih berlaku atau belum dicabut dengan undang-undang yang baru.
Macam-macam hak atas tanah ini adalah Hak Pakai, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangungan, Hak Pakai, Hak Sewa untuk Bangunan, Hak Membuka Tanah, dan Hak Memungut Hasil Hutan.
2.      Haka atas tanah yang akan ditetapkan dengan undang-undang
Yaitu hak atas tanah yang akan lahir kemudian, yang akan ditetapkan dengan undang-undang. Hak atas tanah ini macamnya belum ada.
3.      Hak atas tanah yang bersifat sementara
Yaitu hak atas tanah ini bersifat sementara, dalam waktu yang singkat akan dihapus dikarenakan mengandung sifat-sifat pemerasan, mengandung sifat feudal, dan bertentangan dengan jiwa UUPA.
Macam-macam hak atas tanah ini adalah Hak Gadai (Gadai Tanah), Hak Usaha Bagi Hasil (Perjanjian bagi Hasil), Hak Menumpang, dan Hak Sewa Tanah Pertanian.

Dari segi asal tanahnya, hak atas tanah dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu:
a.       Hak atas tanah yang bersifat primer
Yaitu hak atas tanah yang berasal dari tanah Negara.
Macam-macam hak atas tanah ini adalah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Atas Tanah Negara, Hak Pakai Atas Tanah Negara.
b.      Hak atas tanah yang bersifat sekunder
Yaitu hak atas tanah yang berasal dari tanah pihak lain. Macam-macam hak atas tanah ini adalah Hak Guna Bangunan atas tanah Hak pengelolaan, Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik, Hak Pakai Bangunan atas tanah Hak pengelolaan, dll.
A.      Hak Milik
1.    Pengertian Hak Milik
               Dalam UUPA, pengertian akan Hak Milik  seperti yang dirumuskan di dalam pasal 20 UUPA yang disebutkan dalam ayat 1, Hak Milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuhi, yang dapat dipunyai orang atas tanah; ayat 2, Hak Milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. “Turun temurun” artinya Hak Milik tidak hanya berlangsung selama hidupnya orang yang mempunyai, tetapi dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya apabila pemiliknya meninggal dunia. “Terkuat” menunjukkan Hak Milik tidak terbatas. Jadi berlainan dengan Hak Guna Usaha atau hak guna bangunan yang jangka waktunya terbatas. “Terpenuhi” artinya Hak Milik itu memberikan wewenang kepada empunya, yang paling luas jika dibandingkan dengan hak yang lain.[2] 
               Pengertian Hak Milik telah dirumuskan dalam pasal 570 KUHPerdata, yang artinya adalah hak untuk menikmati suatu kebendaan dengan leluasa, dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu, dengan kedaulatan sepenunya, asal tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkannya, dan tidak mengganggu hak-hak orang lain.
2.    Subjek hukum yang berhak memiliki Hak Milik atas tanah.
Dalam kaitannya dengan Hak Milik atas tanah ini, maka hanya Warga Negara Indonesia yang mempunyai Hak Milik, seperti yang secara tegas dirumuskan dalam pasal 21 UUPA.
Ayat 1: Hanya Warga Negara Indonesia dapat mempunyai Hak Milik.
Ayat 2: Oleh pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai Hak Milik                      dengan syarat-syarat.
Ayat 3: Orang asing yang sesudahnya berlakunya undang-undang ini memperoleh Hak Milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula Warga Negara Indonesia yang mempunyai Hak Milik dan setelah berlakunya Undang-undang ini kehilangan kewarga negaraannya wajib melepaskan hak itu dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau, Hak Milik itu dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung.
Ayat 4: Selama seorang di samping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing, maka ia tidak dapat mempunyai tanah dengan Hak Milik dan baginya berlaku ketentuan dalam ayat (3) pasal ini.
Dalam kaitannya dengan Hak Milik atas tanah yang hanya berlaku bagi Warga Negara Indonesia ini dapat diketahui di dalam penjelasan umum UUPA dalam angka Romawi II angka 5, bahwa pemilik tanah dipakai asas kebangsaan, yang ditegaskan bahwa sesuai dengan asas kebangsaan tersebut dalam pasal 1 maka menurut pasal 9 jo pasal 21 ayat 1 hanya Warga Negara ndonesia saja yang dapat mempunyai Hak Milik atas tanah, Hak Milik kepada orang asing dilarang (pasal 26 ayat 2). Orang-orang asing dapat mempunyai tanah dengan hak pakai yang luasnya terbatas. Demikian juga pada dasarnya badan-badan hukum mempunyai Hak Milik atas tanah, ialah karena badan-badan hukum tidak perlu mempunyai Hak Milik tetapi cukup hak-hak lainnya, asal saja ada jaminan-jaminan yang cukup bagi keperluan-keperluan yang khusus (Hak Guna Usaha, hak guna bangunan, hak pakai menurut pasal 28, 25 dan 41).
               Meskipun pada dasarnya badan-badan hukum tidak mempunyai Hak Milik atas tanah, tetapi mengingat akan keperluan masyarakat yang sangat erat hubungannya dengan paham keagamaan, sosial dan hubungan perekonomian, maka pemerintah memberikan dispensasi dengan jalan menunjuk badan hukum yang dapat mempunyai Hak Milik atas tanah (pasal 21 ayat 2). Akan tetapi Hak Milik tanah itu haruslah dipergunakan untuk usahanaya dalam bidang sosial dan keagamaan. Dalam hal-hal yang tidak langusng berhubungan dengan bidang itu mereka dianggap sebagai badan hukum biasa. 
Dalam penjelasan umum ini, seperti yang diatur dalam pasal 21 ayat 2 UUPA, pada dasarnya bahwa badan hukum tidak dimungkinkan untuk mempunyai Hak Milik atas tanah, hal ini dikecualikan oleh Undang-undang serta peraturan lainnya, seperti dapat kita lihat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963, bahwa badan-badan hukum yang dapat diberikan Hak Milik adalah:
a.       Bank-bank yang didirikan oleh Negara.
b.      Perkumpulan-perkumpulan koperasi pertanian yang didirikan berdasarkan Undang-undang Nomor 79 Tahun 1958.[3]
c.       Badan-badan keagamaan yang yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/ Agraria setelah mendengar Menteri Agama.
d.      Badan-badan sosial yang yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/ Agraria setelah mendengar Menteri Sosial.

3.     Terjadi Dan Hapusnya Hak Milik Atas Tanah
Secara khusus mengenai terjadi dan hapusnya Hak Milik atas tanah, UUPA menentukan adanya 2 pasal yang berkenaan dengan hal tersebut. Mengenai terjadinya Hak Milik pengaturannya kita jumpai dalam pasal 22 UUPA:
a.       Terjadinya Hak Milik menurut hukum adat diatur dengan peraturan pemerintah.
b.      Selain menurut cara sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini, Hak Milik terjadi karena:
a.       Penetapan pemerintah, menurut cara dan syarat yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah;
b.      Ketentuan Undang-undang.
            Sedangkan mengenai hapusnya Hak Milik disebutkan dalam pasal 27 UUPA:
a.       Tanahnya jatuh kepada Negara:
1.      Karena pencabutan hak berdasarkan pasal 18.
2.      Karena penyerahan dengan suka rela oleh pemiliknya.
3.      Karena diterlantarkan.
4.      Karena ketentuan pasal 21 ayat 3 dan pasal 26 ayat 2.
b.      Tanahnya musnah
            Sebagai perbandingan mengenai hal ini, dapat dikemukakan bagaimana Konsep Rancangan Undang-undang tentang Hak Milik atas tanah yang disiusun oleh Fakultas Hukum Universitas Padjajaran bekerja sama dengan Direktorat Agraria tahun 1979. Dalam rancangan ini empat hal yang penulis kemukakan diatas diatur secara terpisah
1.      Pasal 10
Hak Milik atas tanah dapat terjadi karena: Undang-undang, Penetapan pemerintah, Pembukaan tanah,Tanah timbul.
2.      Pasal 15
Hak Milik atas tanah dapat diperoleh dengan: jual beli, tukar-menukar, hibah atau pemberian, pewarisan, dan wasiat.
3.      Pasal 44
(1)   Peralihan Hak Milik atas tanah dapat terjadi karena: jual beli, tukar-menukar, hibah atau pemberian, wasiat, pewarisan, cara-cara lain yang sah menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2)   Setiap peralihan Hak Milik atas tanah tersebut ayat 1 dilakukan menurut tata cara memperoleh Hak Milik menurut undang-undang yang ini.
4.      Pasal 52
Hak Milik atas tanah hapus karena:
a.       Tanahnya musnah.
b.      Penetapan undang-undang, tanahnya kembali pada penguasa Negara, antara lain karena diterlantarkan, pemiliknya orang asing, pemiliknya yang melebihi penetapan batas maksimum.
c.       Penyerahan dengan suka rela oleh pemiliknya, antara lain: pewakafan, dan penghibahan kepada Negara.
d.      Pengembalian pada penguasa Negara melalui: Pelepasan hak, dan pembebasan tanah.
e.       Pencabutan hak demi kepentingan umum oleh Negara.
  Dengan hanya berlandaskan pada ketentuan pasal 22 dan 27 UUPA saja, maka pembicaraan kita mengenai terjadi dan hapusnya Hak Milik ini hanya berkenaan dengan:
a.       Terjadinya Hak Milik menurut hukum adat.
Atas dasar ketentuan hukum adat, Hak Milik dapat terdjadi karena proses pertumbuhan tanah di tepi sungai atau di pinggir laut. Pertumbuhan tanah ini menciptakan tanah baru yang disebut “lidah tanah”. Lidah tanah ini biasanya menjadi milik yang punya tanah yang berbatasan. Selain itu dapat juga Hak Milik terjadi karena pembukaan tanah. Misalnya yang semula hutan, dibuka atau ditanami oleh seseorang, sehingga ia mempunyai hak utama untuk menanami tanah itu, setelah ditanami maka lahirlah hak pakai, dan hak pakai dalam waktu yang lama bisa menjadi Hak Milik jika usaha atau modal yang ditanam itu terjadi terus-menerus.
b.      Terjadinya Hak Milik karena penetapan pemerintah.
Cara terjadinya Hak Milik yang lazim yaitu yang diberikan oleh pemerintah dengan suatu penetapan. Yang boleh memberikan Hak Milik hanya pemerintah. Seorang pemegang hak atas tanah lainnya tidak boleh memberikan Hak Milik. Yang boleh dilakukannya adalah mengalihkan Hak Miliknya. Tanah yang boleh diberikan oleh pemerintah dengan Hak Milik itu, ialah Tanah Negara. Jadi tidak ada hak pihak lain selain hak Negara. 
c.       Terjadinya Hak Milik karena ketentuan undang-undang.
Terjadinya Hak Milik yang ketiga ini adalah atas dasar ketentuan konversi menurut UUPA. Karena pada tanggal 24 september 1960, semua hak-hak atas tanah yang ada diubah menjadi salah satu hak baru. Perubahan itu disebut konversi. Maka hak-hak yang dikoncersi menjadi Hak Milik , yaitu yang berasal dari: hak Eigendom kepunyaan badan hukum yang memenuhi syarat, hak Eigendom yang pada tanggal itu, dipunyai oleh WNI tunggaldan dalam waktu 6 bulan datang membuktikan kewarganegaraannya di kantor KPT, Hak Milik Indonesia dan hak semacam itu, yang pada tanggal itu dipunyai WNI atau badan hukum yang mempunyai syarat sebagai subjek Hak Milik, hak gogolan yang bersifat tetap.[4]
d.      Hapusnya Hak Milik karena pencabutan hak.
Menurut pasal 18 UUPA untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti rugi yang layak dan menurut cara-cara yang diatur dengan undang-undang. Mengenai pencabutan hak atas tanah ini telah dikeluarkan peraturan pelaksana seperti undang-undang No. 20 Tahun 1961, PP No. 39 tahun 1973, instruksi Presiden No. 9 Tahun 1973. Prosedur untuk pencabutan hak cukup berat, panjang dan rumit. Hal ini dikarenakan pencabutan hak tersebut harus dilakukan oleh presiden melalui keputusan presiden yang akan mencabut hak atas tanah seseorang tanpa yang bersangkutan melakukan suatu pelanggaran hukum. Adanya ketentuan semacam ini menunjukkan kepada kita, bahwa walaupun Hak Milikitu sudah dinyatakan sebagai hak yang terkuat dan terpenuh, akan tetapi bukan berarti mutlak sehingga tidak dapat diganggu gugat. Dengan ketentuan ini, ternyata bilamana kepentingan yang lebih tinggi menghendaki, dapat saja mencabut hak yang sudah diberikan kepada subjek hukum pemegang hak yang bersangkutan.
e.       Hapusnya Hak Milik karena penyerahan dengan suka rela oleh pemiliknya.
Hak Milik juga menjadi hapus jika tanahnya jatuh kepada negara karena diserahkan dengan sukarela oleh pemiliknya. Biasanya penyerahan tanah tersebut dilakukan dengan tujuan agar diberikan kemudian kepada suatu pihak tertentu dengan hak tanah yang baru (Hak Guna Usaha, hak guna bangunan, hak pengelolaan, atau hak pakai). Acara tersebut dikenal dari sudut pemilik sebagai” melepaskan hak” dan dari sudut yang akan menerima haknya sebagai “membebaskan hak”. Acara melepaskan hak atau membebaskan hak itu ditempuh jika suatu pihak bermaksud untuk memperoleh dan menguasai tanah tertentu yang berstatus Hak Milik, sedangkan ia sendiri tidak memenuhi syarat untuk mempunyau hak itu. Mengalihkan Hak Milik itu langsung kepadanya akan mengakibatkan berlakunya pasal 26.
f.       Hapusnya Hak Milik karena tanahnya diterlantarkan.
Hak Milik atas tanah menjadi hapus karena pemiliknya menelantarkan tanah yang bersangkutan. Tanah yang diterlantarkan jatuh kepada negara. Menurut UUPA tanah diterlantarkan jika dengan sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau tujuan dari haknya. Yang berhak menyatakan tanah tersebut dalam keadaan terlantar adalah Menteri Dalam Negeri. Direktur Jendral Agraria atas usul dari Kepala Kantor Agraria Provinsi dan tanahnya kembali menjadi tanah yang dikuasai oleh negara. 
g.      Hapusnya Hak Milik karena melanggar persyaratan yang ditentukan.
Hak Milik seseorang akan mejadi hapus jika persyaratan yang harus ada dan dipunyai pemegang hak sudah dilanggarnya. Persyaratan utamanya sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 21 ayat 1 “hanya warga negara Indonesia yang dapat mempunyai Hak Milik” karena jika kewarganegaraan seseorang hilang dan ada suatu perbuatan/peristiwa hukum tertentu yang menjadikan dia mendapatkan Hak Milik atas tanah, Hak Milik tersebut tidak dibenarkan menurut hukum. Ketentuan mengenai hal ini dicantumkan dalam pasal 21 ayat 3 dan pasal 26 ayat 2, karena Hak Milik tersebut akan menjadi hapus dengan berlakunya kedua pasal tersebut.
h.      Hapusnya Hak Milik karena tanahnya musnah.
Dengan musnahnya tanah yang menjadi objek Hak Milik, maka sang pemilik tidak dapat lagi memanfaatkan tanah yang bersangkutan dan haknya pun menjadi hapus. Menurut Boedi Harsono, Hak Milik sebagai hubungan hukum yang konkret antara suatu subjek dengan sebidang tanah tertentu, menjadi hapus bila tanahnya musnah, karena objeknya tidak ada lagi.
         Mengenai masalah jangka waktu, sesuai dengan sifat aslinya dalam UUPA ditetapkan bahwa Hak Miliktidak terbatas jangka waktu berlakunya. Dapat beralih karena pewarisan dan dapat juga dijadikan jaminan utang.[5]

B.  Hak Guna Usaha
1.   Pengertian Hak Guna Usaha
Menurut pasal 28 ayat (1) UUPA, yang dimaksud dengan Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai oleh Negara, dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam pasal 29, guna perusahaan pertanian, perikanan, atau perternakan. PP No.40 tahun 1996 menambahkan guna perusahaan perkebunan.[6]
Berlainan dengan Hak Milik, tujuan penggunaan tanah yang dipunyai dengan Hak Guna Usaha itu terbatas, yaitu pada usaha pertanian, perikanan, dan peternakan. Dalam pengertian “pertanian” termasuk juga perkebunan. Oleh karena itu maka Hak Guna Usaha tidak dapat dibebankan pada tanah Hak Milik. Hak Guna Usaha hanya dapat diberikan oleh Negara (pemerintah).[7]
Pelaksanaan lebih lanjut mengenai Hak Guna Usaha ini telah ada sejak dikeluarkannya PP Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah.[8]
Ciri-ciri Hak Guna Usaha
a.       Hak Guna Usaha tergolong hak atas tanah yang kuat, artinya tidak mudah hapus dan mudah dipertahankan terhadap gangguan pihak lain.
b.      Hak Guna Usaha dapat beralih yaitu diwaris oleh ahli waris yang empunya hak (pasal 28 ayat 3).
c.       Hak Guna Usaha jangka waktunya terbatas, pada suatu waktu pasti akan berakhir (pasal 29).
d.      Hak Guna Usaha dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani hak tanggungan (hipotek atau credietverband) (pasal 33)
e.       Hak Guna Usaha dapat dialihkan kepada pihak lain, yang itu dijual, ditukarkan dengan benda lain, dihibahkan atau diberikan dengan wasiat (dilegaatkan (pasal 28 ayat 3).
f.       Hak Guna Usaha dapat juga dilepaskan oleh yang empunya, hingga tanahnya menjadi tanah Negara (pasal 34 huruf c).
g.      Hak Guna Usaha hanya dapat diberikan guna keperluan usaha pertanian, perikanan, dan peternakan.[9]  

2.    Subjek Hak Guna Usaha
Yang dapat mempunyai (subjek hukum) Hak Guna Usaha menurut pasal 30 UUPA jo. Pasal 2 PP No. 40 Tahun 1996, adalah:
1.      Warga Negara Indonesia.
2.      Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia (badan hukum Indonesia).[10]
Badan hukum yang tidak didirikan menurut hukum Indonesia atau tidak berkedudukan di Indonesia, tidak diperbolehkan mempunyai Hak Guna Usaha, sungguhpun mempunyai perwakilan di Indonesia. Badan yang demikian hanya dapat menguasai tanah dengan Hak Pakai atau Hak Sewa (pasal 42,45, dan 53)[11]
Menurut Boedi Harsono badan-badan hukum Indonesia itu dapat berupa badan hukum yang bermodal nasional, asing maupun patungan.[12]
3.    Luas Hak Guna Usaha
Luas tanah Hak Guna Usaha adalah untuk perseorangan luas minimalnya 5 hektar dan luas maksimalnya 25 hektar. Sedangkan untuk badan hukum luas minimalnya 5 hektar dan luas maksimalnya ditetapkan oleh kepala Badan Pertanahan Nasional (pasal 28 ayat (2) UUPA jo. Pasal 5 PP No. 40 Tahun 1996).[13]
4.    Terjadinya Hak Guna Usaha
Hak Guna Usaha terjadi dengan penetapan pemerintah. Hak Guna Usaha ini terjadi melalui permohonan pemberian Hak Guna Usaha oleh pemohon kepada Badan Pertanahan Nasional. Apabila semua persyaratan yang ditentukan dalam permohonan tersebut dipenuhi, maka Badan Pertanahan Nasional menerbitkan Surat Keputusan Pemberian Hak (SKPH). SKPH ini wajib didaftarkan ke Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat untuk dicatat dalam Buku Tanah dan diterbitkan sertifikat sebagai tanda bukti haknya. Pendaftaran SKPH tersebut menandai lahirnya HGU (Pasal 31 UUPA jo. Pasal 6 dan Pasal 7 PP No. 40 Tahun 1996)[14]
     
5.    Jangka Waktu 
Pasal 8 PP No. 40 Tahun 1996 mengatur bahwasanya jangk1a waktu Hak Guna Usaha untuk pertama kalinya adalah paling lama 35 tahun, diperpanjang paling lama 25 tahun dan diperbaharui paling lama 35 tahun. Permohonan perpanjangan jangka waktu atau pembaharuan Hak Guna Usaha diajukan selambat-lambatnya dua tahun sebelum berakhirnya jangka waktu Hak Guna Usaha tersebut. Perpanjangan atau pembaharuan Hak Guna Usaha dicatat dalam Buku Tanah pada kantor Pertanahan Kabupaten / kota setempat. Persyaratan yang harus dipenuhi oleh pemegang hak untuk perpanjangan jangka waktu atau pembaharuan hak Guna Usaha adalah:
a.       Tanah masih diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat, dan tujuan pemberian hak tersebut;
b.      Syarat-syarat pemberian hak tersebut terpenuhi dengan baik oleh pemegang hak; dan
c.       Pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak.[15]

6.    Hapusnya Hak Guna Usaha
Dalam Pasal 34 UUPA Tahun 1960 dinyatakan bahwa Hak Guna Hapus karena:[16]
1.      Jangka waktunya berakhir;
2.      Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuai syarat tidak dipenuhi;
3.      Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktu berakhir;
4.      Dicabut untuk kepentingan umum;
5.      Diterlantarkan;
6.      Tanahnya musnah;
7.      Ketentuan dalam pasal 30 ayat (2).















BAB III
PENUTUP
A.          Hak Milik
1.        Pengertian Hak Milik
Hak Milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuhi, yang dapat dipunyai orang atas tanah; ayat 2, Hak Milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
2.        Subjek hukum yang berhak memiliki Hak Milik atas tanah.
Sesuai pasal 21 UUPA.
Ayat 1: Hanya Warga Negara Indonesia dapat mempunyai Hak Milik.
Ayat 2: Oleh pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai Hak Milik dengan syarat-syarat.
Ayat 3: Orang asing yang sesudahnya berlakunya undang-undang ini memperoleh Hak Milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan,
Ayat 4: Selama seorang di samping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing, maka ia tidak dapat mempunyai tanah dengan Hak Milik.
3.        Terjadi Dan Hapusnya Hak Milik Atas Tanah
Terjadinya Hak Milik pengaturannya kita jumpai dalam pasal 22 UUPA:
a.    Terjadinya Hak Milik menurut hukum adat diatur dengan peraturan pemerintah.
b.    Selain menurut cara sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini, Hak Milik terjadi karena:
1)        Penetapan pemerintah, menurut cara dan syarat yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah;
2)        Ketentuan Undang-undang.
Hapusnya Hak Milik disebutkan dalam pasal 27 UUPA:
a.         Tanahnya jatuh kepada Negara:
1)      Karena pencabutan hak berdasarkan pasal 18.
2)      Karena penyerahan dengan suka rela oleh pemiliknya.
3)      Karena diterlantarkan.
4)      Karena ketentuan pasal 21 ayat 3 dan pasal 26 ayat 2.
b.        Tanahnya musnah
B.           Hak Guna Usaha
1.        Pengertian Hak Guna Usaha
Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai oleh Negara, dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam pasal 29, guna perusahaan pertanian, perikanan, atau perternakan
2.        Subjek Hak Guna Usaha
Subjek hukum Hak Guna Usaha menurut pasal 30 UUPA adalah:
a.    Warga Negara Indonesia.
b.    Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia (badan hukum Indonesia).
3.        Luas Hak Guna Usaha
Luas tanah Hak Guna Usaha adalah untuk perseorangan luas minimalnya 5 hektar dan luas maksimalnya 25 hektar. Sedangkan untuk badan hukum luas minimalnya 5 hektar dan luas maksimalnya ditetapkan oleh kepala Badan Pertanahan Nasional
4.        Terjadinya Hak Guna Usaha
Hak Guna Usaha terjadi dengan penetapan pemerintah. Hak Guna Usaha ini terjadi melalui permohonan pemberian Hak Guna Usaha oleh pemohon kepada Badan Pertanahan Nasional. Apabila semua persyaratan yang ditentukan dalam permohonan tersebut dipenuhi, maka Badan Pertanahan Nasional menerbitkan Surat Keputusan Pemberian Hak (SKPH). SKPH ini wajib didaftarkan ke Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat untuk dicatat dalam Buku Tanah dan diterbitkan sertifikat sebagai tanda bukti haknya.
5.        Jangka Waktu
 Pasal 29:
(1)      Hak Guna Usaha diberikan paling lama 25 tahun.
(2)      Untuk perusahaan yang memerlukan waktu yang lebih lama dapat diberikan Hak Guna Usaha-usaha untuk waktu paling lama 35 tahun.
(3)      Atas permintaan pemegang hak dan mengingat keadaan perusahaannya jangka waktu yang dimaksud dalam ayat 1 dan 2 pasal ini dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 25 tahun.
6.        Hapusnya Hak Guna Usaha
Dalam Pasal 34 UUPA Tahun 1960 dinyatakan bahwa Hak Guna Hapus karena:
1.         Jangka waktunya berakhir;
2.         Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuai syarat tidak dipenuhi;
3.         Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktu berakhir;
4.         Dicabut untuk kepentingan umum;
5.         Diterlantarkan;
6.         Tanahnya musnah;
7.         Ketentuan dalam pasal 30 ayat (2).






















DAFTAR PUSTAKA

Boedi Harsono. 2005. Hukum Agraria Indonesia,  Jilid I. Jakarta : Djambatan                                  
Efendi Perangin. 1991. Hukum Agraria di Indonesia. Jakarta :Rajawali

Urip Santoso. 2008. Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah. Jakarta: Kencana

Soesilo dan Pramudji R. 2008. Kitab Undang-undang Hukum Perdata. ----------: Rhedbook Publisher

Sudaryo Soimin. 1994. Status Hak dan Pembebasan Tanah. Jakarta: Sinar Grafika

Supriadi. 2009. Hukum Agraria. Jakarta: Sinar Grafika





[1] Soesilo dan Pramudji R. Kitab Undang-undang Hukum Perdata. (Rhedbook Publisher, 2008), hal. 560
[2] Efendi Perangin. Hukum Agraria di Indonesia, (Jakarta : Rajawali,1991), hal. 236-237
[3] Sudaryao Soimin. Status Hak dan Pembebasan Tanah. (Jakarta: Sinar Grafika, 1994), hal. 3-5
[4] Ibid., hal. 242-243
[5] Boedi Harsono. Hukum Agraria Indonesia,  Jilid I. (Jakarta : Djambatan, 2005), hal. 286
[6] Urip Santoso. Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah, (Jakarta: Kencana, 2008), hal. 99
[7]  Efendi Perangin. Op. cit, hal. 258
[8]  Supriadi. Hukum Agraria, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal. 110
[9]  Efendi Perangin. Op. cit, hal. 259-260
[10] Urip Santoso. Op. cit., hal. 99
[11] Efendi Perangin. Op. cit., hal. 263
[12] Boedi Harsono. Op. cit., hal. 287
[13] Urip Santoso. Op. cit., hal. 99
[14] Ibid., hal. 100
[15] Urip Santoso. Op. cit., hal. 100-101
[16]  Supriadi. Op. cit., hal. 114