Minggu, 01 September 2013

DHIHAR DAN ILA'



DHIHAR DAN ILA’

PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Segala puji bagi Tuhan semesta alam, karena atas limpahan rahmatnyalah sehingga makalah ini dapat rangkum. Salawat dan salam kita peruntuhkan pada baginda Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa pelita kehidupan pada kita semua.
Kami mengengkat tema tersebut dengan tujuan agar kita lebih memahami tentang seluk –beluk zhihar dan ila’ baik itu asbabun nuzul ataupun kandungan kata yang masih rancuh untuk dipahami. Agar dalam kehidupan sehari-hari nantinya kita bisa menjawab permasalahan yang kita hadapi secara langsung.
Jadi, dengan pembahasan ini diharapkan agar kita semua dapat mengambil manfaat darinya.

B.     Rumusan Masalah.
1.      Bagaimana asbabun nuzul ayat zhihar dan ila’?
2.      Bagaimana munasabah ayat zhihar dan ila’?
3.      Bagaimana perbedaan qira’at yang ada dalam ayat zhihar dan ila’?
4.      Apa makna dan kandungan kata dalam penafsiran ayat tersebut?

C.     Tujuan Penulisan.
1.      Menjelaskan asbabun nuzul ayat zhihar dan ila’?
2.      Menjelaskan munasabah ayat zhihar dan ila’?
3.      Menjelaskan perbedaan qira’at yang ada dalam ayat zhihar dan ila’?
4.      Menjelaskan makna dan kandungan kata dalam penafsiran ayat tersebut?





PEMBAHASAN
AYAT- AYAT ZHIHAR
Al – Ahzab: 4 ( Madaniyyah)
$¨B Ÿ@yèy_ ª!$# 9@ã_tÏ9 `ÏiB Éú÷üt7ù=s% Îû ¾ÏmÏùöqy_ 4 $tBur Ÿ@yèy_ ãNä3y_ºurør& Ï«¯»©9$# tbrãÎg»sàè? £`åk÷]ÏB ö/ä3ÏG»yg¨Bé& 4 $tBur Ÿ@yèy_ öNä.uä!$uŠÏã÷Šr& öNä.uä!$oYö/r& 4 öNä3Ï9ºsŒ Nä3ä9öqs% öNä3Ïdºuqøùr'Î/ ( ª!$#ur ãAqà)tƒ ¨,ysø9$# uqèdur Ïôgtƒ Ÿ@Î6¡¡9$# ÇÍÈ  
Artinya : Allah tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar).[1]
Al – Mujadalah: 1-4 (Madaniyyah)
ôs% yìÏJy ª!$# tAöqs% ÓÉL©9$# y7ä9Ï»pgéB Îû $ygÅ_÷ry þÅ5tGô±n@ur n<Î) «!$# ª!$#ur ßìyJó¡tƒ !$yJä.uãr$ptrB 4 ¨bÎ) ©!$# 7ìÏÿxœ ÅÁt/ ÇÊÈ   tûïÏ%©!$# tbrãÎg»sàムNä3ZÏB `ÏiB OÎgͬ!$|¡ÎpS $¨B  Æèd óOÎgÏF»yg¨Bé& ( ÷bÎ) óOßgçG»yg¨Bé& žwÎ) Ï«¯»©9$# óOßgtRôs9ur 4 öNåk¨XÎ)ur tbqä9qà)us9 #\x6YãB z`ÏiB ÉAöqs)ø9$# #Yrãur 4 žcÎ)ur ©!$# ;qàÿyès9 Öqàÿxî ÇËÈ   tûïÏ%©!$#ur tbrãÎg»sàム`ÏB öNÍkɲ!$|¡ÎpS §NèO tbrߊqãètƒ $yJÏ9 (#qä9$s% ㍃̍óstGsù 7pt7s%u `ÏiB È@ö6s% br& $¢!$yJtFtƒ 4 ö/ä3Ï9ºsŒ šcqÝàtãqè? ¾ÏmÎ/ 4 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ׎Î7yz ÇÌÈ   `yJsù óO©9 ôÅgs ãP$uÅÁsù Èûøïtöhx© Èû÷üyèÎ/$tGtFãB `ÏB È@ö6s% br& $¢!$yJtFtƒ ( `yJsù óO©9 ôìÏÜtGó¡o ãP$yèôÛÎ*sù tûüÏnGÅ $YZŠÅ3ó¡ÏB 4 y7Ï9ºsŒ (#qãZÏB÷sçGÏ9 «!$$Î/ ¾Ï&Î!qßuur 4 šù=Ï?ur ߊrßãn «!$# 3 z`ƒÌÏÿ»s3ù=Ï9ur ë>#xtã îLìÏ9r& ÇÍÈ  
Artinya :
1. Sungguh, Allah telah mendengar ucapan perempuan yang mengajukan gugatan kepadamu (Muhammad) tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah, dan Allah mendengar percakapan antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha melihat.
2. Orang-orang diantara kamu yang menzhihar isterinya, (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) isteri mereka itu bukanlah ibunya. Ibu-ibu mereka hanyalah perempuan yang melahirkannya. Dan Sesungguhnya mereka benar-benar telah mengucapkan suatu Perkataan yang mungkar dan dusta. dan Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf, Maha Pengampun.
3. Dan mereka yang mendzihar isterinya, kemudian menarik kembali apa yang telah mereka ucapkan, maka (mereka diwajibkan) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepadamu, dan Allah Mahateliti apa yang kamu kerjakan.
4. Maka barang siapa tidak dapat (memerdekakan hamba sahaya), maka (dia wajib) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Tetapi barang siapa tidak mampu, maka (wajib) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah agar kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. dan Itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang-orang yang mengingkarinya akan mendapat azabyang sangat pedih.[2]
AYAT_AYAT ILA’
Al – Baqarah: 226- 227 ( Madaniyyah)
tûïÏ%©#Ïj9 tbqä9÷sム`ÏB öNÎgͬ!$|¡ÎpS ßÈš/ts? Ïpyèt/ör& 9åkô­r& ( bÎ*sù râä!$sù ¨bÎ*sù ©!$# Öqàÿxî ÒOÏm§ ÇËËÏÈ   ÷bÎ)ur (#qãBttã t,»n=©Ü9$# ¨bÎ*sù ©!$# ììÏÿxœ ÒOŠÎ=tæ ÇËËÐ


Artinya :
226. Bagi orang yang meng-ila' isterinya harus menunggu empat bulan. kemudian jika mereka kembali (kepada isterinya), maka sungguh Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.
227. Dan jika mereka berketetapan hati hendak menceraikan, maka sungguh Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.[3]
ANALISIS AYAT
A.    ASBABUN NUZUL
AYAT- AYAT ZHIHAR
Al – Ahzab: 4
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa pada suatu hari saat Nabi SAW shalat, terlintas di dalam hati beliau ucapan-ucapan kaum munafikin yang shalat bersama beliau, bahwa mereka mempunyai dua hati: satu hati bersama orang kafir dan satu lagi bersamanya (iman). Maka Allah menurunkan ayat ini (QS. 33: 4) yang menegaskan bahwa Allah tidak menciptakan dua hati bagi manusia.[4]
Al-Mujadalah: 1-4
Dalam satu riwayat dikemukakan bahwa Siti Aisyah berkata: “ Maha Suci Allah yang pendengaranNya meliputi segala sesuatu. Aku mendengar Khaulah binti Tsa’labah mengadu tentang suaminya (Aus bin Ash-Shamit) kepada Rasulullah SAW. Akan tetapi aku tidak mendengar seluruh pengaduannya. Ia (Khaulah) berkata: “ Masa mudaku telah berlalu. Perutku terlalu keriput. Aku telah tua Bangka dan tidak akan melahirkan anak lagi, sedang suamiku menzhiharku. Allahumma (Ya Allah), aku mengadu kepadaMu. Tiada henti-hentinya ia mengadu sehingga turunlah Jibril membawa ayat ini yang melukiskan bahwa Allah mendengar pengaduannya, menetapkan hukum zhihar serta melarang berbuat zhihar.[5]


Ayat ila’
Al-Baqarah 226-227
Abdullah bin Abbas mengatakan bahwa ila’ pada zaman Jahiliyah itu selama satu tahun, dua tahun, bahkan lebih lama. Oleh karena itu, surat Al-Baqarah ayat 226 ini diturunkan untuk memberi batas maksimal lamanya ila’, yakni empat bulan.[6]
B.     MUNASABAH
Al – Ahzab: 4
Menurut beberapa ulama, pada ayat sebelumnya Nabi Muhammad SAW diperintahkan untuk mengikuti tuntunan wahyu dan dilarang mematuhi saran-saran munafik dan kafir. Nabi juga dilarang mengikuti yang ini sebagian dan yang itu sebagian (dilarang membagi hatinya), menggabung wahyu Ilahi dengan tuntutan setan, karena Allah tidak menjadikan dua hati bagi seseorang.[7]
Akhir ayat ini menguraikan tentang larangan mempersamakan status hukum anak angkat dengan anak kandung. Adapun ayat setelahnya berisi tentang tuntunan untuk mengikis habis tradisi jahiliyah tersebut.[8]
Al-Mujadalah 1
Menurut Al Biqai surat yang lalu (al-Hadid) diakhiri dengan membuktikan ketidakmampuan mahluk mensyukuri anugerah dan keutamaan yang dilimpahkan Allah. Mendengar suara dan keluhan semua mahluk tanpa terhalangi oleh suara dan keluhan yang lain, merupakan salah satu anugerah keutamaan yang agung. Sebelum menyatakan limpahan anugerah-Nya itu, pada akhir surat al-Hadid terlebih dahulu diuraikan sikap orang-orang Nasrani yang menjadikan Rahbaniyyah sebagai cara hidup mereka, padahal Allah tidak memerintahkan hal itu dan ternyata mereka tidak dapat melaksanakannya dengan baik. Surat al-Mujadalah dipandang relevan dengan surat sebelumnya karena dalam awal surat ini dibahas masalah rahbaniyyah sebagaimana pada akhir surat sebelumnya. Awal surat al–Mujadalah menguraikan tentang zhihar yang pada hakikatnya ada dua macam. Pertama bersifat sementara, dan kedua mutlak. Yang bersifat sementara itu, termasuk dalam kategori Rahbaniyyah karena yang bersangkutan enggan menggauli istrinya dan mengharamkan apa yang dihalalkan Allah SWT. Sebagian sahabat Nabi Muhammad SAW telah menghalangi diri mereka untuk menikmati hal-hal yang dibenarkan Allah padahal tidak ada larangan dari Allah untuk melakukannya, misalnya melakukan zhihar terhadap istrinya guna meraih kesempurnaan ibadah – karena takut berhubungan seks pada siang hari Ramadhan. Bahkan ada di antara mereka yang melakukan zhihar mutlak sehingga istrinya mengadu kepada Nabi SAW.[9]
Mujadalah : 2
Setelah ayat yang lalu menegaskan pengetahuan dan penglihatan Allah yang menyeluruh, termasuk peristiwa yang dialami Khaulah serta perdebatannya dengan Nabi SAW, maka disini Allah memberi putusan tentang masalah zhihar yang menjadi fokus pembicaraan mereka.[10]
Al-Mujadalah 3-4
Setelah ayat dua menguraikan secara gamblang keburukan zhihar dan keharamannya, ayat tiga dan empat ini menguraikan apa yang harus dilakukan oleh siapapun yang menzhihar istrinya, termasuk dalam hal ini kasus Khaulah yang mengadu itu.[11]
Al – Baqarah: 226- 227
            Ayat yang lalu menjelaskan redaksi yang berbentuk sumpah, tetapi tidak dinilai sebagai sumpah yang diucapkan suami terhadap istrinya, dan setelah menjelaskan juga sumpah yang dituntun pertanggungjawabannya, maka ayat ini membahas tentang salah satu bentuk sumpah yang dilakukan suami terhadap istrinya.[12]
Pada akhir ayat ini dijelaskan sedikit tentang talaq dan pada ayat berikutnya dijelaskan tentang iddah serta beberapa ketentuan yang berkaitan dengan talaq.[13]


C.    QIRA’AT
Al- Ahzab:4
Lafad Ï«¯»©9$# dibaca:
اللائ  oleh Ibnu ‘Amir, ‘Ashim, Hamzah, Al Kasai, dan Kholaf
اللاء oleh Al Bazi, Abu Amru dengan mempermudah hamzah dengan dibaca mad dan pendek.
tLafad brãÎg»sàè? dibaca:
tتََظَّهُّرون oleh Nafi’, Ibnu Katsir, dan Abu ‘Amr
تَظّاهرون oleh Ibnu ‘Amir
تُظَاهرون oleh ‘Ashim
تَظَاهرون, ini adalah bacaan dari selain imam 7 .[14]
Al-Mujadalah 1-4
Dalam tafsir al-Munir dijelaskan bahwa ada beberapa cara membaca lafadz brãÎg»sàム, antara lain :
يَظَّهَّرُون oleh Nafi’, Ibnu Katsir, dan Abu Amr
يُظَاهرون oleh ‘Ashim
يَظَّاهرون oleh selain mereka [15]
Al – Baqarah: 226
tLafadz bqä9÷sムdibaca:
Warasy, Assusiy dan Hamzah membacanya dengan cara mewaqafkannya(يُولون  ).[16]
Makna kata dan kandungan kata
Al-Ahzab
Kata ( رجل)  pada firman-Nya: (ما جعل الله لرجل من قلبين) berbentuk nakirah atau indefinite yang ditampilkan dalam bentuk negasi. Ini berarti tidak seorang pun yang memiliki dua hati. Penggalan ayat ini sebagai muqaddimah untuk menyatakan bahwa anak angkat seseorang tidak bisa menjadi persis sama dengan anak kandungnya, sehingga memiliki hak yang sama, tidak juga istri yang dipersamakan dengan ibu kandung menjadi sama dengan ibu dalam keharaman “menggaulinya”. Kedua hal ini berlaku pada masa jahiliyah dan awal masa Islam tetapi dibatalkan melalui surah ini. 
Kata ( جوف ) atau rongga yakni sisi dalam tubuh manusia dan disebutkan untuk lebih mempertegas makna kalbu yang dimaksud ayat ini serta lebih memperjelas bantahan kepada yang mengaku atau percaya bahwa ada manusia yang memiliki dua jantung hati.
Kata ( تظاهرون ) terambil dari kata ( ظهر ) yakni punggung. Dari akar kata inilah lahir kata ( ظهار ) yang dari segi hukum – sekaligus yang dimaksud ayat di atas – adalah “Mempersamakan istri sendiri dengan ibu kandung atau dengan wanita lain yang haram dikawini oleh sang suami keharaman abadi – baik dengan mempersamakannya dengan punggung atau salah satu bagian wanita lain.”
Zhihar ialah Perkataan seorang suami kepada istrinya: punggungmu Haram bagiku seperti punggung ibuku atau Perkataan lain yang sama maksudnya. adalah menjadi adat kebiasaan bagi orang Arab Jahiliyah bahwa bila Dia berkata demikian kepada Istrinya Maka Istrinya itu haramnya baginya untuk selama-lamanya. tetapi setelah Islam datang, Maka yang Haram untuk selama-lamanya itu dihapuskan dan istri-istri itu kembali halal baginya dengan membayar kaffarat (denda).[17]
Kata ( أدعياء ) atau anak-anak angkat adalah bentuk jamak dari kata ( دعى ) yang terambil dari kata ( إدعى ) yakni mengaku. Yang dimaksud dengan ad’iya’ adalah “Anak-anak yang diakui sebagai anak sendiri.” Tetapi biasanya kata ini menujuk pengakuan tersebut disertai dengan kesadaran dan pengakuan yang mengakuinya bahwa sang anak sebenarnya bukan anaknya, hanya dia yang mengangkatnya sebagai anak dan memberinya hak-hak sebagaimana lazimnya anak kandung.
Firman-Nya : ( ما جعل أدعياءكم أبناءكم ) atau tidak menjadikan anak-anak angkat kamu sebagai anak kandung kamu, bukannya melarang pengangkatan anak angkat (adopsi), atau menjadi orangtua asuh, yang dilarangnya adalah menjadikan anak-anak angkat itu memiliki hak serta status hukum seperti anak kandung. Pernyataan ad’iyaakum atau anak-anak angkat kamu, menunjukkan diakuinya eksistensi anak angkat, tetapi yang dicegah adalah mempersamakannya dengan anak kandung.[18]  
Al-Mujadalah
            Kata ( قد ) biasa digunakan untuk menekankan sesuatu, dalam konteks ayat ini adalah didengarnya oleh Allah pengaduan dan perdebatan itu. Sementara ulama memahaminya bahwa dengan kata tersebut Allah mengisyaratkan bahwa Dia pasti mengabulkan ucapan wanita itu yang mengandung pengaduan dan permohonan. Ada juga yang berpendapat bahwa karena ayat di atas menguraikan “didengarnya ucapan wanita itu dan perdebatan yang terjadi” padahal ia ditujukan kepada Rasulullah SAW., maka tentu saja penekanan tentang hal ini tidaklah sesuai, karena pasti Rasulullah SAW. Mengetahui bahwa Allah Maha Mendengar. Atas dasar itu – menurut mereka – kata qad di sini digunakan dalam arti dugaan yang segera akan terjadi, sedang kata mendengar berarti mengabulkan. Nabi SAW. Yang mendengar pengaduan tersebut, memahami benar pengaduan wanita itu, tetapi beliau tidak dapat memutuskan hukum sebelum turunnya tuntunan Allah.
            Kata ( تجادلك ) berbentuk mudlari’ (kata kerja masa kini dan datang), padahal peristiwa itu telah berlalu ketika turunnya ayat ini. Agaknya hal tersebut untuk menghadirkan dalam benak mitra bicara peristiwa yang sungguh menakjubkan itu, yakni diskusi atau debat antara seorang wanita tua dengan utusan Allah SWT. Yang menakjubkan bukan saja debatnya yakni upayanya meyakinkan Rasul tentang kebenaran pandangannya tentang ketidak adilan zhihar, tetapi juga sikap Rasul yang tidak menetapkan hukum sebelum mendapat wahyu atau izin Allah, kemudian yang lebih mengagumkan lagi adalah perkenaan Allah mendengarkan dan menerima pengaduan tersebut.[19]
            Kata (منكم) disebutkan sini karena zhihar hanya dikenal dalam masyarakat arab, bahkan menurun Ibn Asyur hanya dalam masyarakat Madinah yang ketika itu bergaul dengan orang-orang Yahudi.
            Kata (يظاهرون) diambil dari kata (ظهر) yakni punggung. Istri yang digauli diibaratkan dengan kendaraan yang ditunggangi. Orang-orang Yahudi melarang menggauli istri dari belakang. Mereka menganggapnya dapat mengakibatkan lahirnya anak yang cacat. Adapun orang-orang Arab Madinah para pengucap zhihar yang bergaul dengan orang-orang Yahudi itu, bermaksud menekankan keharaman menggauli istrinya dengan menggunakan dua macam penekanan. Yang pertama menjadikannya seperti ibunya, dan kedua menggaulinya dari punggung atau belakang.[20]
            Kata (يتماسّا) diambil dari kata (مسّ) yang secara harfiyah berarti menyentuh. Kata ini biasa digunakan dalam arti persentuhan dua alat kelamin pria dan wanita. Atas dasar itu ada yang memahami demikian. Tetapi ada juga yang memahami dalam arti cumbu antara pusar dan lutut bahkan ada yang lebih ketat lagi dengan mengatakan walau dalam bentuk cumbu yang sekecil-kecilnya.[21]  
Al-Baqarah 226-227
Ila’ adalah sumpah yang dilakukan oleh suami, baik dalam keadaan marah maupun tidak, untuk tidak melakukan hubungan seks dengan istri mereka.[22]










BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
1.                  Asbabun nuzulAl
Ahzab ayat 4 ini karena perkataan kaum munafiqin bahwa mereka memepunyai dua hati: satu hati bersama orang kafir dan satu lagi bersamanya (iman). Adapun Al-Mujadalah: ayat 1-4, Diturunkan karena pengaduan khaulah binti Tsa’labah kepada Rasul bahwa ia tak dapat lagi melahirkan sedang suaminya menzhiharnya maka turunlah Jibril membawa ayat ini yang melukiskan bahwa Allah mendengar pengaduannya, menetapkan hukum zhihar serta melarang berbuat zhihar. Al-Baqarah 226-227 diriwayatkan bahwa Abdullah bin Abbas mengatakan bahwa ila’ pada zaman Jahiliyah itu selama satu tahun, dua tahun, bahkan lebih lama. Oleh karena itu, surat Al-Baqarah ayat 226 ini diturunkan untuk memberi batas maksimal lamanya ila’, yakni empat bulan.
2.                  Munasaba
ayat Al – Ahzab: 4, pada ayat sebelumnya Nabi diperintahkan untuk mengikuti tuntunan wahyu dan dilarang mematuhi saran-saran munafik dan kafir, dilarang membagi hatinya, menggabung wahyu Ilahi dengan tuntutan setan, karena Allah tidak menjadikan dua hati bagi seseorang. Akhir ayat ini menguraikan tentang larangan mempersamakan status hukum anak angkat dengan anak kandung. Adapun ayat setelahnya berisi tentang tuntunan untuk mengikis habis tradisi jahiliyah tersebut. Surat al-Mujadalah dipandang relevan dengan surat sebelumnya karena dalam awal surat ini dibahas masalah rahbaniyyah sebagaimana pada akhir surat sebelumnya. Awal surat al–Mujadalah menguraikan tentang zhihar yang pada hakikatnya ada dua macam. Pertama bersifat sementara, dan kedua mutlak. Al – Baqarah: 226- 227 Ayat yang lalu menjelaskan redaksi yang berbentuk sumpah, tetapi tidak dinilai sebagai sumpah yang diucapkan suami terhadap istrinya, dan setelah menjelaskan juga sumpah yang dituntun pertanggungjawabannya, maka ayat ini membahas tentang salah satu bentuk sumpah yang dilakukan suami terhadap istrinya. Pada akhir ayat ini dijelaskan sedikit tentang talaq dan pada ayat berikutnya dijelaskan tentang iddah serta beberapa ketentuan yang berkaitan dengan talaq.
3.                  QIRA’AT.
Dalam perbedaan cara membaca ayat alqiran oleh para ulama sebagian besar hanya terletak pada panjang pendeknya saja, dan tidak ditemukan perbedaan makna dari perbedaan bacaan tersebut.
4.                  Makna kata dan kandungan kata.  
Al-Ahzab. Kata ( رجل)  pada firman-Nya: (ما جعل الله لرجل من قلبين) berbentuk nakirah atau indefinite yang ditampilkan dalam bentuk negasi. Ini berarti tidak seorang pun yang memiliki dua hati. Kata ( جوف ) atau rongga yakni sisi dalam tubuh manusia dan disebutkan untuk lebih mempertegas makna kalbu yang dimaksud ayat ini serta lebih memperjelas bantahan kepada yang mengaku atau percaya bahwa ada manusia yang memiliki dua jantung hati. Kata ( تظاهرون ) terambil dari kata ( ظهر ) yakni punggung. Dari akar kata inilah lahir kata ( ظهار ). Kata ( أدعياء ) atau anak-anak angkat adalah bentuk jamak dari kata ( دعى ) yang terambil dari kata ( إدعى ) yakni mengaku.
Al-Mujadalah. Kata ( قد ) biasa digunakan untuk menekankan sesuatu, dalam konteks ayat ini adalah didengarnya oleh Allah pengaduan dan perdebatan itu. Kata ( تجادلك ) berbentuk mudlari’, padahal peristiwa itu telah berlalu ketika turunnya ayat ini. Kata (منكم) disebutkan sini karena zhihar hanya dikenal dalam masyarakat arab. Kata (يظاهرون) diambil dari kata (ظهر) yakni punggung. Istri yang digauli diibaratkan dengan kendaraan yang ditunggangi. Orang-orang Yahudi melarang menggauli istri dari belakang. Mereka menganggapnya dapat mengakibatkan lahirnya anak yang cacat. Kata (يتماسّا) diambil dari kata (مسّ) yang secara harfiyah berarti menyentuh. Kata ini biasa digunakan dalam arti persentuhan dua alat kelamin pria dan wanita.
Al-Baqarah 226-227. Ila’ adalah sumpah yang dilakukan oleh suami, baik dalam keadaan marah maupun tidak, untuk tidak melakukan hubungan seks dengan istri mereka.
B.     SARAN
Saran kami kepada semua umat islam pada umumnya dan kepada kami khususnya dalam memahami suatu ayat agar memahami secara mendalam kandungan dari suatu ayat yang kita tafsiri, agar supaya kita tidak salah dalam menentukan hukum yang seharusnya kita pakai dalam kehidupan sehari-hari.
Karena masih banyak diantara masyarakat awam khususnya yang terkadang terlarut dalam menafsiran atau memahami suatu ayat sehingga salah dalam mengambil langkah penentuan hukum suatu maslahat. 




[1]Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an Departemen Agama RI, Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemah Bahasa Indonesia Juz II, (Kudus: Menara Kudus, 2006), h. 418
[2] Ibid., (Kudus: Menara Kudus, 2006), h. 542
[3] Ibid., (Kudus: Menara Kudus, 2006), h. 36
[4] K.H.Q. Shaleh, H. A.A.Dahlan, dkk, Asbabun Nuzul, (Bandung: Diponegoro, 2000), h. 424
[5] Ibid., h. 546-547
[6] Abu Bakar Muhammad bin Abdullah, Ahkamul Qur’an, (Beirut: Darul Fikr, 1988), h. 242
[7] Ibid., Tafsir Al-Misbah 11, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 218
[8] Ibid., h. 222
[9] M. Quraisy Shihab, Tafsir Al-Misbah 14, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 59-60
[10] Ibid., h. 62-63
[11] Ibid., h.65
[12] Ibid., Tafsir Al-Misbah 1, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 483 dan 485
[13] Ibid., h.
[14] DR. Wahbah Zuhaili, Tafsir Al-Munir 11, ( Beirut : Darul Fikr, 2005), h. 250-251
[15] Ibid., Tafsir Al-Munir 14, ( Beirut : Darul Fikr, 2005), h. 378
[16] Ibid., Tafsir Al-Munir 1, ( Beirut : Darul Fikr, 2005), h. 681
[17] Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an Departemen Agama RI, Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemah Bahasa Indonesia Juz II, (Kudus: Menara Kudus, 2006), h. 418
[18] M. Quraisy Shihab, Tafsir Al-Misbah 11, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 219-221
[19] Ibid., Tafsir Al-Misbah 14, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 60-61
[20] Ibid., h. 63
[21] Ibid., h.67
[22] Ibid., Tafsir Al-Misbah 01, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 485

1 komentar: