BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Proses
penyelesaian pewarisan dalam dunia sangatlah beragam, baik pewarisan adat,
barat maupun pewarisan islam. Di Indonesia sendiri memiliki berbagai macam hukum
yang mengatur tentang kewarisan, mulai dari hukum adat, hukum perdata BW sampai
hukum islam sendiri yang terkodifikasi dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Ketika
membahas tentang hukum kewarisan, maka tidak bias terlepas dari adanya unsur
urgen yang dinamakan dengan ahli waris. Ahli waris ini adalah orang yang berhak
mendapat harta warisan. Ahli waris dalam islam terperinci menjadi 2 macam,
yakni ahli waris utama dan ahli waris pengganti.
Pembahasan
tentang ahli waris utama dan ahli waris pengganti sangatlah rumit, karena harus
menggunakan berbagai teori. Oleh karena itu, penulis akan membahas tentang
garis pokok keutamaan dan garis pokok penggantian dalam kewarisan sesuai dengan
kemampuan yang dimiliki penulis.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Apakah pengertian dari garis pokok keutamaan
ahli waris ?
2.
Bagaimanakah pembagian kelompok dalam ahli waris
utama ?
3.
Bagaimanakah pengertian ahli waris pengganti?
4.
Bagaimana ahli waris pengganti menurut KHUPerd
?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
GARIS POKOK KEUTAMAAN
Garis Pokok Keutamaan merupakan
teori dalam kewarisan islam ala Indonesia yang dicetuskan oleh Prof. Drs.
Hazairin, teori ini muncul dari
penelitian beliau tentang ayat-ayat mawaris yang banyak terhimpun dalam surat
an-Nisa’. Dalam meneliti ayat-ayat tentang kewarisan Hazairin berpedoman pada
garis pokok keutamaan yang ada dalam hukum adat Indonesia sebagai acuan awal.[1]
Masih menurut Hazarain, pemakaian
garis pokok penggantian yang terselip dalam an-Nisa’ ayat : 33 itu, mengandung
presupposisi (Iftiradan Muqaddaman) tentang adanya kelompok keutamaan. [2]
Teori Garis Pokok Keutamaan yang
ditawarkan Hazarain dalam bukunya :
Suatu garis hukum yang menentukan
perikutan keutamaan antara golongan-golongan dalam keluarga si pewaris, dalam
arti golongan yang satu lebih diutamakan dari golongan yang lain dengan akibat
bahwa sesuatu golongan belum boleh dimasukkan dalam perhitungan jika masih ada
golongan yang utama.[3]
Hazairin membagi Kelompok Keutamaan
menjadi empat macam yaitu :
1.
Keutamaan pertama, ada 3 :
a.
Anak-anak laki-laki dan perempuan, atau
sebagai dzawul faraidh atau sebagai dzawul ‘ikarabat, berarti mawali bagi
mendiang-mendiang anak laki-laki dan perempuan. Dasarnya adalah surat An-Nisa’
ayat 11 dan 33.
b.
Orang tua (ayah dan ibu) sebagai dzawul furud.
Dalam ini dasarnya adalah Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 11.
c. Janda atau
duda sebagai dzawul furud. Hal ini dijelaskan di dalam surat An-Nisa’ ayat 12.
2.
Keutamaan kedua, ada 4 :
a.
Saudara laki-laki atau perempuan atau sebagai
dzawul furud atau sebagai dzawul karabat, berarti mawali bagi mendiang saudara
laki-laki atau perempuan dalam hal kalalah. Kedudukan ini dilandasi dalil naqli
yaitu Surat An-Nisa’ : 12
b.
Ibu sebagai dzawil furud
c.
Ayah sebagai dzawil qarabah
d.
Janda atau duda sebagai dzawil furud
3.
Keutamaan ketiga, ada 3 :
a.
Ibu sebagai dzawil furud
b.
Ayah sebagai dzawil qarabah
c.
Janda atau duda sebagai dzawil furud
4.
Keutamaan keempat, ada 3 :
a.
Janda atau duda sebagai dzawil furud
b.
Datuk dan mawalli untuk mendiang datuk
c.
Nenek dan mawalli untuk mendiang nenek[4]
B.
GARIS POKOK PENGGANTIAN
Istilah waris pengganti mempunyai
padanan arab at-tauris bi at-tanzil, dalam bahasa inggris representation
dan dalam bahasa belanda adalah plaatservulling.
Sebelum kita melangkah lebih jauh
membahas tentang ahli waris pengganti menurut islam, tidak salah kiranya jika kita flash back
untuk mengetahui ahli waris pengganti dalam hukum adat di Indonesia. Karena
menurut al- Yasa Abu Bakar, Hazairin menggunakan konsep ahli waris pengganti
menurut adat sebagai acuan atau pembanding ketika menjelaskan ahli waris karena
penggantian menurut qur’an.
Ahli waris tersebut dalam hukum adat adalah
orang-orang yang hubunganya dangan pewaris diselingi oleh ahli waris, tetapi
telah meninggal lebih dulu daripada pewaris. Sebab, sekiranya ahli waris itu
masih hidup, tentu ahli waris pengganti tidak perlu diperhitungkan. [5]
Konsep Hazairin Tentang Ahli Waris Pengganti
Pada dasarnya hazairin
mengintepretasikan hukum kewarisan islam bersifat bilateral. Beliau berargumen
bahwa ketika prinsip patrilineal atau matrilineal dipakai dalam kewarisan islam
maka, akan melahirkan kesatuan kekeluargaan yang dalam ilmu pengetahuan kerap
kali disebut klan.[6]
Sistem kewarisan patrilineal yang dianut kalangan Sunni
sebenarnya terbentuk dari struktur budaya Arab yang bersendikan sistem
kekeluargaan yang bercorak patrilineal. Pada masa terbentuknya fiqh, ilmu
pengetahuan mengenai bentuk-bentuk masyarakat belumlah berkembang. Sehingga
para fuqaha dalam berbagai mazhab fiqh belum memperoleh perbandingan mengenai
berbagai sistem kewarisan dalam berbagai bentuk masyarakat. Oleh karena itu
tidaklah mengherankan bila hukum kewarisan yang kemudian disusun bercorak
patrilineal.[7]
Menurut hazairin garis pokok
penggantian mempunyai dalil hukum yaitu surat An-Nisa’ ayat 33, yang beliau
terjemahkan sendiri yaitu:
9e@à6Ï9ur $oYù=yèy_ uÍ<ºuqtB $£JÏB x8ts?
Èb#t$Î!ºuqø9$# cqç/tø%F{$#ur 4 tûïÏ%©!$#ur ôNys)tã
öNà6ãZ»yJ÷r&
öNèdqè?$t«sù öNåkz:ÅÁtR ……..
Dan untuk
setiap orang itu, Aku Allah telah mengadakan mawalliya bagi harta peninggalan
ayah dan mak dan bagi harta peninggalan keluarga dekat, demikian juga harta
peninggalan tolan seperjanjian, karena itu berikanlah bagian-bagian
kewarisannya…..[8]
Lafadz mawalli dalam surat
An-Nisa’ : 33 secara umum diartikan dengan ahli waris, ‘asabah, orang yang
memerdekakan atau orang yang dimerdekakan. Di sini Hazarain tidak sependapat
dengan tafsiran tersebut dan dengan penalaranya sendiri memberikan arti baru.
Kemudian dia menambahkan bahwa arti mawali menurutnya adalah ahli waris dari
ahli waris atau dengan kata lain ahli waris pengganti. Arti ini didapatkan
setelah menganalisisstruktur ayat dan memperhatikan kaidah-kaidah tentang
dalalah al-iltizam, disamping menggunakan ilmu antropolgi. Jalan ini di tempuh
karena tidak ada sunah yang sesuai untuk menafsirkanya.[9]
Dalam islam sendiri ada istilah munasakhah
yang hampir semakna dengan ahli waris pengganti. Menurut As-Sayyid
As-Syarif munasakhah adalah memindahkan bagian dari sebagian ahli waris
kepada orang yang mewarisinya, lantaran kematiannya sebelum pembagian harta
peninggalan dilaksanakan.[10]
Dengan melihat pengertian yang
disampaikan As-Sayyid As-Syarif, Drs. Fathurrahman menyimpulkan bahwa munasakhah memiliki beberapa unsur yaitu :
a.
Harta pusaka mayit belum dibagikan kepada para
ahli waris menurut ketentuan yang berlaku
b.
Adanya kematian seorang ataupun lebih dari
ahli waris
c.
Adanya pemindahan bagian harta pusaka dari si
mayit kepada ahli waris lain atau ahli waris yang semula belum menjadi ahli
waris terhadap orang yang mati pertama.
d.
Pemindahan bagian ahli waris dari muwaris
kepada ahli warisnya harus dengan jalan
mempusakai. Sebab kalau tidak demikian maka bukan termasuk dalam munasakhah.
Munasakhah dapat dibagi menjadi dua
macam antara lain :
a.
Ahli waris yang akan mendapatkan pemindahan
bagian pusaka dari orang yang mati belakangan adalah ahli waris juga bagi orang
yang mati terdahulu.
b.
Ahli waris yang bakal menerima pemindahan
bagian pusaka dari orang yang mati belakangan adalah bukan ahli waris kedua
orang yang mati terdahulu.[11]
C.
MEWARIS DENGAN CARA MENGGANTI MENURUT KONSEP
KUHPerd
Dalam hal
mewaris menurut undang-undang dibedakan :
a)
Mewaris langsung
Mewaris
langsung ialah orang itu mewaris dalam kedudukan sebagai ahli waris langsung
karena diri sendiri (uit eigen hoofde).
b)
Mewaris tidak langsung / mewaris karena
penggantian (bijplaatsvervulling) ialah mewaris yang sebenarnya warisan
itu bukan untuk dia tetapi untuk orang yang sudah meninggal terlebih dahulu
daripada si pewaris. Ia menggantikan ahli waris yang telah meninggal lebih dulu
dari si yang meninggal.[12]
Mewaris dengan cara mengganti
disebut dalam bahasa Belanda menjadi ahli waris “bij plaatsvervulliang”.
Pasal 841 (pergantian tempat waris)
: “pergantian memberi hak kepada seorang yang mengganti, untuk bertindak
sebagai pengganti dalam derajat dan dalam segala hak orang yang diganti”.
Ada 3 macam penggantian tempat dalam hukum
waris, yaitu :
1. Pasal
842 : “penggantian dalam garis lurus ke bawah yang sah, berlangsung
terus tiada akhirnya. Dalam segala hal, pergantian seperti itu selamanya
diperbolehkan, baik dalam hal bilamana beberapa anak si yang meninggal mewaris
bersama-sama dengan keturunan seorang anak yang telah meninggal lebih dulu, maupun
sekalian keturunan mereka mewaris bersama-sama, satu sama lain dalam pertalian
keluarga yang berbeda-beda derajatnya”.
Pasal 843 : “tiada pergantian terhadap
keluarga sedarah dalam garis menyimpang ke atas. Keluarga yang terdekat dalam
garis, mengenyampingkan segala keluarga dalam perderajatan lam yang lebih
jauh”.[13]
e.
Pasal 844 : “dalam garis menyimpang pergantian
diperbolehkan atas keuntungan sekalian anak dan keturunan saudara laki-laki dan
perempuan yang telah meninggal terlebih dahulu, baik mereka mewaris
bersama-sama dengan paman atau bibi mereka, maupun warisan itu setelah
meninggalnya semua saudara si meninggal lebih dahulu harus dibagi antara
sekalian keturunan mereka, yang mana satu sama lain bertalian keluarga dalam
perderajatan yang tak sama”.
f.
Pasal 845 : “ pergantian dalam garis
menyimpang diperbolehkan juaga bagi pewarisan bagi para keponakan, ialah dalam
hal bilamana disamping keponakan yang bertalian keluarga sedarah terdekat
dengan si meninggal, masih ada anak-anak dan keturunan saudara laki atau
perempuan darinya saudara-saudara mana telah meninggal lebih dahulu”.
Penggolongan ahli waris :
Golongan I :
§ Suami / istri
yang hidup terlama
§ Anak
§ Keturunan anak
Golongan II :
§ Ayah dan ibu
§ Saudara
§ Keturunan
saudara
Golongan III :
§ Kakek dan
nenek, baik dari pihak bapak maupun ibu
§ Orang tua
kakek dan nenek itu, dan seterusnya ke atas.
Golongan IV :
§ Paman dan bibi
baik dari pihak bapak maupun ibu
§ Keturunan
paman dan bibi sampai derajat keenam dihitung dari si meninggal
§ Saudara dari
kakek dan nenek beserta keturunannya, sampai derajat keenam dihitung dari si
meninggal.[14]
HAL-HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN
Beberapa ketentuan yang perlu diperhatikan
sehubungan dengan penggolongan ahli waris, yaitu :
1.
Kalau tidak ada keempat golongan tersebut,
maka harta peninggalan jatuh pada Negara.
2.
Golongan yang terdahulu menutup golongan yang
kemudian. Jadi jika ahli waris golongan I, maka ahli waris golongan II, III,
dan IV tidak menjadi ahli waris.
3.
Jika golongan I tidak ada, golongan II yang
mewaris. Golongan III dan IV tidak mewaris. Tetapi golongan III dan IV adalah
mungkin mewaris bersama-sama kalau mereka berlainan garis.
4.
Dalam golongan I termasuk anak-anak sah maupun
luar kawin yang diakui sah dengan tidak membedakan laki-laki atau perempuan dan
perbedaan umur.
5.
Apabila ahli waris golongan I dan II tidak
ada, maka yang mewaris ialah golongan III dan/atau golongan IV. Dalam hal ini
maka harta warisan dibagi dua sama besar (dalam bahasa Belanda :”kloving”).
Setengah untuk keluarga sedarah garis bapak dan setengahnya lagi untuk keluarga
sedarah garis ibu.[15]
Khusus untuk lingkungan hukum adat
tidak diketemukan dalam setiap sifat kekeluargaan di beberapa daerah. Misalnya
minangkabau dengan sifat keibuan dari kekeluargaannya apabila yang meninggal
dunia seorang laki-laki, maka anaknya bukan sebagai ahli warisnya dari harta
pencaharian tersebut. Karena anak-anaknya dianggap merupakan sebagian dari
keluarga ibunya, tetapi bukan sebagian dari ayahnya, melainkan tetap merupakan
sebagian dari kekeluargaan sendiri. Maka dari itu harta pencaharian dari orang
laki-laki yang meninggal dunia hanya diwariskan pada saudara-saudara sekandungnya.[16]
Di Bali dengan sifat kebapakan dari
kekeluargaannya, anak laki-laki yang tertua sering diwarisi harta warisan,
tetapi dengan kewajiban wajib menghidupi adik-adiknya sampai mereka pada
menikah. Sedangkan di Batak harta warisan keseluruhannya diwariskan kepada
anak-anak perempuannya sedangkan harta warisan bapaknya hanya diwariskan kepada
anak laki-lakinya.[17]
Masalah ahli waris pengganti juga
disinggung dalam KHI yaitu Buku II tentang hukum kewarisan pasal 185 :
1)
Ahli waris yang meninggal lebih dahulu
daripada si pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali
mereka yang tersebut dalam pasal 173.
2)
Bagian ahli waris pengganti tidak boleh
melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.[18]
BAB III
KESIMPULAN
1.
Garis Pokok Keutamaan adalah Suatu garis hukum
yang menentukan perikutan keutamaan antara golongan-golongan dalam keluarga si
pewaris, dalam arti golongan yang satu lebih diutamakan dari golongan yang lain
dengan akibat bahwa sesuatu golongan belum boleh dimasukkan dalam perhitungan
jika masih ada golongan yang utama.
2.
Terdapat 4 kelompok ahli waris utama yaitu : Keutamaan
pertama, ada 3 : Anak-anak laki-laki dan perempuan, Orang tua, dan Janda
atau duda. Keutamaan kedua, ada 4 : Saudara laki-laki atau perempuan,
Ibu, Ayah, dan Janda atau duda. Keutamaan
ketiga, ada 3 : Ibu, Ayah, dan Janda atau duda. Keutamaan keempat,
ada 3 : Janda atau duda, Datuk dan mawalli untuk mendiang datuk, dan Nenek dan
mawalli untuk mendiang nenek.
3.
Ahli waris pengganti adalah orang yang
hubunganya dengan pewaris diselingi oleh ahli waris, tetapi telah meninggal
lebih dulu daripada pewaris.
4.
Mewaris tidak langsung / mewaris karena
penggantian (bijplaatsvervulling) ialah mewaris yang sebenarnya warisan
itu bukan untuk dia tetapi untuk orang yang sudah meninggal terlebih dahulu
daripada si pewaris. Ia menggantikan ahli waris yang telah meninggal lebih dulu
dari si yang meninggal.
DAFTAR PUSTAKA
Al Yasa
Abubakar. Ahli Waris Sepertalian Darah : Kajian Perbandingan Terhadap
Penalaran Hazairin Dan Penalaran Fikih Mazhab. 1998. Jakarta : INIS
Effendi
Perangin. Hukum Waris. 1997. Jakarta : RajaGrafindo Persada
Fatchur
Rahman. Ilmu waris. 1975. Bandung : PT. al-Ma’arif
Hazairin, Hendak
Kemana Hukum Islam, cet. 3 1976, Jakarta: Tintamas,
Hazairin. Hukum
Kewarisan Bilateral. 1960. Jakarta : Tintamas
Oemarsalim. Dasar-dasar
Hukum Waris di Indonesia. 1991. Jakarta : Rineka Cipta
R. subekti dan
R. Tjitrosudibio. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 2006. Jakarta
: Pradnya Paramita
Sudarsono. Hukum
waris dan sistem bilateral. 1994. Jakarta : PT. Rineka Cipta
Tim Redaksi
Nuansa Aulia. Kompilasi Hukum Islam. 2008. Bandung : Nuansa Aulia
Mukaram Akh. Fiqh
Mawaris II. 1992. Surabaya : Biro Penerbitan dan Pengembangan Perpustakaan
Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Ampel
[1]Al Yasa Abubakar. Ahli Waris
Sepertalian Darah : Kajian Perbandingan Terhadap Penalaran Hazairin Dan
Penalaran Fikih Mazhab. (Jakarta : INIS, 1998), h. 43
[2] Ibid, h. 43
[3] Prof. Hazairin. Hukum Kewarisan
Bilateral, (Jakarta : Tintamas, 1960), h. 20
[4] Sudarsono. Hukum waris dan
system bilateral, (Jakarta : PT. Rineka Cipta, 1994), h. 192-197
[5] Al Yasa Abubakar. Ahli Waris
Sepertalian Darah,……… h. 52
[6] Ibid, h. 19
[7]Hazairin, Hendak Kemana Hukum Islam, cet. 3 (Jakarta: Tintamas,
1976), hal. 3 dan 11-12. Di sini Hazairin menjelaskan bahwa ilmu pengetahuan
mengenai bentuk-bentuk kemasyarakatan yang dimaksud adalah anthropologi sosial
(etnologi) yang baru ada pada abad XIX.
Jadi jauh dari masa Islam klasik.
[8] Ibid, h. 54. Dikutip dari pendapat
hazairin
[9] Ibid, h. 60
[10] Fatchur Rahman. Ilmu waris,
(Bandung : PT. al-ma’arif, 1975), h. 460
[11] Akh. Mukarrom, Fiqh Muwaris II,
(Surabaya : Biro Penerbitan dan Pengembangan Perpustakaan Fakultas Syari’ah
IAIN Sunan Ampel , 1992 ), h. 53
[12] Effendi Perangin. Hukum Waris,
(Jakarta : RajaGrafindo Persada, 1997), h. 10-11
[13] R. subekti dan R. Tjitrosudibio. Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta : Pradnya Paramita, 2006), h. 224.
[14] Effendi Perangin. Hukum
Waris,………… h. 33
[15] Ibid, h. 33-34
[16] Oemarsalim. Dasar-dasar Hukum
Waris di Indonesia, (Jakarta : Rineka Cipta, 1991), h. 25
[17] Ibid, h. 25
[18] Tim Redaksi Nuansa Aulia. Kompilasi
Hukum Islam, (Bandung : Nuansa Aulia, 2008) h. 58
Tidak ada komentar:
Posting Komentar