Minggu, 01 September 2013

AHLI WARIS PENGGANTI



BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Proses penyelesaian pewarisan dalam dunia sangatlah beragam, baik pewarisan adat, barat maupun pewarisan islam. Di Indonesia sendiri memiliki berbagai macam hukum yang mengatur tentang kewarisan, mulai dari hukum adat, hukum perdata BW sampai hukum islam sendiri yang terkodifikasi dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Ketika membahas tentang hukum kewarisan, maka tidak bias terlepas dari adanya unsur urgen yang dinamakan dengan ahli waris. Ahli waris ini adalah orang yang berhak mendapat harta warisan. Ahli waris dalam islam terperinci menjadi 2 macam, yakni ahli waris utama dan ahli waris pengganti.
Pembahasan tentang ahli waris utama dan ahli waris pengganti sangatlah rumit, karena harus menggunakan berbagai teori. Oleh karena itu, penulis akan membahas tentang garis pokok keutamaan dan garis pokok penggantian dalam kewarisan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki penulis.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apakah pengertian dari garis pokok keutamaan ahli waris ?
2.      Bagaimanakah pembagian kelompok dalam ahli waris utama ?
3.      Bagaimanakah pengertian ahli waris pengganti?
4.      Bagaimana ahli waris pengganti menurut KHUPerd ?

  

BAB II
PEMBAHASAN

A.    GARIS POKOK KEUTAMAAN
Garis Pokok Keutamaan merupakan teori dalam kewarisan islam ala Indonesia yang dicetuskan oleh Prof. Drs. Hazairin,  teori ini muncul dari penelitian beliau tentang ayat-ayat mawaris yang banyak terhimpun dalam surat an-Nisa’. Dalam meneliti ayat-ayat tentang kewarisan Hazairin berpedoman pada garis pokok keutamaan yang ada dalam hukum adat Indonesia sebagai acuan awal.[1]
Masih menurut Hazarain, pemakaian garis pokok penggantian yang terselip dalam an-Nisa’ ayat : 33 itu, mengandung presupposisi (Iftiradan Muqaddaman) tentang adanya kelompok keutamaan. [2]
Teori Garis Pokok Keutamaan yang ditawarkan Hazarain dalam bukunya :
Suatu garis hukum yang menentukan perikutan keutamaan antara golongan-golongan dalam keluarga si pewaris, dalam arti golongan yang satu lebih diutamakan dari golongan yang lain dengan akibat bahwa sesuatu golongan belum boleh dimasukkan dalam perhitungan jika masih ada golongan yang utama.[3]

Hazairin membagi Kelompok Keutamaan menjadi empat macam yaitu :
1.      Keutamaan pertama, ada 3 :
a.       Anak-anak laki-laki dan perempuan, atau sebagai dzawul faraidh atau sebagai dzawul ‘ikarabat, berarti mawali bagi mendiang-mendiang anak laki-laki dan perempuan. Dasarnya adalah surat An-Nisa’ ayat 11 dan 33.
b.      Orang tua (ayah dan ibu) sebagai dzawul furud. Dalam ini dasarnya adalah Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 11.
c.       Janda atau duda sebagai dzawul furud. Hal ini dijelaskan di dalam surat An-Nisa’ ayat 12.

2.      Keutamaan kedua, ada 4 :
a.       Saudara laki-laki atau perempuan atau sebagai dzawul furud atau sebagai dzawul karabat, berarti mawali bagi mendiang saudara laki-laki atau perempuan dalam hal kalalah. Kedudukan ini dilandasi dalil naqli yaitu Surat An-Nisa’ : 12
b.      Ibu sebagai dzawil furud
c.       Ayah sebagai dzawil qarabah
d.      Janda atau duda sebagai dzawil furud
3.      Keutamaan ketiga, ada 3 :
a.      Ibu sebagai dzawil furud
b.      Ayah sebagai dzawil qarabah
c.       Janda atau duda sebagai dzawil furud
4.      Keutamaan keempat, ada 3 :
a.       Janda atau duda sebagai dzawil furud
b.      Datuk dan mawalli untuk mendiang datuk
c.       Nenek dan mawalli untuk mendiang nenek[4]

B.     GARIS POKOK PENGGANTIAN
Istilah waris pengganti mempunyai padanan arab at-tauris bi at-tanzil, dalam bahasa inggris representation dan dalam bahasa belanda adalah plaatservulling.
Sebelum kita melangkah lebih jauh membahas tentang ahli waris pengganti menurut islam, tidak  salah kiranya jika kita flash back untuk mengetahui ahli waris pengganti dalam hukum adat di Indonesia. Karena menurut al- Yasa Abu Bakar, Hazairin menggunakan konsep ahli waris pengganti menurut adat sebagai acuan atau pembanding ketika menjelaskan ahli waris karena penggantian menurut qur’an.
Ahli waris tersebut dalam hukum adat adalah orang-orang yang hubunganya dangan pewaris diselingi oleh ahli waris, tetapi telah meninggal lebih dulu daripada pewaris. Sebab, sekiranya ahli waris itu masih hidup, tentu ahli waris pengganti tidak perlu diperhitungkan. [5]                     
Konsep Hazairin Tentang Ahli Waris Pengganti
Pada dasarnya hazairin mengintepretasikan hukum kewarisan islam bersifat bilateral. Beliau berargumen bahwa ketika prinsip patrilineal atau matrilineal dipakai dalam kewarisan islam maka, akan melahirkan kesatuan kekeluargaan yang dalam ilmu pengetahuan kerap kali disebut klan.[6]
Sistem kewarisan patrilineal yang dianut kalangan Sunni sebenarnya terbentuk dari struktur budaya Arab yang bersendikan sistem kekeluargaan yang bercorak patrilineal. Pada masa terbentuknya fiqh, ilmu pengetahuan mengenai bentuk-bentuk masyarakat belumlah berkembang. Sehingga para fuqaha dalam berbagai mazhab fiqh belum memperoleh perbandingan mengenai berbagai sistem kewarisan dalam berbagai bentuk masyarakat. Oleh karena itu tidaklah mengherankan bila hukum kewarisan yang kemudian disusun bercorak patrilineal.[7]
Menurut hazairin garis pokok penggantian mempunyai dalil hukum yaitu surat An-Nisa’ ayat 33, yang beliau terjemahkan sendiri yaitu:
9e@à6Ï9ur $oYù=yèy_ uÍ<ºuqtB $£JÏB x8ts? Èb#t$Î!ºuqø9$# šcqç/tø%F{$#ur 4 tûïÏ%©!$#ur ôNys)tã öNà6ãZ»yJ÷ƒr& öNèdqè?$t«sù öNåkz:ÅÁtR ……..
Dan untuk setiap orang itu, Aku Allah telah mengadakan mawalliya bagi harta peninggalan ayah dan mak dan bagi harta peninggalan keluarga dekat, demikian juga harta peninggalan tolan seperjanjian, karena itu berikanlah bagian-bagian kewarisannya…..[8]

Lafadz mawalli dalam surat An-Nisa’ : 33 secara umum diartikan dengan ahli waris, ‘asabah, orang yang memerdekakan atau orang yang dimerdekakan. Di sini Hazarain tidak sependapat dengan tafsiran tersebut dan dengan penalaranya sendiri memberikan arti baru. Kemudian dia menambahkan bahwa arti mawali menurutnya adalah ahli waris dari ahli waris atau dengan kata lain ahli waris pengganti. Arti ini didapatkan setelah menganalisisstruktur ayat dan memperhatikan kaidah-kaidah tentang dalalah al-iltizam, disamping menggunakan ilmu antropolgi. Jalan ini di tempuh karena tidak ada sunah yang sesuai untuk menafsirkanya.[9]
Dalam islam sendiri ada istilah munasakhah yang hampir semakna dengan ahli waris pengganti. Menurut As-Sayyid As-Syarif munasakhah adalah memindahkan bagian dari sebagian ahli waris kepada orang yang mewarisinya, lantaran kematiannya sebelum pembagian harta peninggalan dilaksanakan.[10]
Dengan melihat pengertian yang disampaikan As-Sayyid As-Syarif, Drs. Fathurrahman menyimpulkan  bahwa munasakhah memiliki  beberapa unsur yaitu :
a.       Harta pusaka mayit belum dibagikan kepada para ahli waris menurut ketentuan yang berlaku
b.      Adanya kematian seorang ataupun lebih dari ahli waris
c.       Adanya pemindahan bagian harta pusaka dari si mayit kepada ahli waris lain atau ahli waris yang semula belum menjadi ahli waris terhadap orang yang mati pertama.
d.      Pemindahan bagian ahli waris dari muwaris kepada ahli warisnya  harus dengan jalan mempusakai. Sebab kalau tidak demikian maka bukan termasuk dalam munasakhah.
Munasakhah dapat dibagi menjadi dua macam antara lain :
a.       Ahli waris yang akan mendapatkan pemindahan bagian pusaka dari orang yang mati belakangan adalah ahli waris juga bagi orang yang mati terdahulu.
b.      Ahli waris yang bakal menerima pemindahan bagian pusaka dari orang yang mati belakangan adalah bukan ahli waris kedua orang yang mati terdahulu.[11]

C.    MEWARIS DENGAN CARA MENGGANTI MENURUT KONSEP KUHPerd
Dalam hal mewaris menurut undang-undang dibedakan :
a)      Mewaris langsung
Mewaris langsung ialah orang itu mewaris dalam kedudukan sebagai ahli waris langsung karena diri sendiri (uit eigen hoofde).
b)      Mewaris tidak langsung / mewaris karena penggantian (bijplaatsvervulling) ialah mewaris yang sebenarnya warisan itu bukan untuk dia tetapi untuk orang yang sudah meninggal terlebih dahulu daripada si pewaris. Ia menggantikan ahli waris yang telah meninggal lebih dulu dari si yang meninggal.[12]
Mewaris dengan cara mengganti disebut dalam bahasa Belanda menjadi ahli waris “bij plaatsvervulliang”.
Pasal 841 (pergantian tempat waris) : “pergantian memberi hak kepada seorang yang mengganti, untuk bertindak sebagai pengganti dalam derajat dan dalam segala hak orang yang diganti”.
Ada 3 macam penggantian tempat dalam hukum waris, yaitu :
1.  Pasal  842 : “penggantian dalam garis lurus ke bawah yang sah, berlangsung terus tiada akhirnya. Dalam segala hal, pergantian seperti itu selamanya diperbolehkan, baik dalam hal bilamana beberapa anak si yang meninggal mewaris bersama-sama dengan keturunan seorang anak yang telah meninggal lebih dulu, maupun sekalian keturunan mereka mewaris bersama-sama, satu sama lain dalam pertalian keluarga yang berbeda-beda derajatnya”.
Pasal 843 : “tiada pergantian terhadap keluarga sedarah dalam garis menyimpang ke atas. Keluarga yang terdekat dalam garis, mengenyampingkan segala keluarga dalam perderajatan lam yang lebih jauh”.[13]
e.       Pasal 844 : “dalam garis menyimpang pergantian diperbolehkan atas keuntungan sekalian anak dan keturunan saudara laki-laki dan perempuan yang telah meninggal terlebih dahulu, baik mereka mewaris bersama-sama dengan paman atau bibi mereka, maupun warisan itu setelah meninggalnya semua saudara si meninggal lebih dahulu harus dibagi antara sekalian keturunan mereka, yang mana satu sama lain bertalian keluarga dalam perderajatan yang tak sama”.
f.       Pasal 845 : “ pergantian dalam garis menyimpang diperbolehkan juaga bagi pewarisan bagi para keponakan, ialah dalam hal bilamana disamping keponakan yang bertalian keluarga sedarah terdekat dengan si meninggal, masih ada anak-anak dan keturunan saudara laki atau perempuan darinya saudara-saudara mana telah meninggal lebih dahulu”.

Penggolongan ahli waris :
Golongan I :
§  Suami / istri yang hidup terlama
§  Anak
§  Keturunan anak
Golongan II :
§  Ayah dan ibu
§  Saudara
§  Keturunan saudara
Golongan III :
§  Kakek dan nenek, baik dari pihak bapak maupun ibu
§  Orang tua kakek dan nenek itu, dan seterusnya ke atas.
Golongan IV :
§  Paman dan bibi baik dari pihak bapak maupun ibu
§  Keturunan paman dan bibi sampai derajat keenam dihitung dari si meninggal
§  Saudara dari kakek dan nenek beserta keturunannya, sampai derajat keenam dihitung dari si meninggal.[14]
HAL-HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN
Beberapa ketentuan yang perlu diperhatikan sehubungan dengan penggolongan ahli waris, yaitu :
1.      Kalau tidak ada keempat golongan tersebut, maka harta peninggalan jatuh pada Negara.
2.      Golongan yang terdahulu menutup golongan yang kemudian. Jadi jika ahli waris golongan I, maka ahli waris golongan II, III, dan IV tidak menjadi ahli waris.
3.      Jika golongan I tidak ada, golongan II yang mewaris. Golongan III dan IV tidak mewaris. Tetapi golongan III dan IV adalah mungkin mewaris bersama-sama kalau mereka berlainan garis.
4.      Dalam golongan I termasuk anak-anak sah maupun luar kawin yang diakui sah dengan tidak membedakan laki-laki atau perempuan dan perbedaan umur.
5.      Apabila ahli waris golongan I dan II tidak ada, maka yang mewaris ialah golongan III dan/atau golongan IV. Dalam hal ini maka harta warisan dibagi dua sama besar (dalam bahasa Belanda :”kloving”). Setengah untuk keluarga sedarah garis bapak dan setengahnya lagi untuk keluarga sedarah garis ibu.[15]

Khusus untuk lingkungan hukum adat tidak diketemukan dalam setiap sifat kekeluargaan di beberapa daerah. Misalnya minangkabau dengan sifat keibuan dari kekeluargaannya apabila yang meninggal dunia seorang laki-laki, maka anaknya bukan sebagai ahli warisnya dari harta pencaharian tersebut. Karena anak-anaknya dianggap merupakan sebagian dari keluarga ibunya, tetapi bukan sebagian dari ayahnya, melainkan tetap merupakan sebagian dari kekeluargaan sendiri. Maka dari itu harta pencaharian dari orang laki-laki yang meninggal dunia hanya diwariskan pada saudara-saudara  sekandungnya.[16]
Di Bali dengan sifat kebapakan dari kekeluargaannya, anak laki-laki yang tertua sering diwarisi harta warisan, tetapi dengan kewajiban wajib menghidupi adik-adiknya sampai mereka pada menikah. Sedangkan di Batak harta warisan keseluruhannya diwariskan kepada anak-anak perempuannya sedangkan harta warisan bapaknya hanya diwariskan kepada anak laki-lakinya.[17]
Masalah ahli waris pengganti juga disinggung dalam KHI yaitu Buku II tentang hukum kewarisan pasal 185 :
1)      Ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada si pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam pasal 173.
2)      Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.[18]

  

BAB III
KESIMPULAN
1.      Garis Pokok Keutamaan adalah Suatu garis hukum yang menentukan perikutan keutamaan antara golongan-golongan dalam keluarga si pewaris, dalam arti golongan yang satu lebih diutamakan dari golongan yang lain dengan akibat bahwa sesuatu golongan belum boleh dimasukkan dalam perhitungan jika masih ada golongan yang utama.
2.      Terdapat 4 kelompok ahli waris utama yaitu : Keutamaan pertama, ada 3 : Anak-anak laki-laki dan perempuan, Orang tua, dan Janda atau duda. Keutamaan kedua, ada 4 : Saudara laki-laki atau perempuan, Ibu, Ayah, dan  Janda atau duda. Keutamaan ketiga, ada 3 : Ibu, Ayah, dan Janda atau duda. Keutamaan keempat, ada 3 : Janda atau duda, Datuk dan mawalli untuk mendiang datuk, dan Nenek dan mawalli untuk mendiang nenek.
3.      Ahli waris pengganti adalah orang yang hubunganya dengan pewaris diselingi oleh ahli waris, tetapi telah meninggal lebih dulu daripada pewaris.
4.      Mewaris tidak langsung / mewaris karena penggantian (bijplaatsvervulling) ialah mewaris yang sebenarnya warisan itu bukan untuk dia tetapi untuk orang yang sudah meninggal terlebih dahulu daripada si pewaris. Ia menggantikan ahli waris yang telah meninggal lebih dulu dari si yang meninggal.



DAFTAR PUSTAKA

Al Yasa Abubakar. Ahli Waris Sepertalian Darah : Kajian Perbandingan Terhadap Penalaran Hazairin Dan Penalaran Fikih Mazhab. 1998. Jakarta : INIS

Effendi Perangin. Hukum Waris. 1997. Jakarta : RajaGrafindo Persada

Fatchur Rahman. Ilmu waris. 1975. Bandung : PT. al-Ma’arif

Hazairin, Hendak Kemana Hukum Islam, cet. 3 1976, Jakarta: Tintamas,

Hazairin. Hukum Kewarisan Bilateral. 1960. Jakarta : Tintamas

Oemarsalim. Dasar-dasar Hukum Waris di Indonesia. 1991. Jakarta : Rineka Cipta

R. subekti dan R. Tjitrosudibio. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 2006. Jakarta : Pradnya Paramita

Sudarsono. Hukum waris dan sistem bilateral. 1994. Jakarta : PT. Rineka Cipta

Tim Redaksi Nuansa Aulia. Kompilasi Hukum Islam. 2008. Bandung : Nuansa Aulia

Mukaram Akh. Fiqh Mawaris II. 1992. Surabaya : Biro Penerbitan dan Pengembangan Perpustakaan Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Ampel  


[1]Al Yasa Abubakar. Ahli Waris Sepertalian Darah : Kajian Perbandingan Terhadap Penalaran Hazairin Dan Penalaran Fikih Mazhab. (Jakarta : INIS, 1998), h. 43
[2] Ibid, h. 43
[3] Prof. Hazairin. Hukum Kewarisan Bilateral, (Jakarta : Tintamas, 1960), h. 20
[4] Sudarsono. Hukum waris dan system bilateral, (Jakarta : PT. Rineka Cipta, 1994), h. 192-197
[5] Al Yasa Abubakar. Ahli Waris Sepertalian Darah,……… h. 52
[6] Ibid, h. 19
[7]Hazairin, Hendak Kemana Hukum Islam, cet. 3 (Jakarta: Tintamas, 1976), hal. 3 dan 11-12. Di sini Hazairin menjelaskan bahwa ilmu pengetahuan mengenai bentuk-bentuk kemasyarakatan yang dimaksud adalah anthropologi sosial (etnologi) yang baru ada pada abad  XIX. Jadi jauh dari masa Islam klasik. 
[8] Ibid, h. 54. Dikutip dari pendapat hazairin
[9] Ibid, h. 60
[10] Fatchur Rahman. Ilmu waris, (Bandung : PT. al-ma’arif, 1975), h. 460
[11] Akh. Mukarrom, Fiqh Muwaris II, (Surabaya : Biro Penerbitan dan Pengembangan Perpustakaan Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Ampel , 1992 ), h. 53
[12] Effendi Perangin. Hukum Waris, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 1997), h. 10-11
[13] R. subekti dan R. Tjitrosudibio. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta : Pradnya Paramita, 2006), h. 224.
[14] Effendi Perangin. Hukum Waris,………… h. 33
[15] Ibid, h. 33-34
[16] Oemarsalim. Dasar-dasar Hukum Waris di Indonesia, (Jakarta : Rineka Cipta, 1991), h. 25
[17] Ibid, h. 25
[18] Tim Redaksi Nuansa Aulia. Kompilasi Hukum Islam, (Bandung : Nuansa Aulia, 2008) h. 58

Tidak ada komentar:

Posting Komentar