Minggu, 01 September 2013

IDDAH



HADITS TENTANG IDDAH
Makalah
diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah
"Hadits Hukum Keluarga I"







Oleh:
Mohammad Abdul Ghofur     C51208033
Syamsul Arifin                        C51208053
Sukandari                                C51208050

Dosen Pembimbing :
H. Arif Jamaluddin Malik, M. Ag.
JURUSAN AKHWAL AL-SYAKHSIYAH
F A K U L T A S  S Y A R I ' A H
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2010
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Perkawinan merupakan salah satu pintu untuk memperoleh kehidupan yang bahagia. Sebagaimana al-Qu’an surat Ar-Ruum ayat 21 yaitu :
وَمِنْ آَيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.[1]

Selain tertuang dalam al-Qur’an, perkawinan juga dijelaskan dalam hukum positif di Indonesia yaitu dalam UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 1 yang berbunyi:
“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.[2]
Dalam sebuah perkawinan terdapat fase yang kadang bisa dialami oleh seorang wanita yaitu fase iddah. Pembahasan tentang iddah merupakan pembahasan yang panjang. Dalam hadits tidak ada yang membahas iddah secara umum tapi dengan spesifikasi masing-masing kasus. Sehingga, memerlukan pembahasan secara detail tentang iddah itu sendiri. Oleh karena itu, penulis akan mencoba membahas secara mendetail tentang iddah, baik dari segi hadits maupun segi hukum positifnya.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Hadits tentang Iddah?
2.      Bagaimana kualitas Hadits tentang Iddah?
3.      Bagaimana isi kandungan hokum Hadits tentang Iddah?
4.      Bagaimana tinjauan Iddah fersi KHI?
C.    Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui hadits tentang Iddah
2.      Mengetahui kualitas Hadits tentang Iddah
3.      Mengetahui isi kandungan hokum Hadits tentang Iddah
4.      Memahami hukum Iddah versi KHI
PEMBAHASAN

A.    Hadits Tentang Iddah
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ قَزَعَةَ حَدَّثَنَا مَالِكٌ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ الْمِسْوَرِ بْنِ مَخْرَمَةَ
أَنَّ سُبَيْعَةَ الْأَسْلَمِيَّةَ نُفِسَتْ بَعْدَ وَفَاةِ زَوْجِهَا بِلَيَالٍ فَجَاءَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاسْتَأْذَنَتْهُ أَنْ تَنْكِحَ فَأَذِنَ لَهَا فَنَكَحَتْ (رواه البخاري)[3]
Berkata Yahya bin Qaza`ah berkata Malik dari Hisyam bin `Urwah dari Ayahnya dari Miswar bin Mahramah bahwasanya Subaiah dalam beberapa malam setelah suaminya wafat melahirkan anaknya, lalu datang kepada nabi SAW minta izin kawin, beliau memberi izin kepadanya, lalu dia kawin, (Riwayat Bukhari)
الْمِسْوَرِ بْنِ مَخْرَمَةَ
الوفاة : 64 هـ بمكة
مَالِكٌ بن أنس
الوفاة : 189
أَبِيهِ (عروة بن زبير, أبو عبد الله المدني)
الوفاة : 94  / 95 هـ
هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ
الوفاة :  146 هـ
يَحْيَى بْنُ قَزَعَةَ
الطبقة : كبار الأ خذين عن تبع الأ تباء
 






















1.      Makna mufradat
نُفِسَتْ اي وَلَدَتْ : نفست المرأة غلاما : melahirkan
 طلب الإذن : استأذن-يستأذن-إستأذان: memintak izin[4]
2.      Kajian sanad hadits
            Miswar bin Makhramah
            Nama lengkap beliau adalah Miswar bin Makhramah bin Naufal bin Uhaib bin abdu manaf bin Zahrah bin kilab al-Qurasyi, Abu Abdur Rahman az-Zuhri. Ibunya bernama Syifa` binti Auf. Menurut Umar bi ali beliau lahir pada tanggal 2 hijriah di makkah dan wafat pada tanggal 64 H. beliau termasuk sahabat Nabi. Diantara Guru beliau adalah: Rasulullah SAW, Abdullah bin Abbas, Abdur Rahman bin Auf (paman dari ibu beliau), Usman bin Affan, Ali bin Abi Tholib.[5]
            Urwah bin Zubair
            Nama lengkap beliau adalah Urwah bin Zubair bin Awam bin bin Khuwailid al-Quarasyi al-Asadi, Abu Abdullah al-Madani. Beliau lahir di akhir kekholafahan Umar bin Khattab pada tahun 23 H dan wafatnya menurut Ibn Abi Khaitsamah pada tahun 94/ 95 H. beliau hidup dimasa tengah-tengah tabi`in. menurut Ibn Hajr beliau adalah tsiqah. Diantara guru beliau adalah Miswar bin mukharramah, Amr bin ash, Qhais bin Said bin ibadah, Muhammad bin Musalamah al-Anshari, Marwan bin Hakim.[6]
            Hisyam bin Urwah
            Nama lengkap beliau adalah Hisyam bin Urwah bin Zubair bin Awam al-Qurasyi al-Asady, Abu Mundzir, dan ada yang mengatakan Abu `Abdullah al-Madani. Menurut Kharbi dan dikuatkan oleh Anu Naim dan yang lainnya sunnah al-khamsah, menurut Ibn Said dan ajali beliau adalah tsiqah dan menurut Ibn Hatim tsiqah, Imam di dalam hadits.[7] Diantara guru beliau adalah Urwah bin zubair, umar bin Abdullah bin Umar bin Khattab, Umar bin Khuzaimah, Umar bin Suaib, Umar bin Haris bin Tufail.


            Malik bin Anas
            Nama lengkap beliau adalah Malik bin Anas bin Malik bin abi Amir bin Amr as-Subhi humairi, Abu Abudullah al-Madani al-Faqih. Beliau lahir pada tahun 93 H. dan wafat pada tahun 179 H. menurut Ibn Hajar beliau adalah إمام دار الهجرة, رأس المتقنين, وكبير المتسبتين sehingga menurut imam bukhari hadits yang diriwayatkan oleh bin Anas bin Malik bin abi Amir adalah semuah sanadnya shohih. Diantara guru beliau adalah Hisyam bin Urwah, pamannya Abi Sahil Nafi` bin Malik, Nafi` Maula Ibn Umar.
            Yahya bin Quza`ah
            Nama lengkap beliau adalah Yahya Quza`ah Qurasyi, al-Hajazi al-Makki, Muaddhin, meriwayatkan darinya Imam Bukhari, menurut Ibn Hajar beliau adalah maqbul sedang menurut dhahabi adalah tsiqah. Diriwayatkan darinya oleh Imam bukhari, Ahmad di Sholih aal-Misri, Ibrahim bin Mundzir al-Hizami, Muhammad bin Muslim ibn Warati, Dhahili, Abu Yahya bin Abi Maisarah al-Makki, dan menurut Ibn Hibban beliau adalah tsiqah.[8]
            Diantara guru beliau adalah Abdurrahman bin Abi Rijal, Umat bin Abi Aisyah al-Madani, Malik bin Anas, Mughirah bin Abdurrahman al-Hazami.
3.      Syarah Hadits
As-Shon’anii menjelaskan dalam kitabnya Subulus al-Salam  bahwa setelah ditinggal mati oleh suaminya yaitu sa’id bin khawlah yang meninggal di Mekah setelah melaksanakan haji wada’ dalam beberapa malam (banyak perselisihan mengenai jumlah malam ketika itu), kemudian Subai’ah datang kepada Nabi untuk meminta izin menikah lagi, Nabi pun mengizinkanya lalu ia  menikah. H. R. Bukhori sedangkan aslinya terdapat dalam Shahihain dan lafadnya milik Bukhari.[9]
Keterangan lain menyebutkan yang dimaksud dengan suaminya adalah Sa’id bin Khawlah al-‘Amiri dari bani ‘Amir bin Luayy dan sebab kematianya karena dibunuh ketika haji wada’ akan tetapi penyebab kematian ini riwayatnya syadz.[10]

Hadits tentang Subaiah menurut Ibn Mas’ud halal baginya menikah lagi setelah melahirkan, karena sesungguhnya ia sudah dihukumi halal untuk menikah ketika melahirkan yang masih berbentuk ‘alaqoh (segumpal darah) dan seterusnya (Mudghah) sekiranya ia mengetahui bahwa ia dalam keadaan hamil. Berbeda dengan Imam Syafi’I dalam salah satu pendapatnya bahwasanya tidak halal baginya sampai melahirkan anak dalam keadaan sempurna.[11]
Hadist ini menunjukkan bahwasanya orang hamil yang ditinggal mati suaminya masa iddahnya habis setelah ia melahirkan walaupun belum sampai empat bulan 10 hari dan boleh melakukan akad nikah setelah itu.[12]
B.     Pengertian Iddah
Secara bahasa iddah berasal dari kata adda – ya’uddu – ‘idatan dan jamaknya ‘idad, yang artinya: menghitung atau hitungan. Kata iddah digunakan untuk menunjukkan suatu masa dimana seorang wanita menunggu berlalunya waktu. Menurut al-Shan’aniy definisi iddah :
اسم لمدة تتربص بها المراْة عن التزويج بعد وفاة زوجها وفراقه لها
Nama bagi suatu masa yang seorang perempuan menunggu dalam masa itu kesempatan untuk kawin lagi karena wafatnya suaminya atau bercerai dengan suaminya.
Selain pendapat Al-Shan’aniy, ada pendapat lain tentang definisi iddah yaitu:
مدة تتربص فيها المراة لتعرف برائة رحمها او للتعبد
Masa tunggu yang harus dilalui oleh seorang perempuan untuk mengetahui bersihnya rahim perempuan itu atau untuk beribadah

Dari beberapa pendapat tentang definisi iddah di atas, bisa disimpulkan iddah adalah masa yang harus ditunggu oleh seorang perempuan yang telah bercerai dari suaminya supaya dapat menikah lagi untuk mengetahui bersih rahimnya atau untuk melaksanakan perintah Allah.[13]
Iddah sudah dikenal sejak masa jahiliyah dan hampir saja mereka tidak meninggalkannya. Tatkala datang islam karena maslahat, iddah diantara kekhususan kaum wanita walaupun di sana ada kondisi tertentu seorang laki-laki memiliki masa tunggu, tidak halal  menikah kecuali habis masa iddah wanita yang dicerai. Iddah termasuk di antara sesuatu yang tidak berbeda sebab perbedaan waktu, tempat, dan lingkungan. Allah telah menjelaskan dengan jelas dan sempurna dalam al-Qur`an dan tidak ada keganjilan sedikitpun.[14]
1.      Pandangan Ulama Tentang Iddah
Para Imam Madzab sepakat bahwa iddah perempuan yang sedang hamil adalah dengan melahirkan anak, baik karena dithalaq suaminya atau ditinggal mati. Masa iddah bagi perempuan yang tidak berhaid  atau perempuan yang sudah putus  haidnya adalah 3 bulan. Adapun masa iddah bagi perempuan yang berhaid adalah tiga quru` jika ia adalah perempuan merdeka. Sedangkan jika ia seorang budak perempuan maka masa iddahnya dua quru`. Begitu menurut kesepakatan pendapat para imam Madzab. Dawud berpendapat: perempuan merdeka dan budak perempuan adalah sama masa iddahnya yaitu tiga quru`.[15]
Menurut pendapat Imam Malik dan imam Syafi`I quru` adalah masa haid  sedangkan menurut imam Hanafy Quru` adalah haid.[16]
Ulama fiqh berbeda pendapat tantang keluarnya dalam masa iddah, menurut imam Hanafi tidak boleh bagi wanita yang dithalaq raj`i dan thalaq bain keluar dari rumah siang dan malam. Adapun apabila iddahnya  karena ditinggal mati suaminya maka boleh eluar pada siang hari dan sebagian malam, tetapi tidak boleh menginap kecuali di rumahnya. Perbedaan pada keduanya dikarenakan istri yang dithalaq masih dapat nafaqah dari suaminya sedangkan istri yang ditinggal mati suaminya tidak ada yang menafkahi. Kalau menurut imam hanbali antara iddahnya istri yang dithalaq dengan istri yang dinggal mati suaminya membolehkan keduanya keluar dari rumah pada siang hari.
2.      Syarat Wajib Beriddah
            Yang dimaksud dengan syarat wajib disini adalah syarat-syarat yang menentukan adanya hukum wajib, bentuk syaratnya adalah aletrnatif dengan arti bila tidak terdapat salah satu syarat yang ditentukan, maka tidak ada hukum wajib, sebaliknya bila salah satu diantara syarat yang ditentukan telah terpenuhi , maka hukumnya adalah wajib, syarat wajib iddah ada dua, yaitu:

1.      Matinya suami
2.      Istri sudah bergaul dengan suaminya. Kata bergaul disini ulama beda pendapat. jumhur ulama adalah yang dimaksud adalah hubungan kelamin. Sebagian ulama diantaranya Imam Ahmad, Imam Syafi`i dan Hanafiyah adalah bila terjadi khalwat meskipun tidak berhubungan kelamin, telah wajib iddah.[17] Tidak wajib masa iddah bagi istri dari suami yang masih kecil dan belum produktif, apabila seorang bapak atau atau penerima wasiat mengkhulu` istrinya, sekalipun ia sanggup melakukan jima`.[18]
Menurut pemakalah
3.      Macam-Macam Iddah
1.      Iddah thalaq
 حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ إِدْرِيسَ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ طَلَّقْتُ امْرَأَتِى وَهِىَ حَائِضٌ فَذَكَرَ ذَلِكَ عُمَرُ لِرَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ « مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا حَتَّى تَطْهُرَ ثُمَّ تَحِيضَ ثُمَّ تَطْهُرَ ثُمَّ إِنْ شَاءَ طَلَّقَهَا قَبْلَ أَنْ يُجَامِعَهَا وَإِنْ شَاءَ أَمْسَكَهَا فَإِنَّهَا الْعِدَّةُ الَّتِى أَمَرَ اللَّهُ ». (رواه ابن ماجه(
“telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Saibah telah menceritakan kepada kami Abdulla bin Idris dari Ubaidillah dari Nafi’ dari Ibnu Umar ia berkata : aku menthalaq isteriku dalam keadaan haidh kemudian umar menceritakan hal tersebut kepada rasullah. Kemudian rasulullah bersabda “perintahkan kepadanya (Ibnu Umar) supaya kembali kepada isterinya sehingga suci kemudian haidh kemudian suci lagi, kemudian apabila ia ingin menthalaqnya hendaklah ia menthalaq sebelum berhubungan dengannya, apabila tetap ingin bersamanya maka hendaklah bersamanya. Itulah iddah yang diperintahkan oleh allah”(HR. Ibn Majah)
Iddah wanita yang di thalaq dalam masa haid (iddah thalaq) dalam hadits pertama tersebut nabi menyuruh umar bin khattab untuk menyampaikannya kepada anaknya (Abdullah bin umar) tentang hukum menthalaq isteri dalam waktu haidh. Dari hadits diatas dapat diungkapkan bahwa iddah bagi wanita yang dithalaq dalam keadaan haidh adalah tiga kali haidh/suci. Dalam al Quran sendiri pembahasan tentang iddah wanita yang dithalaq terbagai dua pendapat. Hal ini disebabkan pemaknaan terhadap kata quru’ itu sendiri yang dibahas dalam tafsir ayat ahkam. Pemahaman ini (tiga kali haidh) dari hadits diatas dapat dihitung dari ungkapan hadits sebagai berikut . حَتَّى تَطْهُرَ ثُمَّ تَحِيضَ ثُمَّ تَطْهُر perlu diperhatikan dari pernyataan Nabi diatas bahwa terjadinya thalaq tersebut terjadi sebelum masa suci (masa haidh) dengan ungkapan abdullah bin umar : طَلَّقْتُ امْرَأَتِى وَهِىَ حَائِض . Jadi masa iddahnya dimulai ketika ia dithalaq dalam waktu haidh hingga tiga kali haidh dua kali masa suci. Ada juga yang menyatakan bahwa iddahnya wanita yang dithalaq adalah tiga kali suci. untuk pemahaman tersebut dari hadits diatas adalah perhitungan suci dimulai sebelum thalaq itu terjadi sedangkan thalaq itu dalam masa haidh. Maksud dari adanya iddah thalaq/ haidh ini adalah memberiikan kesempatan kepada suami untuk kembali kepada isterinya di tengah-tengah masa iddah. hal tersebut mungkin saja terjadi setelah suami berfikir panjang tentang akibat perbuatannya tersebut. Selain itu juga iddah merupakan sarana untuk melanggengkan perkawinanan dan menghargai betapa besarnya peran perkawinan dalam membina keluarga yang bahagia.
Di dalam KHI tentang Iddah bagi wanita yang yang haid dan tidak dijelaskan di pasal 153 pasal 2 poin b, yaitu: Apabila perkawinan putus karena perceraian,waktu tunggu bagi yang masih haid ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari, dan bagi yang tidak haid ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari;
2.      Iddah wanita hamil
Iddah bagi wanita hamil yaitu waktunya sampai ia melahirkan, Allah berfirman dalam surat at- Thalaq ayat 4 yaitu:
........àM»s9'ré&ur ÉA$uH÷qF{$# £`ßgè=y_r& br& z`÷èŸÒtƒ £`ßgn=÷Hxq 4 `tBur È,­Gtƒ ©!$# @yèøgs ¼ã&©! ô`ÏB ¾Ín͐öDr& #ZŽô£ç ÇÍÈ    
“dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.[19]

Bila perempuan yang hamil itu ditinggal mati oleh suaminya, para ulama berbeda pendapat, karena di satu sisi dia sebagai orang hamil dan karena itu dia mengikuti petunjuk ayat 4 surat at-Thalaq di atas. Namun di sisi lain dia adalah perempuan yang ditinggal mati suaminya yang iddahnya diatur dalam surat al-Baqarah ayat 234 yakni iddahnya adalah empat bulan sepuluh hari.
Jumhur ulama berpendapat bahwa perempuan tersebut menjalani masa iddah sampai melahirkan anak,[20] sesuai dengan ayat yang khusus mengaturnya. Dalam hadits disebutkan yang diriwayatkan Imam Muslim yaitu:
 حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى الْعَنَزِىُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ قَالَ سَمِعْتُ يَحْيَى بْنَ سَعِيدٍ أَخْبَرَنِى سُلَيْمَانُ بْنُ يَسَارٍ أَنَّ أَبَا سَلَمَةَ بْنَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ وَابْنَ عَبَّاسٍ اجْتَمَعَا عِنْدَ أَبِى هُرَيْرَةَ وَهُمَا يَذْكُرَانِ الْمَرْأَةَ تُنْفَسُ بَعْدَ وَفَاةِ زَوْجِهَا بِلَيَالٍ. فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ عِدَّتُهَا آخِرُ الأَجَلَيْنِ. وَقَالَ أَبُو سَلَمَةَ قَدْ حَلَّتْ. فَجَعَلاَ يَتَنَازَعَانِ ذَلِكَ قَالَ فَقَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ أَنَا مَعَ ابْنِ أَخِى - يَعْنِى أَبَا سَلَمَةَ - فَبَعَثُوا كُرَيْبًا - مَوْلَى ابْنِ عَبَّاسٍ - إِلَى أُمِّ سَلَمَةَ يَسْأَلُهَا عَنْ ذَلِكَ فَجَاءَهُمْ فَأَخْبَرَهُمْ أَنَّ أُمَّ سَلَمَةَ قَالَتْ إِنَّ سُبَيْعَةَ الأَسْلَمِيَّةَ نُفِسَتْ بَعْدَ وَفَاةِ زَوْجِهَا بِلَيَالٍ وَإِنَّهَا ذَكَرَتْ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَأَمَرَهَا أَنْ تَتَزَوَّجَ. رواه مسلم
“Diriwayatkan dari Muhammad bin Mutsanna al Anazy diceritakan dari Abdul Wahhab ia berkata : aku mendengar Yahya bin Sa’id berkata telah bercerita kepadaku Sulaiman bin Yassar bahwa Abu Salamah bin Abdul Rahman dan Ibnu Abbas pernah berkumpul bersama Abu Hurairah dan membicarakan tentang wanita yang nifas satu malam setelah kematian suaminya.[21] Ibnu Abbas berkata bahwa iddahnya adalah yang paling akhir dari dua ketentuan (iddah hamil dan iddah wafat). Abu salamah berpendapat bahwa wanita tersebut telah halal. Kemudian mereka berdua berdebat tentang hal tersebut. Maka berkatalah Abu Hurairah “sesungguhnya aku sepakat dengan anak saudarakau (Abu Salamah). Kemudian mereka mengutus kurbi kepada Umi Salamah untuk menanyakan kasus tersebut, tidak lama kemudian kurbi datang membawa berita bahwa Ummi Salamah berkata : sesungguhya Subai’ah al Salami nifas setelah satu malam ditinggal mati suaminya dan ia memceritakan hal tersebut kepada Rasulullah dan ia diperintah untuk menikah lagi”.( HR Muslim) [22]

Menurut ketentuan hadits diatas bahwa iddahnya wanita hamil baik karena ditinggal mati atau diceraikan adalah sampai melahirkan. Apabila terjadi kemungkinan dua iddah dalam satu kasus seperti ketika ia ditinggal mati suaminya dalam keadaan mengandung menurut ketentuan hadits diatas adalah mendahulukan yang paling cepat selesainnya (empat bulan sepuluh hari dan atau melahirkan). dalam hadits diatas diceritakan bahwa Subai’ah Al- Aslamiyyah diperbolehkan menikah lagi setelah ia melahirkan padahal ia baru satu malam saja ditinggal mati suaminya. Hadits ini semakna dengan hadits utama di atas bahwa Iddah bagi wanita yang ditinggalmati suaminya kalau dalam keadaan hamil maka iddahnya sampai melahirkan.
Di dalam KHI dalam pasal 153 ayat 2 poin c dan d bahwa Iddah bagi perempuan hamil baik karena dicerai maupun karena ditinggal mati suaminya adalah sampai ia melahirkan.
Pendapat pemakalah apabila dalam keadaan hamil kemudian di tinggal mati suaminya sebagaimana pendapat jumhur ulama yakni sampai ia melahirkan. selain diterangkan dalam ayat yang khusus dan dalam hadits di atas bahwa wanita selesai melahirkan membutukan biaya untuk dirinya dan anaknya. sedangkan ia belum bisa mencari nafkah maka karena alasan tersebut diperbolehkannya ia menikah dalam artian habis masa iddahnya karena melahirkan.
3.      Iddah karena wafatnya suami
Iddah bagi perempuan yang ditinggal mati suaminya adalah adalah empat bulan sepuluh hari baik telah digauli oleh suaminya  maupun belum. dijelaskan dalam al-Qur`an surat al-Baqarah ayat 234 yaitu:
tûïÏ%©!$#ur tböq©ùuqtFムöNä3ZÏB tbrâxtƒur %[`ºurør& z`óÁ­/uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spyèt/ör& 9åkô­r& #ZŽô³tãur ( #sŒÎ*sù z`øón=t/ £`ßgn=y_r& Ÿxsù yy$oYã_ ö/ä3øŠn=tæ $yJŠÏù z`ù=yèsù þÎû £`ÎgÅ¡àÿRr& Å$râ÷êyJø9$$Î/ 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ׎Î6yz ÇËÌÍÈ  
orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.[23]

Juga disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan imam Muslim, yaitu:
وَحَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى قَالَ قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِى بَكْرٍ عَنْ حُمَيْدِ بْنِ نَافِعٍ عَنْ زَيْنَبَ بِنْتِ أَبِى سَلَمَةَ أَنَّهَا أَخْبَرَتْهُ هَذِهِ الأَحَادِيثَ الثَّلاَثَةَ قَالَ قَالَتْ زَيْنَبُ دَخَلْتُ عَلَى أُمِّ حَبِيبَةَ زَوْجِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- حِينَ تُوُفِّىَ أَبُوهَا أَبُو سُفْيَانَ فَدَعَتْ أُمُّ حَبِيبَةَ بِطِيبٍ فِيهِ صُفْرَةٌ خَلُوقٌ أَوْ غَيْرُهُ فَدَهَنَتْ مِنْهُ جَارِيَةً ثُمَّ مَسَّتْ بِعَارِضَيْهَا ثُمَّ قَالَتْ وَاللَّهِ مَا لِى بِالطِّيبِ مِنْ حَاجَةٍ غَيْرَ أَنِّى سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ عَلَى الْمِنْبَرِ « لاَ يَحِلُّ لاِمْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ تُحِدُّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلاَثٍ إِلاَّ عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا » (رواه مسلم)[24]
“telah bercerita kepada kami yahya bin yahya ia berkata : aku membacakan hadits dihadapan malik dari Abdullah bin abi bakr dari humaid bin nafi’ dari zainab binti abi salamah bahwa zainab telah meriwayatkan hadits ini. Humaid bin nafi’ berkata bahwa zainab pernah berkata “aku bertemu dengan umi haibah isteri nabi ketika ayahnya meninggal ayahnya (abu sufyan)dst. Kemudian umi habibah berkata “aku mendengar rasulullah bersabda diatas mimbar “tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir meratapi mayit lebih  dari tiga hari kecuali atas suaminya selama empat bulan sepuluh hari”.(HR Muslim)

Dalam KHI masa iddah bagi wanita yang ditinggal mati suaminya dalam pasal 153 ayat 2 poin a yaitu: Apabila perkawinan putus karena kematian, walaupun qobla al dukhul, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari.[25]

Menurut hadits diatas bahwa iddah wanita yang ditinggal wafat suamianya adalah empat bulan sepuluh hari, apabila wanita tersebut sedang mengandung maka iddah yang digunakan adalah iddah hamil. Apabila wanita tersebut bukan dalam keadaan hamil maka iddahnya yaitu tiga bulan sepuluh hari.
BENTURAN ANTAR IDDAH MENURUT ULAMA’


4.      Hak Istri dalam Masa Iddah
            Istri yang telah bercerai dari suaminya masih mendapatkan hak-hak dari  mantan suaminya selama dalam masa iddah. Istri yang berserai dari suaminya dihubungkan kepada hak yang diterimanya dikelompokkan kedalam tiga hal:
1.      Istri yang dithalak raj`iy, hak yang diterimanya adalah penuh sebagaimana yang berlaku sebelum dicerai. Baik dalam bentuk perbelanjaan untuk pangan, untuk pakaian dan juga tempat tinggal. Ini merupakan kesepakatan ulama.
2.      Istri yang di thalak bain, baik bain sughra atau bain kubra dan dia sedang hamil. Dalam hal ini ulama sepakat, dia berhak atas nafaqah dan tempat tinggal.
3.      Istri yang ditinggal mati suaminya. Dalam keadaan hamil ulama sepakat mengatakan bahwa dia berhak atas nafkah dan tempat tinggal, namun bila tidak dalam keadaan hamil ulama berbeda pendapat. Empat imam selain Hanbali berpendapat bahwa istri dalam iddah wafat berhak atas tempat tinggal. Mereka berdasarkan ayat 180 surat al-Baqara yang menyuruh istri beriddah di rumah suaminya.[26]
5.      Tujuan dan Hikmah Hukum
            Tujuan dan hikmah diwajibkan Iddah adalah sebagaimana dijelaskan dalam salah satu definisi yang disebutkan di atas, yaitu:
1.      Untuk megetahui bersihnya rahim perempuan dari bibit suaminya yang dulu. Pada masa sekarang tujuan yang pertama ini tidaklah relevan lagi karena sekarang sadah ada alat yang canggih untuk mendeteksi bersihnya rahim perempuan dari mantan istrinya.
2.      Taabud, artinya semata untuk memenuhi kahendak dari Allah meskipun secara resiko kita mengira tidak perlu lagi.
Adapun hikmah yang dapat diambil dari ketentuan iddah itu adalah agar suami yang menceraikan istrinya itu berpikir kembai dan menyadari tindakan itu tidak baik dan menyesal atas tindakannya itu. Dengan adanya iddah dia dapat menjalin kembali perkawinan tanpa harus mengadakan akad yang baru. [27]
6.      Konsep Iddah di dalam KHI
            Dalam KHI dijelaskan tentang berapa masa tunggu yang harus dijalani seorang wanita, yaitu dalam pasal 153 – 155 :
Pasal 153 :
1.      Bagi seorang isteri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu atau iddah, kecuali qobla al dukhul dan perkawinannya putus bukan karena kematian suami.
2.      Waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut :
a.       Apabila perkawinan putus karena kematian, walaupun qobla al dukhul, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari
b.      Apabila perkawinan putus karena perceraian,waktu tunggu bagi yang masih haid ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sukurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari, dan bagi yang tidak haid ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari;
c.       Apabila perkawinan putus karena perceraian sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan;
d.      Apabila perkawinan putus karena kematian, sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
3.  Tidak ada waktu tunggu bagi yang putus perkawinan karena perceraian sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya qobla al dukhul.
4.  Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya, Putusan Pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian suami.
5.   Waktu tunggu bagi isteri yang pernah haid sedang pada waktu menjalani iddah tidak haid karena menyusui, maka iddahnya tiga kali waktu haid.
6.  Dalam hal keadaan pada ayat (5) bukan karena menyusui, maka iddahnya selama satu tahun, akan tetapi bila dalam waktu satu tahun tersebut ia haid kembali, maka iddahnya menjadi tiga kali waktu suci.[28]
Pasal 154 :
Apabila isteri berthalaq raj`I kemudian dalam waktu iddah sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) huruf b, ayat (5) dan ayat (6)pasal 153, di tinggal mati oleh suaminya, maka iddahnya berubah menjadi empat bulansepuluh hari terhitung saat matinya bekas suaminya.
Pasal 155 :
Waktu iddah bagi janda yang putus perkawinannya karena khuluk, fasakh dan li`an berlaku iddah thalaq.[29]

KESIMPULAN

1.      Melihat dari hadits-hadits yang ada tidak terdapat hadits yang membahas secara umum tentang iddah, hanya spesifikasi masing-masing kasus dalam iddah itu sendiri. Sebagaimana hadits Bukhari :
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ قَزَعَةَ حَدَّثَنَا مَالِكٌ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ الْمِسْوَرِ بْنِ مَخْرَمَةَ أَنَّ سُبَيْعَةَ الْأَسْلَمِيَّةَ نُفِسَتْ بَعْدَ وَفَاةِ زَوْجِهَا بِلَيَالٍ فَجَاءَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاسْتَأْذَنَتْهُ أَنْ تَنْكِحَ فَأَذِنَ لَهَا فَنَكَحَتْ (رواه البخاري)
Berkata Yahya bin Qaza`ah berkata Malik dari Hisyam bin `Urwah dari Ayahnya dari Miswar bin Mahramah bahwasanya Subaiah dalam beberapa malam setelah suaminya wafat melahirkan anaknya, lalu datang kepada nabi SAW minta izin kawin, beliau memberi izin kepadanya, lalu dia kawin, (Riwayat Bukhari)
2.      Setelah dilakukan proses pen-takhrij-an hadits tidak terdapat cacat dan semua perawinya tsiqah. Sehingga status hadits tentang iddah ini adalah shahih.
3.      Para Imam Madzab sepakat bahwa iddah perempuan yang sedang hamil adalah dengan melahirkan anak, baik karena dithalaq suaminya atau ditinggal mati. Masa iddah bagi perempuan yang tidak berhaid  atau perempuan yang sudah putus  haidnya adalah 3 bulan.
4.      Iddah thalaq, Iddah wanita hamil, dan Iddah karena wafatnya suami.
5.      Dalam KHI dijelaskan tentang berapa masa tunggu yang harus dijalani seorang wanita, yaitu dalam pasal 153 – 155.









DAFTAR PUSTAKA
Abu Abdullah Muhammad bin Ismail Al-bukhari, Shahih Al- Bukhari juz 3, Indonesia: MAKTABAH DAHLAN
Ahmad, Syihabuddin bin Ali bin Hajar al- Asqalani, 1994, Tahdzibu tahdzib Juz 8, Bairut: DARUL FIQR
Imam Abi Husain Muslim bin Hajjaj, Shohih Muslim Juz 2, Indonesia: MAKTABAH DAHLAN
Depag RI, 2000, al-Qur`an dan Terjemahnya, Bandung: CV. DIPONEGORO
Muhamad bin Ismail as-Shon’anii, 2006, Subulus al-Salam, Jilid 3, Bairut : DARUL AL-FIKR
Muhamad bin ‘Ali as-Tsaukani, 2000, Nailul al-Authar, Jilid 4, Bairut : DARUL AL-FIKR 
Muhammad bin Abdurrahman Ad-Dimasyqi, 2004, Fiqih Empat Madzab, Bandung: HASYIMI PRESS
Prof. Dr. Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Prof. Dr. Abdul Wahab Sayyed Hawwas, 2009, FIQH MUNAKAHAT, Jakarta: AMZAH
Syarifuddin, Amir, 2009, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta : KENCANA
Soesilo dan Pramudji R. 2007. Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Wipress
Tim Redaksi Nuansa Aulia, 2008, Kompilasi Hukum Islam, Bandung : CV. NUANSA AULIA



[1] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahannya , (Bandung : CV. Diponegoro, 2000), h. 324
[2] Soesilo dan Pramudji R. Kitab Undang-undang Hukum Perdata, (Wipress, 2007), h. 457
[3] Abu Abdullah Muhammad bin Ismail Al-bukhari, Shahih Al- Bukhari  juz 3, (Indonesia: Maktabah Dahlan, 1992),  hal. 2202
[4] A.W. Munawir, Kamus al-Munawir Arab-Indonesia Terlengkap
[5] Syihabuddin Ahmad bin Ali bin Hajar al- Asqalani, Tahdzibu tahdzib Juz 8, (Bairut: Darul Fiqr, 1994), h. 177
[6] Syihabuddin Ahmad bin Ali bin Hajar al- Asqalani, Tahdzibu tahdzib Juz 5, (Bairut: Darul Fiqr, 1994), h. 548
[7] Syihabuddin Ahmad bin Ali bin Hajar al- Asqalani, Tahdzibu tahdzib Juz 9, (Bairut: Darul Fiqr, 1994), h. 57
[8] Syihabuddin Ahmad bin Ali bin Hajar al- Asqalani, Tahdzibu tahdzib Juz 9, (Bairut: Darul Fiqr, 1994), h. 283
[9] Muhamad bin Ismail as-Shon’anii, Subulus al-Salam, Jilid 3, (Bairut : Darul al-fikr, 2006), h. 203
[10] Muhamad bin ‘Ali as-Tsaukani, Nailul al-Authar, Jilid 4, (Bairut: Darul al-Fikr, 2000) h.82 
[11] Muhammad bin Khalifah al-Wastani al-Ubai, Ikmalu Ikmal al-Mu’allim, Jilid 5, (Biarut: Darul Kutub al-Ilmiah Libanon, 2008), h. 238
[12] Muhamad bin Ismail as-Shon’anii, Subulus al-Salam, Jilid 3. h. 203
[13] Amir Syarifuddin. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. (Jakarta : Kencana, 2009), h. 303-304
[14] Abdul Aziz Muhammad Azzam dan  Abdul Wahab Sayyed Hawwas, FIQH MUNAKAHAT, (Jakarta: AMZAH, 2009), h. 318-319
[15] Muhammad bin Abdurrahman Ad-Dimasyqi, FIQIH EMPAT MADZAB, (Bandung, Hasyimi Press, 2004), h. 403
[16] Ibid, h. 403
[17] Amir Syarifuddin. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. (Jakarta : Kencana, 2009), h. 306-307
[18] Ahmad bin `Umar ad-Dairabi, Fiqih Nikah,  terjemahan Heri Purnomo dan Syaiful Hadi , (Jakarta: Mustaqim, 2003), h. 82
[19] Departemen Agama RI, Al-Qur`an dan Terjemahnya Juz 28, (Bandung: CV. Diponegoro, 2000), h. 446
[20]Amir Syarifuddin. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. (Jakarta : Kencana, 2009), h. 311
[21] Ada yang mengatakan lamanya waktu setelah ditinggal mati suaminya adalah satu bulan, 25 malam, dan ada juga selain itu.
[22] Imam Abi Husain Muslim bin Hajjaj, Shohih Muslim Juz 2, (Indonesia: MAKTABAH DAHLAN), h. 1122
[23] Departemen Agama RI, al-Qur`an dan Terjemahnya, (Bandung: CV. Diponegoro, 2000), h. 30
[24] Imam Abi Husain Muslim bin Hajjaj, Shohih Muslim Juz 2, (Indonesia: MAKTABAH DAHLAN), h. 1124
[25] Tim Redaksi Nuansa Aulia. Kompilasi Hukum Islam, (Bandung : CV. Nuansa Aulia, 2008), hal. 47-48
[26] yihabuddin Ahmad bin Ali bin Hajar al- Asqalani, Tahdzibu tahdzib Juz 9, (Bairut: Darul Fiqr, 1994), h. 322-323
[27] Amir Syarifuddin. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. (Jakarta : Kencana, 2009),  h. 305
[28] Tim Redaksi Nuansa Aulia. Kompilasi Hukum Islam. (Bandung : CV. Nuansa Aulia, 2008), hal. 47-48
[29] Ibid, hal. 48

Tidak ada komentar:

Posting Komentar