HADITS TENTANG IDDAH
Makalah
diajukan untuk
memenuhi tugas mata kuliah
"Hadits Hukum Keluarga I"
Oleh:
Mohammad Abdul Ghofur C51208033
Syamsul Arifin C51208053
Sukandari C51208050
Dosen Pembimbing :
H. Arif Jamaluddin Malik, M. Ag.
JURUSAN AKHWAL
AL-SYAKHSIYAH
F A K U L T A S S Y A R I ' A H
INSTITUT AGAMA ISLAM
NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2010
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Perkawinan
merupakan salah satu pintu untuk memperoleh kehidupan yang bahagia. Sebagaimana
al-Qu’an surat Ar-Ruum ayat 21 yaitu :
وَمِنْ آَيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ
أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً
إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan
merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.[1]
Selain tertuang dalam al-Qur’an, perkawinan juga
dijelaskan dalam hukum positif di Indonesia yaitu dalam UU No. 1 Tahun 1974
Pasal 1 yang berbunyi:
“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria
dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.[2]
Dalam
sebuah perkawinan terdapat fase yang kadang bisa dialami oleh seorang wanita
yaitu fase iddah. Pembahasan tentang iddah merupakan pembahasan yang panjang.
Dalam hadits tidak ada yang membahas iddah secara umum tapi dengan spesifikasi
masing-masing kasus. Sehingga, memerlukan pembahasan secara detail tentang iddah
itu sendiri. Oleh karena itu, penulis akan mencoba membahas secara mendetail
tentang iddah, baik dari segi hadits maupun segi hukum positifnya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
Hadits tentang Iddah?
2.
Bagaimana
kualitas Hadits tentang Iddah?
3.
Bagaimana isi
kandungan hokum Hadits tentang Iddah?
4.
Bagaimana
tinjauan Iddah fersi KHI?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Mengetahui
hadits tentang Iddah
2.
Mengetahui kualitas
Hadits tentang Iddah
3.
Mengetahui isi
kandungan hokum Hadits tentang Iddah
4.
Memahami hukum Iddah versi KHI
PEMBAHASAN
A. Hadits Tentang Iddah
حَدَّثَنَا
يَحْيَى بْنُ قَزَعَةَ حَدَّثَنَا مَالِكٌ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ
أَبِيهِ عَنْ الْمِسْوَرِ بْنِ مَخْرَمَةَ
أَنَّ
سُبَيْعَةَ الْأَسْلَمِيَّةَ نُفِسَتْ بَعْدَ وَفَاةِ زَوْجِهَا بِلَيَالٍ
فَجَاءَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاسْتَأْذَنَتْهُ أَنْ
تَنْكِحَ فَأَذِنَ لَهَا فَنَكَحَتْ (رواه البخاري)[3]
Berkata
Yahya bin Qaza`ah berkata Malik dari Hisyam bin `Urwah dari Ayahnya dari Miswar
bin Mahramah bahwasanya Subaiah dalam beberapa malam setelah suaminya wafat
melahirkan anaknya, lalu datang kepada nabi SAW minta izin kawin, beliau memberi
izin kepadanya, lalu dia kawin, (Riwayat Bukhari)
الْمِسْوَرِ بْنِ مَخْرَمَةَ
الوفاة
: 64 هـ بمكة
|
مَالِكٌ بن أنس
الوفاة
: 189
|
أَبِيهِ (عروة بن زبير, أبو عبد الله المدني)
الوفاة : 94
/ 95 هـ
|
هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ
الوفاة
: 146 هـ
|
يَحْيَى بْنُ قَزَعَةَ
الطبقة : كبار الأ خذين عن تبع الأ تباء
|
1. Makna mufradat
نُفِسَتْ اي وَلَدَتْ : نفست
المرأة غلاما : melahirkan
2.
Kajian sanad hadits
Miswar
bin Makhramah
Nama lengkap beliau
adalah Miswar bin Makhramah bin Naufal bin Uhaib bin abdu manaf bin Zahrah bin
kilab al-Qurasyi, Abu Abdur Rahman az-Zuhri. Ibunya bernama Syifa` binti Auf. Menurut
Umar bi ali beliau lahir pada tanggal 2 hijriah di makkah dan wafat pada tanggal
64 H. beliau termasuk sahabat Nabi. Diantara Guru beliau adalah: Rasulullah
SAW, Abdullah bin Abbas, Abdur Rahman bin Auf (paman dari ibu beliau), Usman
bin Affan, Ali bin Abi Tholib.[5]
Urwah bin Zubair
Nama lengkap beliau adalah Urwah bin Zubair
bin Awam bin bin Khuwailid al-Quarasyi al-Asadi, Abu Abdullah al-Madani. Beliau
lahir di akhir kekholafahan Umar bin Khattab pada tahun 23 H dan wafatnya
menurut Ibn Abi Khaitsamah pada tahun 94/ 95 H. beliau hidup dimasa
tengah-tengah tabi`in. menurut Ibn Hajr beliau adalah tsiqah. Diantara guru
beliau adalah Miswar bin mukharramah, Amr bin ash, Qhais bin Said bin ibadah,
Muhammad bin Musalamah al-Anshari, Marwan bin Hakim.[6]
Hisyam bin Urwah
Nama lengkap beliau
adalah Hisyam bin Urwah bin Zubair bin Awam al-Qurasyi al-Asady, Abu Mundzir,
dan ada yang mengatakan Abu `Abdullah al-Madani. Menurut Kharbi dan dikuatkan
oleh Anu Naim dan yang lainnya sunnah al-khamsah, menurut Ibn Said dan ajali
beliau adalah tsiqah dan menurut Ibn Hatim tsiqah, Imam di dalam hadits.[7] Diantara
guru beliau adalah Urwah bin zubair, umar bin Abdullah bin Umar bin Khattab, Umar bin Khuzaimah, Umar bin Suaib, Umar bin Haris bin Tufail.
Malik bin Anas
Nama lengkap beliau
adalah Malik bin Anas bin Malik bin abi Amir bin Amr as-Subhi humairi, Abu
Abudullah al-Madani al-Faqih. Beliau lahir pada tahun 93 H. dan wafat pada
tahun 179 H. menurut Ibn Hajar beliau adalah إمام دار الهجرة, رأس المتقنين, وكبير المتسبتين sehingga
menurut imam bukhari hadits yang diriwayatkan oleh bin Anas bin Malik bin abi Amir adalah semuah
sanadnya shohih. Diantara guru beliau adalah Hisyam bin Urwah, pamannya Abi
Sahil Nafi` bin Malik, Nafi` Maula Ibn Umar.
Yahya
bin Quza`ah
Nama
lengkap beliau adalah Yahya Quza`ah Qurasyi, al-Hajazi al-Makki, Muaddhin,
meriwayatkan darinya Imam Bukhari, menurut Ibn Hajar beliau adalah maqbul
sedang menurut dhahabi adalah tsiqah. Diriwayatkan darinya oleh Imam bukhari,
Ahmad di Sholih aal-Misri, Ibrahim bin Mundzir al-Hizami, Muhammad bin Muslim
ibn Warati, Dhahili, Abu Yahya bin Abi Maisarah al-Makki, dan menurut Ibn
Hibban beliau adalah tsiqah.[8]
Diantara guru beliau
adalah Abdurrahman bin Abi Rijal, Umat bin Abi Aisyah al-Madani, Malik bin Anas,
Mughirah bin Abdurrahman al-Hazami.
3. Syarah Hadits
As-Shon’anii menjelaskan dalam kitabnya Subulus
al-Salam bahwa setelah ditinggal
mati oleh suaminya yaitu sa’id bin khawlah yang meninggal di Mekah setelah
melaksanakan haji wada’ dalam beberapa malam (banyak perselisihan mengenai
jumlah malam ketika itu), kemudian Subai’ah datang kepada Nabi untuk
meminta izin menikah lagi, Nabi pun mengizinkanya lalu ia menikah. H. R. Bukhori
sedangkan aslinya terdapat dalam Shahihain dan lafadnya milik Bukhari.[9]
Keterangan lain
menyebutkan yang dimaksud dengan suaminya adalah Sa’id bin Khawlah al-‘Amiri
dari bani ‘Amir bin Luayy dan sebab kematianya karena dibunuh ketika haji wada’
akan tetapi penyebab kematian ini riwayatnya syadz.[10]
Hadits tentang Subaiah menurut Ibn Mas’ud
halal baginya menikah lagi setelah melahirkan, karena sesungguhnya ia sudah
dihukumi halal untuk menikah ketika melahirkan yang masih berbentuk ‘alaqoh
(segumpal darah) dan seterusnya (Mudghah) sekiranya ia mengetahui bahwa
ia dalam keadaan hamil. Berbeda dengan Imam Syafi’I dalam salah satu pendapatnya bahwasanya
tidak halal baginya sampai melahirkan anak dalam keadaan sempurna.[11]
Hadist ini menunjukkan bahwasanya orang hamil
yang ditinggal mati suaminya masa iddahnya habis setelah ia melahirkan walaupun
belum sampai empat bulan 10 hari dan boleh melakukan akad nikah setelah itu.[12]
B.
Pengertian Iddah
Secara bahasa iddah
berasal dari kata adda – ya’uddu – ‘idatan dan jamaknya ‘idad, yang
artinya: menghitung atau hitungan. Kata iddah digunakan untuk menunjukkan suatu
masa dimana seorang wanita menunggu berlalunya waktu. Menurut al-Shan’aniy
definisi iddah :
اسم لمدة تتربص بها
المراْة عن التزويج بعد وفاة زوجها وفراقه لها
Nama bagi suatu masa yang seorang perempuan menunggu dalam masa itu
kesempatan untuk kawin lagi karena wafatnya suaminya atau bercerai dengan
suaminya.
Selain pendapat Al-Shan’aniy, ada pendapat lain tentang definisi iddah
yaitu:
مدة تتربص فيها
المراة لتعرف برائة رحمها او للتعبد
Masa tunggu yang harus dilalui oleh seorang perempuan untuk
mengetahui bersihnya rahim perempuan itu atau untuk beribadah
Dari beberapa
pendapat tentang definisi iddah di atas, bisa disimpulkan iddah adalah masa
yang harus ditunggu oleh seorang perempuan yang telah bercerai dari suaminya
supaya dapat menikah lagi untuk mengetahui bersih rahimnya atau untuk
melaksanakan perintah Allah.[13]
Iddah sudah
dikenal sejak masa jahiliyah dan hampir saja mereka tidak meninggalkannya.
Tatkala datang islam karena maslahat, iddah diantara kekhususan kaum wanita
walaupun di sana ada kondisi tertentu seorang laki-laki memiliki masa tunggu,
tidak halal menikah kecuali habis masa iddah
wanita yang dicerai. Iddah termasuk di antara sesuatu yang tidak berbeda sebab
perbedaan waktu, tempat, dan lingkungan. Allah telah menjelaskan dengan jelas
dan sempurna dalam al-Qur`an dan tidak ada keganjilan sedikitpun.[14]
1.
Pandangan Ulama
Tentang Iddah
Para
Imam Madzab
sepakat bahwa iddah perempuan yang sedang
hamil adalah dengan melahirkan anak, baik karena dithalaq suaminya atau
ditinggal mati. Masa iddah bagi perempuan yang tidak berhaid atau perempuan yang sudah putus haidnya adalah 3 bulan. Adapun masa iddah
bagi perempuan yang berhaid adalah tiga quru`
jika ia adalah perempuan merdeka. Sedangkan jika ia seorang budak perempuan
maka masa iddahnya dua quru`. Begitu
menurut kesepakatan pendapat para imam Madzab. Dawud berpendapat: perempuan
merdeka dan budak perempuan adalah sama masa iddahnya yaitu tiga quru`.[15]
Menurut
pendapat Imam Malik dan imam
Syafi`I quru`
adalah masa haid sedangkan menurut imam
Hanafy Quru` adalah haid.[16]
Ulama
fiqh berbeda pendapat tantang keluarnya dalam masa iddah, menurut imam Hanafi tidak
boleh bagi wanita yang dithalaq raj`i dan thalaq bain keluar dari rumah siang
dan malam. Adapun apabila iddahnya karena
ditinggal mati suaminya maka boleh eluar pada siang hari dan sebagian malam,
tetapi tidak boleh menginap kecuali di rumahnya. Perbedaan pada keduanya dikarenakan
istri yang dithalaq masih dapat nafaqah dari suaminya sedangkan istri yang
ditinggal mati suaminya tidak ada yang menafkahi. Kalau menurut imam hanbali
antara iddahnya istri yang dithalaq dengan istri yang dinggal mati suaminya
membolehkan keduanya keluar dari rumah pada siang hari.
2.
Syarat Wajib
Beriddah
Yang
dimaksud dengan syarat wajib disini adalah syarat-syarat yang menentukan adanya
hukum wajib, bentuk syaratnya adalah aletrnatif dengan arti bila tidak terdapat
salah satu syarat yang ditentukan, maka tidak ada hukum wajib, sebaliknya bila
salah satu diantara syarat yang ditentukan telah terpenuhi , maka hukumnya
adalah wajib, syarat wajib iddah ada dua, yaitu:
1.
Matinya suami
2.
Istri sudah
bergaul dengan suaminya. Kata bergaul disini ulama
beda pendapat. jumhur ulama adalah yang dimaksud
adalah hubungan kelamin. Sebagian ulama diantaranya Imam Ahmad, Imam Syafi`i dan Hanafiyah adalah bila terjadi khalwat meskipun tidak
berhubungan kelamin, telah wajib iddah.[17] Tidak wajib masa iddah bagi istri dari suami yang masih kecil dan belum
produktif, apabila seorang bapak atau atau penerima wasiat mengkhulu` istrinya,
sekalipun ia sanggup melakukan jima`.[18]
Menurut pemakalah
3.
Macam-Macam Iddah
1.
Iddah thalaq
حَدَّثَنَا
أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ إِدْرِيسَ عَنْ
عُبَيْدِ اللَّهِ عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ طَلَّقْتُ امْرَأَتِى
وَهِىَ حَائِضٌ فَذَكَرَ ذَلِكَ عُمَرُ لِرَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
فَقَالَ « مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا حَتَّى تَطْهُرَ ثُمَّ تَحِيضَ ثُمَّ تَطْهُرَ
ثُمَّ إِنْ شَاءَ طَلَّقَهَا قَبْلَ أَنْ يُجَامِعَهَا وَإِنْ شَاءَ أَمْسَكَهَا
فَإِنَّهَا الْعِدَّةُ الَّتِى أَمَرَ اللَّهُ ». (رواه ابن ماجه(
“telah
menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Saibah telah menceritakan kepada kami
Abdulla bin Idris dari Ubaidillah dari Nafi’ dari Ibnu Umar ia berkata : aku
menthalaq isteriku dalam keadaan haidh kemudian umar menceritakan hal tersebut
kepada rasullah. Kemudian rasulullah bersabda “perintahkan kepadanya (Ibnu
Umar) supaya kembali kepada isterinya sehingga suci kemudian haidh kemudian
suci lagi, kemudian apabila ia ingin menthalaqnya hendaklah ia menthalaq
sebelum berhubungan dengannya, apabila tetap ingin bersamanya maka hendaklah
bersamanya. Itulah iddah yang diperintahkan oleh allah”(HR. Ibn Majah)
Iddah wanita yang di thalaq dalam masa haid (iddah thalaq) dalam hadits pertama tersebut nabi menyuruh umar bin
khattab untuk menyampaikannya kepada anaknya (Abdullah bin umar) tentang hukum
menthalaq isteri dalam waktu haidh. Dari hadits diatas dapat
diungkapkan bahwa iddah bagi wanita yang dithalaq dalam keadaan haidh adalah tiga kali
haidh/suci. Dalam al Quran sendiri pembahasan tentang iddah
wanita yang dithalaq terbagai dua pendapat. Hal ini disebabkan pemaknaan terhadap
kata quru’ itu sendiri yang dibahas dalam tafsir ayat ahkam. Pemahaman ini (tiga kali haidh) dari hadits diatas dapat dihitung dari ungkapan hadits sebagai berikut . حَتَّى تَطْهُرَ ثُمَّ تَحِيضَ ثُمَّ تَطْهُر perlu diperhatikan dari pernyataan Nabi diatas bahwa terjadinya
thalaq tersebut terjadi sebelum masa suci (masa haidh) dengan ungkapan abdullah
bin umar : طَلَّقْتُ
امْرَأَتِى وَهِىَ حَائِض . Jadi masa iddahnya
dimulai ketika ia dithalaq dalam waktu haidh hingga tiga kali haidh dua kali
masa suci. Ada juga yang menyatakan bahwa iddahnya wanita yang dithalaq adalah
tiga kali suci. untuk pemahaman tersebut dari hadits diatas adalah perhitungan
suci dimulai sebelum thalaq itu terjadi sedangkan thalaq itu dalam masa haidh.
Maksud dari adanya iddah thalaq/ haidh ini adalah memberiikan kesempatan kepada
suami untuk kembali kepada isterinya di tengah-tengah masa iddah. hal tersebut
mungkin saja terjadi setelah suami berfikir panjang tentang akibat perbuatannya
tersebut. Selain itu juga iddah merupakan sarana untuk melanggengkan perkawinanan
dan menghargai betapa besarnya peran perkawinan dalam membina keluarga yang
bahagia.
Di dalam KHI tentang Iddah bagi wanita yang yang haid dan
tidak dijelaskan di pasal 153 pasal 2 poin b, yaitu: Apabila perkawinan putus
karena perceraian,waktu tunggu bagi yang masih haid ditetapkan 3 (tiga) kali
suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari, dan bagi yang tidak
haid ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari;
2.
Iddah wanita
hamil
Iddah bagi wanita hamil yaitu waktunya sampai ia melahirkan, Allah berfirman
dalam surat at- Thalaq ayat 4 yaitu:
........àM»s9'ré&ur ÉA$uH÷qF{$# £`ßgè=y_r& br& z`÷èÒt £`ßgn=÷Hxq 4 `tBur È,Gt ©!$# @yèøgs ¼ã&©! ô`ÏB ¾ÍnÍöDr& #Zô£ç ÇÍÈ
“dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah
sampai mereka melahirkan kandungannya. dan barang -siapa yang bertakwa kepada
Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.[19]
Bila
perempuan yang hamil itu ditinggal mati oleh suaminya, para ulama berbeda
pendapat, karena di satu sisi dia sebagai orang hamil dan karena itu dia
mengikuti petunjuk ayat 4 surat at-Thalaq di atas. Namun di sisi lain dia
adalah perempuan yang ditinggal mati suaminya yang iddahnya diatur dalam surat
al-Baqarah ayat 234 yakni iddahnya adalah empat bulan sepuluh hari.
Jumhur
ulama berpendapat bahwa perempuan tersebut menjalani masa iddah sampai
melahirkan anak,[20]
sesuai dengan ayat yang khusus mengaturnya. Dalam hadits disebutkan yang
diriwayatkan Imam Muslim yaitu:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ
بْنُ الْمُثَنَّى الْعَنَزِىُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ قَالَ سَمِعْتُ
يَحْيَى بْنَ سَعِيدٍ أَخْبَرَنِى سُلَيْمَانُ بْنُ يَسَارٍ أَنَّ أَبَا سَلَمَةَ
بْنَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ وَابْنَ عَبَّاسٍ اجْتَمَعَا عِنْدَ أَبِى هُرَيْرَةَ وَهُمَا
يَذْكُرَانِ الْمَرْأَةَ تُنْفَسُ بَعْدَ وَفَاةِ زَوْجِهَا بِلَيَالٍ. فَقَالَ
ابْنُ عَبَّاسٍ عِدَّتُهَا آخِرُ الأَجَلَيْنِ. وَقَالَ أَبُو سَلَمَةَ قَدْ
حَلَّتْ. فَجَعَلاَ يَتَنَازَعَانِ ذَلِكَ قَالَ فَقَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ أَنَا
مَعَ ابْنِ أَخِى - يَعْنِى أَبَا سَلَمَةَ - فَبَعَثُوا كُرَيْبًا - مَوْلَى ابْنِ
عَبَّاسٍ - إِلَى أُمِّ سَلَمَةَ يَسْأَلُهَا عَنْ ذَلِكَ فَجَاءَهُمْ
فَأَخْبَرَهُمْ أَنَّ أُمَّ سَلَمَةَ قَالَتْ إِنَّ سُبَيْعَةَ الأَسْلَمِيَّةَ
نُفِسَتْ بَعْدَ وَفَاةِ زَوْجِهَا بِلَيَالٍ وَإِنَّهَا ذَكَرَتْ ذَلِكَ
لِرَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَأَمَرَهَا
أَنْ تَتَزَوَّجَ. رواه مسلم
“Diriwayatkan dari Muhammad bin Mutsanna al Anazy
diceritakan dari Abdul Wahhab ia berkata : aku mendengar Yahya bin Sa’id berkata
telah bercerita kepadaku Sulaiman bin Yassar bahwa Abu Salamah bin Abdul Rahman
dan Ibnu Abbas pernah berkumpul bersama Abu Hurairah dan membicarakan tentang
wanita yang nifas satu malam setelah kematian suaminya.[21] Ibnu
Abbas berkata bahwa iddahnya adalah yang paling akhir dari dua ketentuan (iddah
hamil dan iddah wafat). Abu salamah berpendapat bahwa wanita tersebut telah
halal. Kemudian mereka berdua berdebat tentang hal tersebut. Maka berkatalah Abu
Hurairah “sesungguhnya aku sepakat dengan anak saudarakau (Abu Salamah).
Kemudian mereka mengutus kurbi kepada Umi Salamah untuk menanyakan kasus
tersebut, tidak lama kemudian kurbi datang membawa berita bahwa Ummi Salamah berkata : sesungguhya Subai’ah
al Salami nifas setelah satu malam ditinggal mati suaminya dan ia memceritakan
hal tersebut kepada Rasulullah dan ia diperintah untuk menikah lagi”.( HR
Muslim)
[22]
Menurut ketentuan hadits diatas
bahwa iddahnya wanita hamil baik karena ditinggal mati atau diceraikan adalah sampai
melahirkan. Apabila terjadi kemungkinan dua iddah dalam satu kasus seperti
ketika ia ditinggal mati suaminya dalam keadaan mengandung menurut ketentuan hadits diatas adalah mendahulukan yang paling cepat
selesainnya (empat bulan sepuluh hari dan atau melahirkan). dalam hadits diatas
diceritakan bahwa Subai’ah Al- Aslamiyyah diperbolehkan menikah lagi setelah ia
melahirkan padahal ia baru satu malam saja ditinggal mati suaminya. Hadits ini semakna dengan hadits utama di atas bahwa Iddah bagi wanita yang ditinggalmati suaminya kalau dalam
keadaan hamil maka iddahnya sampai melahirkan.
Di dalam KHI dalam pasal 153 ayat 2
poin c dan d bahwa Iddah bagi perempuan hamil baik karena dicerai maupun karena
ditinggal mati suaminya adalah sampai ia melahirkan.
Pendapat pemakalah apabila dalam
keadaan hamil kemudian di tinggal mati suaminya sebagaimana pendapat jumhur
ulama yakni sampai ia melahirkan. selain diterangkan dalam ayat yang khusus dan
dalam hadits di atas bahwa wanita selesai melahirkan membutukan biaya untuk
dirinya dan anaknya. sedangkan ia belum bisa mencari nafkah maka karena alasan
tersebut diperbolehkannya ia menikah dalam artian habis masa iddahnya karena
melahirkan.
3.
Iddah karena wafatnya
suami
Iddah bagi perempuan yang ditinggal
mati suaminya adalah adalah empat bulan sepuluh hari baik telah digauli oleh
suaminya maupun belum. dijelaskan dalam
al-Qur`an surat al-Baqarah ayat 234 yaitu:
tûïÏ%©!$#ur tböq©ùuqtFã öNä3ZÏB tbrâxtur %[`ºurør& z`óÁ/utIt £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spyèt/ör& 9åkôr& #Zô³tãur ( #sÎ*sù z`øón=t/ £`ßgn=y_r& xsù yy$oYã_ ö/ä3øn=tæ $yJÏù z`ù=yèsù þÎû £`ÎgÅ¡àÿRr& Å$râ÷êyJø9$$Î/ 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ×Î6yz ÇËÌÍÈ
orang-orang
yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para
isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. kemudian
apabila telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan
mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa
yang kamu perbuat.[23]
Juga disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan imam Muslim, yaitu:
وَحَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى
قَالَ قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِى بَكْرٍ عَنْ
حُمَيْدِ بْنِ نَافِعٍ عَنْ زَيْنَبَ بِنْتِ أَبِى سَلَمَةَ أَنَّهَا أَخْبَرَتْهُ
هَذِهِ الأَحَادِيثَ الثَّلاَثَةَ قَالَ قَالَتْ زَيْنَبُ دَخَلْتُ عَلَى أُمِّ
حَبِيبَةَ زَوْجِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- حِينَ تُوُفِّىَ أَبُوهَا أَبُو
سُفْيَانَ فَدَعَتْ أُمُّ حَبِيبَةَ بِطِيبٍ فِيهِ صُفْرَةٌ خَلُوقٌ أَوْ غَيْرُهُ
فَدَهَنَتْ مِنْهُ جَارِيَةً ثُمَّ مَسَّتْ بِعَارِضَيْهَا ثُمَّ قَالَتْ
وَاللَّهِ مَا لِى بِالطِّيبِ مِنْ حَاجَةٍ غَيْرَ أَنِّى سَمِعْتُ رَسُولَ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ عَلَى
الْمِنْبَرِ « لاَ يَحِلُّ لاِمْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ
تُحِدُّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلاَثٍ إِلاَّ عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ
وَعَشْرًا » (رواه مسلم)[24]
“telah
bercerita kepada kami yahya bin yahya ia berkata : aku membacakan hadits
dihadapan malik dari Abdullah bin abi bakr dari humaid bin nafi’ dari zainab
binti abi salamah bahwa zainab telah meriwayatkan hadits ini. Humaid bin nafi’
berkata bahwa zainab pernah berkata “aku bertemu dengan umi haibah isteri nabi
ketika ayahnya meninggal ayahnya (abu sufyan)dst. Kemudian umi habibah berkata
“aku mendengar rasulullah bersabda diatas mimbar “tidak halal bagi seorang
wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir meratapi mayit lebih dari tiga hari kecuali atas suaminya selama
empat bulan sepuluh hari”.(HR Muslim)
Dalam KHI masa iddah
bagi wanita yang ditinggal mati suaminya dalam pasal 153 ayat 2 poin a yaitu:
Apabila perkawinan putus karena kematian, walaupun qobla al dukhul,
waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari.[25]
Menurut
hadits diatas bahwa iddah wanita yang ditinggal wafat suamianya adalah empat
bulan sepuluh hari, apabila wanita tersebut sedang mengandung maka iddah yang
digunakan adalah iddah hamil. Apabila wanita
tersebut bukan dalam keadaan hamil
maka iddahnya yaitu tiga bulan sepuluh hari.
BENTURAN ANTAR IDDAH MENURUT ULAMA’
4.
Hak Istri dalam
Masa Iddah
Istri yang telah
bercerai dari suaminya masih mendapatkan hak-hak dari mantan suaminya selama dalam masa iddah.
Istri yang berserai dari suaminya dihubungkan kepada hak yang diterimanya
dikelompokkan kedalam tiga hal:
1.
Istri yang
dithalak raj`iy, hak yang diterimanya adalah penuh sebagaimana yang berlaku
sebelum dicerai. Baik dalam bentuk perbelanjaan untuk pangan, untuk pakaian dan
juga tempat tinggal. Ini merupakan kesepakatan ulama.
2.
Istri yang di
thalak bain, baik bain sughra atau bain kubra dan dia sedang hamil. Dalam hal
ini ulama sepakat, dia berhak atas nafaqah dan tempat tinggal.
3.
Istri yang
ditinggal mati suaminya. Dalam keadaan hamil ulama sepakat mengatakan bahwa dia
berhak atas nafkah dan tempat tinggal, namun bila tidak dalam keadaan hamil
ulama berbeda pendapat. Empat imam selain Hanbali berpendapat bahwa istri dalam
iddah wafat berhak atas tempat tinggal. Mereka berdasarkan ayat 180 surat
al-Baqara yang menyuruh istri beriddah di rumah suaminya.[26]
5.
Tujuan dan
Hikmah Hukum
Tujuan dan hikmah diwajibkan Iddah adalah sebagaimana dijelaskan
dalam salah
satu definisi yang disebutkan di atas, yaitu:
1.
Untuk megetahui
bersihnya rahim perempuan dari bibit suaminya yang dulu. Pada masa sekarang
tujuan yang pertama ini tidaklah relevan lagi karena sekarang sadah ada alat
yang canggih untuk mendeteksi bersihnya rahim perempuan dari mantan istrinya.
2.
Taabud,
artinya semata untuk memenuhi kahendak dari Allah meskipun secara resiko kita
mengira tidak perlu lagi.
Adapun hikmah yang
dapat diambil dari ketentuan iddah itu
adalah agar suami yang menceraikan istrinya itu berpikir kembai dan menyadari
tindakan itu tidak baik dan menyesal atas tindakannya itu. Dengan adanya iddah
dia dapat menjalin kembali perkawinan tanpa harus mengadakan akad yang baru. [27]
6.
Konsep Iddah di
dalam KHI
Dalam KHI dijelaskan tentang berapa masa tunggu yang harus
dijalani seorang wanita, yaitu dalam pasal 153 – 155 :
Pasal 153 :
1.
Bagi seorang
isteri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu atau iddah, kecuali qobla
al dukhul dan perkawinannya putus bukan karena kematian suami.
2.
Waktu tunggu
bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut :
a. Apabila perkawinan putus karena kematian, walaupun qobla al
dukhul, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari
b. Apabila perkawinan putus karena perceraian,waktu tunggu bagi yang
masih haid ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sukurang-kurangnya 90 (sembilan
puluh) hari, dan bagi yang tidak haid ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari;
c. Apabila perkawinan putus karena perceraian sedang janda tersebut
dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan;
d. Apabila perkawinan putus karena kematian, sedang janda tersebut
dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
3. Tidak ada waktu tunggu
bagi yang putus perkawinan karena perceraian sedang antara janda tersebut
dengan bekas suaminya qobla al dukhul.
4. Bagi perkawinan yang
putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya, Putusan
Pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sedangkan bagi
perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak
kematian suami.
5. Waktu tunggu bagi isteri yang pernah
haid sedang pada waktu menjalani iddah tidak haid karena menyusui, maka iddahnya
tiga kali waktu haid.
6. Dalam hal keadaan pada
ayat (5) bukan karena menyusui, maka iddahnya selama satu tahun, akan tetapi
bila dalam waktu satu tahun tersebut ia haid kembali, maka iddahnya menjadi
tiga kali waktu suci.[28]
Pasal 154 :
Apabila isteri berthalaq raj`I kemudian dalam waktu iddah
sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) huruf b, ayat (5) dan ayat (6)pasal
153, di tinggal mati oleh suaminya, maka iddahnya berubah menjadi empat
bulansepuluh hari terhitung saat matinya bekas suaminya.
Pasal 155 :
Waktu iddah bagi janda yang putus perkawinannya karena khuluk,
fasakh dan li`an berlaku iddah thalaq.[29]
KESIMPULAN
1.
Melihat dari
hadits-hadits yang ada tidak terdapat hadits yang membahas secara umum tentang
iddah, hanya spesifikasi masing-masing kasus dalam iddah itu sendiri.
Sebagaimana hadits Bukhari :
حَدَّثَنَا
يَحْيَى بْنُ قَزَعَةَ حَدَّثَنَا مَالِكٌ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ
أَبِيهِ عَنْ الْمِسْوَرِ بْنِ مَخْرَمَةَ أَنَّ سُبَيْعَةَ الْأَسْلَمِيَّةَ نُفِسَتْ بَعْدَ
وَفَاةِ زَوْجِهَا بِلَيَالٍ فَجَاءَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَاسْتَأْذَنَتْهُ أَنْ تَنْكِحَ فَأَذِنَ لَهَا فَنَكَحَتْ (رواه
البخاري)
Berkata Yahya bin Qaza`ah berkata Malik
dari Hisyam bin `Urwah dari Ayahnya dari Miswar bin Mahramah bahwasanya Subaiah
dalam beberapa malam setelah suaminya wafat melahirkan anaknya, lalu datang
kepada nabi SAW minta izin kawin, beliau memberi izin kepadanya, lalu dia kawin, (Riwayat Bukhari)
2. Setelah dilakukan proses pen-takhrij-an hadits tidak
terdapat cacat dan semua perawinya tsiqah. Sehingga status hadits tentang iddah
ini adalah shahih.
3. Para Imam Madzab
sepakat bahwa iddah perempuan yang sedang hamil adalah dengan melahirkan
anak, baik karena dithalaq suaminya atau ditinggal mati. Masa iddah bagi
perempuan yang tidak berhaid atau
perempuan yang sudah putus
haidnya adalah 3 bulan.
4. Iddah thalaq, Iddah wanita hamil, dan Iddah karena wafatnya suami.
5. Dalam KHI dijelaskan tentang berapa masa tunggu yang harus dijalani
seorang wanita, yaitu dalam pasal 153 – 155.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Abdullah
Muhammad bin Ismail Al-bukhari, Shahih Al- Bukhari juz 3, Indonesia: MAKTABAH DAHLAN
Ahmad, Syihabuddin bin Ali bin Hajar al- Asqalani, 1994, Tahdzibu
tahdzib Juz 8, Bairut: DARUL FIQR
Imam Abi
Husain Muslim bin Hajjaj, Shohih Muslim Juz 2, Indonesia:
MAKTABAH DAHLAN
Depag RI, 2000, al-Qur`an dan
Terjemahnya, Bandung: CV. DIPONEGORO
Muhamad bin Ismail
as-Shon’anii, 2006, Subulus
al-Salam, Jilid 3, Bairut :
DARUL AL-FIKR
Muhamad bin
‘Ali as-Tsaukani, 2000, Nailul
al-Authar, Jilid 4, Bairut : DARUL AL-FIKR
Muhammad bin
Abdurrahman Ad-Dimasyqi, 2004, Fiqih Empat
Madzab, Bandung: HASYIMI PRESS
Prof. Dr. Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Prof. Dr. Abdul Wahab Sayyed
Hawwas, 2009, FIQH MUNAKAHAT, Jakarta: AMZAH
Syarifuddin, Amir, 2009, Hukum
Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta
: KENCANA
Soesilo dan Pramudji R. 2007. Kitab
Undang-undang Hukum Perdata. Wipress
Tim Redaksi
Nuansa Aulia, 2008, Kompilasi
Hukum Islam, Bandung : CV.
NUANSA AULIA
[1]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahannya , (Bandung : CV.
Diponegoro, 2000), h. 324
[2]
Soesilo dan Pramudji R. Kitab Undang-undang Hukum Perdata, (Wipress,
2007), h. 457
[3] Abu
Abdullah Muhammad bin Ismail Al-bukhari, Shahih Al- Bukhari juz 3, (Indonesia: Maktabah Dahlan, 1992),
hal. 2202
[5] Syihabuddin Ahmad bin Ali bin Hajar al- Asqalani, Tahdzibu tahdzib Juz
8, (Bairut: Darul Fiqr, 1994), h. 177
[6] Syihabuddin Ahmad bin Ali bin Hajar al- Asqalani, Tahdzibu tahdzib Juz
5, (Bairut: Darul Fiqr, 1994), h. 548
[7] Syihabuddin Ahmad bin Ali bin Hajar al- Asqalani, Tahdzibu tahdzib Juz
9, (Bairut: Darul Fiqr, 1994), h. 57
[8] Syihabuddin Ahmad bin Ali bin Hajar al-
Asqalani, Tahdzibu tahdzib Juz 9, (Bairut: Darul Fiqr, 1994), h. 283
[9]
Muhamad bin Ismail as-Shon’anii, Subulus al-Salam, Jilid 3, (Bairut : Darul al-fikr, 2006), h. 203
[11]
Muhammad bin Khalifah al-Wastani al-Ubai, Ikmalu Ikmal al-Mu’allim,
Jilid 5, (Biarut: Darul Kutub al-Ilmiah Libanon, 2008), h. 238
[13]
Amir Syarifuddin. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. (Jakarta :
Kencana, 2009), h. 303-304
[14] Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahab Sayyed Hawwas, FIQH MUNAKAHAT, (Jakarta:
AMZAH, 2009), h. 318-319
[15]
Muhammad bin Abdurrahman Ad-Dimasyqi, FIQIH
EMPAT MADZAB, (Bandung, Hasyimi Press, 2004), h. 403
[16] Ibid,
h. 403
[18] Ahmad bin `Umar ad-Dairabi, Fiqih Nikah, terjemahan Heri Purnomo dan Syaiful Hadi , (Jakarta: Mustaqim, 2003), h. 82
[21] Ada
yang mengatakan lamanya waktu setelah ditinggal mati suaminya adalah satu
bulan, 25 malam, dan ada juga selain itu.
[25] Tim Redaksi
Nuansa Aulia. Kompilasi Hukum Islam, (Bandung : CV. Nuansa Aulia, 2008),
hal. 47-48
[26] yihabuddin Ahmad bin Ali bin Hajar al- Asqalani, Tahdzibu tahdzib Juz
9, (Bairut: Darul Fiqr, 1994), h. 322-323
[28] Tim
Redaksi Nuansa Aulia. Kompilasi Hukum Islam. (Bandung : CV. Nuansa Aulia,
2008), hal. 47-48
[29]
Ibid, hal. 48
Tidak ada komentar:
Posting Komentar