Minggu, 01 September 2013

SITA (BESLAAG)



SITA
1.      Pengertian
Sita atau beslaag adalah suatu tindakan hukum oleh hakim yang bersifat eksepsional, atas permohonan salah satu pihak yang berperkara, untuk mengamankan objek sengketa atau yang menjadi jaminan dari kemungkinan dipindah tangankan, dibebani sesuatu sebagai jaminan, dirusak atau dimusnahkan oleh pemegang atau pihak yang menguasai barang-barang tersebut, untuk menjamin agar putusan hakim dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya.[1]
2.      Macam-Macam Sita
a.       Sita Jaminan (conservatoir beslag)
Dari rumusan pasal 227 ayat 1 HIR dan pasal 261 ayat 1 R.Bg dapat diketahui bahwa apabila ada dugaan yang beralasan sebelum perkaranya diputus di pengadilan atau sudah diputus tetapi belum dijalankan, sedangkan tergugat berusaha menggelapkan atau membawa pergi barang-barang bergerak atau barang tetap, maka ketua pengadilan agama atas permohonan yang berkepentingan dapat memerintahkan agar dilakukan penyitaan terhadap barang-barang tersebut untuk memenuhi hak bagi yang mrngajukan permohonan itu. Permohonan sita dapat diajukan oleh yang berkepentingan bersama-sama dengan gugatan, atau juga secara lisan dalam persidangan, dapat juga dilaksanakan sita setelah perkara diputus jika perkara itu dalam proses banding dan kasasi.
Ciri-ciri sita jaminan bisa dikemukakan sebagai berikut :
a)      Sita jaminan diletakkan atas harta yang disengketakan status pemiliknya atau terhadap harta kekayaan tergugat dalam sengketa utang piutang atau juga dalam sengketa dan tuntutan ganti rugi,
b)      Objek sita jaminan bisa meliputi barang bergerak atau barang tidak bergerak.
c)      Pembatasan sita jaminan bisa hanya pada barang-barang tertentu.
d)     Tujuan sita jaminan dimaksudkan untuk menjamin gugatan penggugat.
Sita jaminan pada hakikatnya  merupakan perampasan atas harta sengketa atau harta kekayaan tergugat.
b.      Sita Revindikasi (revindicatoir beslag)
Dalam pasal 226 ayat 1 HIR dan pasal 260 ayat 1 R.Bg. dinyatakan bahwa apabila seseorang memiliki barang bergerak dan barang tersebut berada di tangan orang lain, maka orang tersebut dapat meminta dengan surat atau secara lisan kepada ketua pengadilan agama dalam daerah hukum si pemegang barang bergerak tersebut dan pada saatnya nanti setelah putusan pengadilan  agama mempunyai kekuatan hukum yang tetap, atas permohonan penggugat barang-barang bergerak tersebut dapat diperintahkan agar diserahkan kembali kepada pemilik yang sebenarnya. Tindakan penyitaan barang bergerak dari tangan yang memegangnya merupakan tindakan hukum dengan maksud untuk menjaga kepentingan orang yang memiliki barang tersebut supaya tidak dialihkan kepada orang lain oleh yang memegangnya sampai putusan terhadap perkara yang diajukan itu ditetapkan oleh hakim yang mengadilinya.
Oleh karena itu, penggugat yang mengajukan sita revindikasi harus dapat mengajukan bukti-bukti yang akurat bahwa barang-barang yang saat ini dipegang oleh tergugat adalah merupakan miliknya.
Ciri-ciri sita revindikasi bisa dikemukakan sebagai berikut :
a)      Sita revindikasi dilaksanakan atas permintaan penggugat terhadap barang milik penggugat yang saat ini dikuasai oleh tergugat.
b)      Penyitaan tersebut dilaksanakan atas benda yang dikuasai oleh tergugat secara tidak sah atau melawan hukum atau juga tergugat tidak berhak atasnya,
c)      Objek sita revindikasi ini hanya terbatas pada benda bergerak saja dan tidak mungkin dikabulkan terhadap benda yang tidak bergerak sekalipun gugatan berdasarkan hak milik.[2]
c.       Sita Eksekusi (executorial beslag)
Sita eksekusi adalah sita yang berhubungan dengan masalah pelaksanaan suatu putusan pengadilan agama karena pihak tergugat tidak mau melaksanakan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, meskipun pihak pengadilan agama telah memperingatkan pihak tergugat agar putusan pengadilan agama yang telah berkekuatan hukum tetap itu supaya dilaksanakan oleh tergugat secara sukarela sebagaimana mestinya. Sita eksekusi ini biasa dilaksanakan terhadap suatu putusan yang mengharuskan tergugat membayar sejumlah uang.
Ciri – ciri sita eksekusi sebagai berikut :
a)      Dilaksanakan setelah putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap dan sebelumnya tidak dilaksanakan sita terhadap barang-barang yang disengketakan,
b)      Tujuan sita eksekusi adalah untuk memenuhi pelaksanaan putusan pengadilan agama dan berakhir dengan tindakan pelelangan,
c)      Hanya terjadi dalam hal-hal yang berkenaan dengan pembayaran sejumlah uang dan ganti rugi,
d)     Kewenangan memerintah sita eksekusi sepenuhnya berada di tangan ketua pengadilan agama bukan atas perintah ketua majelis hakim,
e)      Dapat dilakksanakan secara berulang-ulang sampai pembayaran atau pelunasan sejumlah uang dan ganti rugi terpenuhi.
d.      Sita atas harta perkawinan (maritale beslag)
Sita marital sebenarnya sama dengan dengan sita jaminan, hanya saja merupakan pengkhususan terhadap jenis perkara sengketa perceraian. Hak mengajukan marital beslag timbul apabila terjadi perceraian antara suami istri, selama perkara perceraian masih diperiksa di pengadilan agama, maka para pihak diperkenankan mengajukan sita atas harta perkawinan. Adapun tujuan dari maritale beslag adalah untuk menjamin agar harta perkawinan tetap utuh dan terpelihara sampai perkara mendapat putusan yang berkekuatan hukum tetap.[3]
3.      Tata Cara Penyitaan
Tata cara penyitaan dapat dikemukan sebagai berikut :
a.       Dilaksanakan berdasarkan penetapan pengadilan
b.      Penyitaan dilaksanakan oleh panitera atau juru sita
c.       Pemberitahuan penyitaan
d.      Juru sita dibantu 2 orang saksi
e.       Pelaksanaan sita dilakukan di tempat barang
f.       Membuat berita acara
g.      Pedaftaran sita
h.      Menempatkan barang sitaan di tempat semula.[4]
4.      Hal – Hal Yang Tidak Boleh Dilakukan Dalam Penyitaan
Hal – hal yang dilarang dalam penyitaan :
a.       Dilarang juru sita melakukan penyitaan terhadap hewan dan perkakas.
b.      Dilarang penitera/juru sita melakukan penyitaan yang melampaui jumlah tagihan.
c.       Dilarang meletakkan sita jaminan terhadap barang milik pihak ketiga.
d.      Dilarang panitera/juru sita melakukan penyitaan di belakang meja.
e.       Larangan menyerahkan penyimpanan dan penjagaan barang yang disita (sita jaminan) kepada penggugat.
f.       Larangan pemakaian uang yang disita.[5]

Sita Jaminan menurut pasal 95 KHI
Pasal 95 Kompilasi Hukum Islam menjelaskan bahwa suami atau istri dapat meminta pengadilan agama untuk meletakkan sita jaminan atas harta bersama tanpa adanya perceraian terlebih dahulu. Hal ini dilakukan apabila salah satu diantara mereka itu melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta bersama seperti menjadi penjudi, pemabuk, pemboros, dan sebagainya. Selama dalam masa penyitaan, hanya dapat dilakukan penjualan atas barang-barang yang disita tersebut atas izin pengadilan agama, itupun atas kepentingan yang sangat mendesak untuk kepentingan keluarganya.[6]



[1] Musthofa. Kepaniteraan Peradilan Agama, (Jakarta : Kencana, 2005), h. 104 - 105
[2] H. Abdul Manan. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, cet. 5, (Jakarta : Kencana, 2008), h. 97 - 99
[3] Ibid, h. 100 - 101
[4] Musthofa. Kepaniteraan Peradilan ……….. . h. 106 - 108
[5] H. Abdul Manan. Penerapan Hukum………………., h. 108 - 101
[6] Ibid, h. 112

Tidak ada komentar:

Posting Komentar