SITA
1.
Pengertian
Sita
atau beslaag adalah suatu tindakan hukum oleh hakim yang bersifat eksepsional,
atas permohonan salah satu pihak yang berperkara, untuk mengamankan objek
sengketa atau yang menjadi jaminan dari kemungkinan dipindah tangankan,
dibebani sesuatu sebagai jaminan, dirusak atau dimusnahkan oleh pemegang atau
pihak yang menguasai barang-barang tersebut, untuk menjamin agar putusan hakim
dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya.[1]
2.
Macam-Macam Sita
a.
Sita Jaminan (conservatoir
beslag)
Dari rumusan pasal 227
ayat 1 HIR dan pasal 261 ayat 1 R.Bg dapat diketahui bahwa apabila ada dugaan
yang beralasan sebelum perkaranya diputus di pengadilan atau sudah diputus
tetapi belum dijalankan, sedangkan tergugat berusaha menggelapkan atau membawa
pergi barang-barang bergerak atau barang tetap, maka ketua pengadilan agama
atas permohonan yang berkepentingan dapat memerintahkan agar dilakukan
penyitaan terhadap barang-barang tersebut untuk memenuhi hak bagi yang
mrngajukan permohonan itu. Permohonan sita dapat diajukan oleh yang
berkepentingan bersama-sama dengan gugatan, atau juga secara lisan dalam
persidangan, dapat juga dilaksanakan sita setelah perkara diputus jika perkara
itu dalam proses banding dan kasasi.
Ciri-ciri
sita jaminan bisa dikemukakan sebagai berikut :
a)
Sita jaminan diletakkan atas
harta yang disengketakan status pemiliknya atau terhadap harta kekayaan
tergugat dalam sengketa utang piutang atau juga dalam sengketa dan tuntutan
ganti rugi,
b)
Objek sita jaminan bisa meliputi
barang bergerak atau barang tidak bergerak.
c)
Pembatasan sita jaminan bisa
hanya pada barang-barang tertentu.
d)
Tujuan sita jaminan dimaksudkan
untuk menjamin gugatan penggugat.
Sita
jaminan pada hakikatnya merupakan
perampasan atas harta sengketa atau harta kekayaan tergugat.
b.
Sita Revindikasi (revindicatoir
beslag)
Dalam
pasal 226 ayat 1 HIR dan pasal 260 ayat 1 R.Bg. dinyatakan bahwa apabila
seseorang memiliki barang bergerak dan barang tersebut berada di tangan orang
lain, maka orang tersebut dapat meminta dengan surat atau secara lisan kepada
ketua pengadilan agama dalam daerah hukum si pemegang barang bergerak tersebut
dan pada saatnya nanti setelah putusan pengadilan agama mempunyai kekuatan hukum yang tetap,
atas permohonan penggugat barang-barang bergerak tersebut dapat diperintahkan
agar diserahkan kembali kepada pemilik yang sebenarnya. Tindakan penyitaan
barang bergerak dari tangan yang memegangnya merupakan tindakan hukum dengan
maksud untuk menjaga kepentingan orang yang memiliki barang tersebut supaya
tidak dialihkan kepada orang lain oleh yang memegangnya sampai putusan terhadap
perkara yang diajukan itu ditetapkan oleh hakim yang mengadilinya.
Oleh karena itu,
penggugat yang mengajukan sita revindikasi harus dapat mengajukan bukti-bukti
yang akurat bahwa barang-barang yang saat ini dipegang oleh tergugat adalah
merupakan miliknya.
Ciri-ciri sita
revindikasi bisa dikemukakan sebagai berikut :
a)
Sita revindikasi dilaksanakan
atas permintaan penggugat terhadap barang milik penggugat yang saat ini
dikuasai oleh tergugat.
b)
Penyitaan tersebut dilaksanakan
atas benda yang dikuasai oleh tergugat secara tidak sah atau melawan hukum atau
juga tergugat tidak berhak atasnya,
c)
Objek sita revindikasi ini hanya
terbatas pada benda bergerak saja dan tidak mungkin dikabulkan terhadap benda
yang tidak bergerak sekalipun gugatan berdasarkan hak milik.[2]
c.
Sita Eksekusi (executorial
beslag)
Sita eksekusi adalah sita
yang berhubungan dengan masalah pelaksanaan suatu putusan pengadilan agama
karena pihak tergugat tidak mau melaksanakan putusan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap, meskipun pihak pengadilan agama telah memperingatkan
pihak tergugat agar putusan pengadilan agama yang telah berkekuatan hukum tetap
itu supaya dilaksanakan oleh tergugat secara sukarela sebagaimana mestinya.
Sita eksekusi ini biasa dilaksanakan terhadap suatu putusan yang mengharuskan
tergugat membayar sejumlah uang.
Ciri – ciri sita
eksekusi sebagai berikut :
a)
Dilaksanakan setelah putusan
pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap dan sebelumnya tidak dilaksanakan
sita terhadap barang-barang yang disengketakan,
b)
Tujuan sita eksekusi adalah untuk
memenuhi pelaksanaan putusan pengadilan agama dan berakhir dengan tindakan
pelelangan,
c)
Hanya terjadi dalam hal-hal yang
berkenaan dengan pembayaran sejumlah uang dan ganti rugi,
d)
Kewenangan memerintah sita
eksekusi sepenuhnya berada di tangan ketua pengadilan agama bukan atas perintah
ketua majelis hakim,
e)
Dapat dilakksanakan secara
berulang-ulang sampai pembayaran atau pelunasan sejumlah uang dan ganti rugi
terpenuhi.
d.
Sita atas harta perkawinan (maritale
beslag)
Sita marital sebenarnya sama
dengan dengan sita jaminan, hanya saja merupakan pengkhususan terhadap jenis
perkara sengketa perceraian. Hak mengajukan marital beslag timbul
apabila terjadi perceraian antara suami istri, selama perkara perceraian masih
diperiksa di pengadilan agama, maka para pihak diperkenankan mengajukan sita
atas harta perkawinan. Adapun tujuan dari maritale beslag adalah untuk
menjamin agar harta perkawinan tetap utuh dan terpelihara sampai perkara
mendapat putusan yang berkekuatan hukum tetap.[3]
3.
Tata Cara Penyitaan
Tata
cara penyitaan dapat dikemukan sebagai berikut :
a.
Dilaksanakan berdasarkan
penetapan pengadilan
b.
Penyitaan dilaksanakan oleh
panitera atau juru sita
c.
Pemberitahuan penyitaan
d.
Juru sita dibantu 2 orang saksi
e.
Pelaksanaan sita dilakukan di
tempat barang
f.
Membuat berita acara
g.
Pedaftaran sita
h.
Menempatkan barang sitaan di
tempat semula.[4]
4.
Hal – Hal Yang Tidak Boleh
Dilakukan Dalam Penyitaan
Hal
– hal yang dilarang dalam penyitaan :
a.
Dilarang juru sita melakukan
penyitaan terhadap hewan dan perkakas.
b.
Dilarang penitera/juru sita
melakukan penyitaan yang melampaui jumlah tagihan.
c.
Dilarang meletakkan sita jaminan
terhadap barang milik pihak ketiga.
d.
Dilarang panitera/juru sita
melakukan penyitaan di belakang meja.
e.
Larangan menyerahkan penyimpanan
dan penjagaan barang yang disita (sita jaminan) kepada penggugat.
f.
Larangan pemakaian uang yang
disita.[5]
Sita Jaminan menurut
pasal 95 KHI
Pasal
95 Kompilasi Hukum Islam menjelaskan bahwa suami atau istri dapat meminta pengadilan
agama untuk meletakkan sita jaminan atas harta bersama tanpa adanya perceraian
terlebih dahulu. Hal ini dilakukan apabila salah satu diantara mereka itu
melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta bersama seperti
menjadi penjudi, pemabuk, pemboros, dan sebagainya. Selama dalam masa penyitaan,
hanya dapat dilakukan penjualan atas barang-barang yang disita tersebut atas
izin pengadilan agama, itupun atas kepentingan yang sangat mendesak untuk
kepentingan keluarganya.[6]
[1] Musthofa. Kepaniteraan
Peradilan Agama, (Jakarta : Kencana, 2005), h. 104 - 105
[2] H. Abdul Manan. Penerapan
Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, cet. 5, (Jakarta
: Kencana, 2008), h. 97 - 99
[3] Ibid, h. 100 - 101
[4] Musthofa. Kepaniteraan
Peradilan ……….. . h. 106 - 108
[5] H. Abdul Manan. Penerapan
Hukum………………., h. 108 - 101
[6] Ibid, h. 112
Tidak ada komentar:
Posting Komentar