Minggu, 01 September 2013

KHITBAH



KHITBAH
MAKALAH
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
“Tafsir Ayat Hukum Keluarga I”







Dosen pembimbing:
Dra. Muflihatul Khoiroh, M.Ag  
Oleh:
Nurkhairani   
Syamsul Arifin          
Habibatul Ulum         

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
FAKULTAS SYARI’AH
JURUSAN AHWALUS SYAKHSHIYYAH
SURABAYA
2010
BAB I
PENDAHULUAN

A.      LATAR BELAKANG MASALAH
Perkawinan merupakan peristiwa sakral yang memang disunnahkan oleh Nabi saw. Perkawinan merupakan sebuah upacara yang akan menentukan masa depan seseorang setelahnya. Berbagai pertimbangan harus dilakukan demi terciptanya keluarga yang mawaddah wa rahmah, mulai dari memilih calon istri atau suami, sekufu’ atau tidak, dalam menjalankan perintah agama baik atau tidak, dan sebagainya.
Senada dengan keinginan manusia untuk mendapatkan pasangan yang baik, Islam mengatur dan mempersiapkan berbagai fasilitas bagi seseorang dengan prosesi yang harus dilakukan sebelum melakukan akad perkawinan, yaitu prosesi khitbah atau peminangan. Jika urgensitasnya, prosesi khitbah merupakan proses yang sangat penting yang berfungsi sebagai jalan pembuka untuk mencapai akad pernikahan.
Oleh karena itu, penulis akan mencoba mengupas secara mendetail tentang khitbah, mulai dari pegertiannya sampai dengan bagaimanakah prosesi khitbah itu dilakukan.

B.       RUMUSAN MASALAH
1.      Apakah pengertian dari khitbah ?
2.      Bagaimanakah analisis terhadap ayat khitbah berdasarkan makky dan madani ?
3.       Bagaimanakah analisis terhadap ayat khitbah berdasarkan i’rabnya ?
4.      Bagaimanakah analisis terhadap ayat khitbah berdasarkan makna dan kandungan kata ?
5.      Bagaimanakah analisis terhadap ayat khitbah berdasarkan analisis munasabah ?
6.      Apakah kandungan hukum yang tersimpan dalam ayat khitbah ?

C.      TUJUAN PENULISAN
1.      Untuk mengetahui apakah pengertian dari khitbah
2.      Untuk memahami bagaimanakah analisis terhadap ayat khitbah berdasarkan makky dan madani.
3.      Memahami bagaimanakah analisis terhadap ayat khitbah berdasarkan i’rabnya
4.      Untuk mencermati bagaimanakah analisis terhadap ayat khitbah berdasarkan makna dan kandungan kata.
5.      Untuk memahami bagaimanakah analisis terhadap ayat khitbah berdasarkan analisis munasabah.
6.      Untuk mengetahui apakah kandungan hukum yang tersimpan dalam ayat khitbah.



















BAB II
PEMBAHASAN

A.      PENGERTIAN KHITBAH
Kata Khitbah adalah bahasa Arab yang secara sederhana diartikan dengan penyampaian kehendak untuk melangsungkan ikatan perkawinan. Kata khitbah ini terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 235 dan Hadits Nabi yang berasal dari Jabir dan diriwayatkan oleh Ahmad Abu Daud dengan sanad yang dipercaya:
إذا خطب أحدكم المرأة فان استطاع أن ينظر منها ما يدعو إلى نكاحها فليفعل
Bila salah seorang diantaramu meminang seorang perempuan, bila ia mampu melihatnya yang mendorongnya untuk menikahinya, maka lakukanlah.[1]
Dalam surat Al-Baqarah ayat 235 hanya menjelaskan tentang khitbah atau meminang  wanita yang sedang dalam iddah wafat dan iddah talak ba’in. Cara yang ditentukan adalah dengan sindiran. 

B.       ANALISIS AYAT     
Surat al-baqarah ayat 235
Ÿwur yy$oYã_ öNä3øn=tæ $yJŠÏù OçGôʧtã ¾ÏmÎ/ ô`ÏB Ïpt7ôÜÅz Ïä!$|¡ÏiY9$# ÷rr& óOçF^oYò2r& þÎû öNä3Å¡àÿRr& 4 zNÎ=tæ ª!$# öNä3¯Rr& £`ßgtRrãä.õtGy `Å3»s9ur žw £`èdrßÏã#uqè? #ŽÅ  HwÎ) br& (#qä9qà)s? Zwöqs% $]ùrã÷è¨B 4 Ÿwur (#qãBÌ÷ès? noyø)ãã Çy%x6ÏiZ9$# 4Ó®Lym x÷è=ö6tƒ Ü=»tFÅ3ø9$# ¼ã&s#y_r& 4 (#þqßJn=ôã$#ur ¨br& ©!$# ãNn=÷ètƒ $tB þÎû öNä3Å¡àÿRr& çnrâx÷n$$sù 4 (#þqßJn=ôã$#ur ¨br& ©!$# îqàÿxî ÒOŠÎ=ym ÇËÌÎÈ  
 “Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu Menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu Mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) Perkataan yang ma'ruf]. dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya. dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; Maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.”

1.      Berdasarkan Makky dan Madany
Berdasarkan Qur’an terjemah, disebutkan bahwa seluruh ayat dalam surat al-Baqarah termasuk ayat Madany kecuali ayat 281 karena turun di Mina, Mekkah. Maka bisa dikatakan bahwa ayat 235 ini termasuk surat Madany.[2] Pengklasifikasian ini berdasarkan pada teori Mulahazah Makan al-Nuzul.
Selain itu, penetapan ayat 235 sebagai ayat Madany juga bisa menggunakan teori content analytis, yaitu melihat isi yang terkandung dari ayat tersebut membicarakan masalah hukum.
 Sebagai penguat bahwa QS. Al-Baqarah ditetapkan sebagai ayat Madany karena berdasarkan ciri khasnya yaitu mengandung hukum munakahat. 
       
2.      Berdasarkan I’rab (Nahwu Sharaf)
a.       (وَ لكنْ لا تُوَاعدُوهنَّ سرَّا): لكنْ itu adalah huruf istidrak, mustadraknya itu dihilangkan dengan taqdirnya adalah    علم الله أنكم ستذكرونهن فاذكروهن
 و لكن لا تواعدوهن  .
سرًّ)) sebagai maf’ul bih karena sesungguhnya bermakna nikah yang berarti tidak saling berjanji untuk menikah. Namun ia juga bisa sebagai hal ( (حا ل dengan taqdirnya yang disembunyikan, sedangkan maf’ulnya dihilangkan jadi artinya yaitu janganlah kamu saling berjanji dengan mereka untuk menikah secara rahasia.
b.      (و لا تعزموا عقدة النكاح ) mansub dengan menghilangkan huruf khafadh yang artinya adalah على عقدة النكاح . [3]

3.      Makna dan Kandungan Kata
 تعرض  atau sindiran adalah bila seseorang lelaki mengatakan, “Sesungguhnya aku ingin mengawini seorang wanita yang begini dan begini sifatnya”. Menurut suatu riwayat , contoh kata-kata sindiran lamaran ialah seperti :” Aku ingin bila Allah memberikan rezeki (mengawinkan aku) dengan seorang wanita , " atau kalimat yang tidak menyebutkan pinangan secara tegas kepadanya.
Imam Bukhori meriwayatkan secara ta’liq. Untuk itu ia mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan sindiran ialah bila seseorang lelaki megatakan, “sesungguhnya aku ingin kawin. Sesungguhnya wanita benar-benar merupakan hajatku. Aku berharap semoga dimudahkan untuk mendapat wanita yang solehah.
Hal yang sama juga dikatakan Thawus, Mujahid, Ikrimah, Sa’id, Ibnu Jubair, Ibrahim an-Nakhai, asy-Sya’bi, al-Hasan, Qatadah, az-Zuhri dan al-Qasim ibnu Muhammad serta sejumlah ulama’ salaf mengatakan boleh melakukan pinangan secara sindiran kepada wanita yang ditinggal mati suaminya. Hal yang sama berlaku pula terhadap wanita yang dithalaq bain, yakni boleh melamarnya dengan kata-kata sindiran, seperti yang telah dikatakan oleh Nabi Saw kepada Fatimah binti Qais ketika diceraikan oleh suaminya Abu Amr ibn Hafs dalam thalaq ketiga. Nabi saw terlebih dahulu memerintahkan Fatimah binti Qais untuk melakukan idahnya di dalam rumah Ibnu Umi Maktum, lalu bersabda kepadanya :
 فاذا حللت فاذنيني
Apabila kamu telah halal (boleh nikah), maka beritahulah aku”.
Ketika masa idah Fatimah binti Qais telah habis, maka ia dilamar oleh Usamah ibnu Zaid (pelayan nabi) lalu nabi Muhammad SAW, mengawinkan Fatimah dengan Usamah.
Wanita yang diceraikan tidak ada perselisihan pendapat di kalangan ulama, bahwa tidak boleh bagi selain suaminya melakukan lamaran secara terang-terangan, tidak boleh pula secara sindiran.[4]

4.      Berdasarkan Munasabah 
QS. Al-Baqoroh ayat 235 merupakan kelanjutan dari ayat sebelumnya yang membahas tentang masa tunggu (iddah) bagi wanita yang dilanjutkan dengan larangan menikah, maka pada ayat 235 ini, dijelaskan batas-batas yang dibenarkan dalam konteks perkawinan (khithbah).
 Menurut al-Biqa’i, pada ayat 233 berbicara tentang penyusuan anak, hal ini sengaja ditempatkan antara uraian tentang perceraian akibat talaq dan perceraian akibat kematian, karena pernikahan yang disebut pada awal kelompok ayat-ayat ini dapat membuahkan anak, ini mengundang pembicaraan tentang penyusuan. Selanjutnya, yang menyusui boleh jadi ibu kandung anak atau wanita lain, jika ibu kandung anak bisa jadi masih sedang berstatus istri bisa jadi juga telah bercerai. Karena perceraian akibat talaq lebih banyak daripada akibat kematian, maka pembicaraan tentang anak ditampilkan antara uraian tentang masa tunggu akibat talaq dan wafat. Ini untuk memberikan perhatian lebih besar kepada anak serta mencurahkan kasih sayang kepadanya, karena ibu yang dicerai bisa jadi mengabaikan anaknya akibat kejengkelannya kepada mantan suami yang menceraikannya atau karena perhatiannya yang besar kepada calon suami atau suaminya yang baru. Demikian juga halnya dengan bapak kandung ia bisa jadi juga mengabaikan anaknya karena hal-hal tersebut.
Setelah menekankan pentingnya perhatian kepada anak dari kedua orang tua yang telah bercerai hidup itu, barulah ayat 234 berbicara tentang masa tunggu istri yang ditinggal wafat suaminya itu yakni 4 bulan sepuluh hari.  [5]

5.      Kandungan Hukum
a.       Meminang wanita itu ada tiga macam:
1)      Secara Sindiran dan Terang-terangan, yaitu meminang wanita yang tidak dalam ikatan pernikahan dan tidak dalam masa ‘iddah, karena bahwasanya tatkala dibolehkan untuk menikahinya maka boleh untuk meminangnya.
2)      Tidak boleh meminang secara sindiran dan terang-terangan, yaitu meminang wanita yang masih dalam ikatan pernikahan. Peminangan pada masa itu hukumnya haram dan pinangannya rusak karena adanya hubungan perkawinan.
3)      Hanya Boleh mengkhitbah dengan sindiran, yaitu bagi wanita yang dalam masa iddah wafat dan talaq ba’in. Dalil yang menunjukkan keharaman untuk melakukan khitbah secara terang-terangan yaitu:
ما قاله الشافعي رحمه الله : (لما خصص التعريض بعدم الجناح, وجب أن يكون التصريح بخلافه)
Dalil ini menunjukkan mafhum mukhalafah.

b.      Larangan untuk Melakukan Pernikahan pada Masa ‘Iddah
Allah mengharamkan melakukan pernikahan dengan wanita yang masih dalam masa ‘iddah, baik ‘iddah talaq maupun ‘iddah wafat. Sebagaimana ayat:
(و لا تعزموا عقدة النكاح حتى يبلغ الكتاب أجله)  
Ulama sepakat bahwa jika ada wanita yang masih dalam masa iddah melakukan pernikahan, maka ‘akadya rusak dan wajib fasakh karena hal tersebut larangan Allah. Namun Ulama berbeda pendapat mengenai masa keharaman dan fasakhnya:
1)      Menurut Malik dan Ahmad
Apabila seorang wanita yang masih dalam iddah melakukan pernikahan, maka pernikahannya fasakh. Sedangkan menurut ketentuan Umar ra. pernikahan tersebut tidak halal bagi keduanya untuk selamanya karena bahwasanya  menghalalkan apa yang tidak halal, maka dihukum dengan keharamannya, seperti pembunuh yang dihukum terhalang / haram menerima kewarisan.

2)      Menurut Abu Hanifah dan Syafi’i
Fasakhnya pernikahan tersebut hanya ketika masa ‘iddah dan keharamannya bukanlah untuk selamanya, karena ashal bahwasanya hal tersebut tidak haram kecuali dengan dalil dari kitab, sunnah atau ijma’, sedangkan masalah ini tidaklah ada di sana. Mereka berkata: “ Sesungguhnya zina itu lebih besar dosanya dari nikah pada masa ‘iddah. Maka apabila zina tidak diharamkan untuk selamanya, bergaul dengan yang syubhat lebih pantas peniadaan keharamannya.[6]   







BAB III
KESIMPULAN
1.      Kata Khitbah adalah bahasa Arab yang secara sederhana diartikan dengan penyampaian kehendak untuk melangsungkan ikatan perkawinan.
2.      Bahwa seluruh ayat dalam surat al-Baqarah termasuk ayat Madany kecuali ayat 281 karena turun di Mina, Mekkah. Maka bisa dikatakan bahwa ayat 235 ini termasuk surat Madany.
3.      سرًّ)) sebagai maf’ul bih karena sesungguhnya bermakna nikah yang berarti tidak saling berjanji untuk menikah. Namun ia juga bisa sebagai hal ( (حا ل dengan taqdirnya yang disembunyikan, sedangkan maf’ulnya dihilangkan jadi artinya yaitu janganlah kamu saling berjanji dengan mereka untuk menikah secara rahasia
4.      تعرض atau sindiran adalah bila seseorang lelaki mengatakan, “Sesungguhnya aku ingin mengawini seorang wanita yang begini dan begini sifatnya”. Menurut suatu riwayat , contoh kata-kata sindiran lamaran ialah seperti :” Aku ingin bila Allah memberikan rezeki (mengawinkan aku) dengan seorang wanita , " atau kalimat yang tidak menyebutkan pinangan secara tegas kepadanya.
5.      QS. Al-Baqoroh ayat 235 merupakan kelanjutan dari ayat sebelumnya yang membahas tentang masa tunggu (iddah) bagi wanita yang dilanjutkan dengan larangan menikah, maka pada ayat 235 ini, dijelaskan batas-batas yang dibenarkan dalam konteks perkawinan (khithbah).
6.      Meminang wanita itu ada tiga macam : Secara Sindiran dan Terang-terangan, tidak boleh meminang secara sindiran dan terang-terangan, dan Hanya Boleh mengkhitbah dengan sindiran



DAFTAR PUSTAKA

Al-Imam Abul Fida Isma’il Ibnu kasir Ad Dimasyqi. Tafsir Ibnu kasir Juz 2. 2002. Bandung : Sinar Baru Algensindo
Al-Jumanatul ‘Ali. Al-Qur’an Terjemah
Amir Syarifuddin. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. 2004. Jakarta : Kencana
M. Quraish Shihab. Tafsir al- Mishbah Vol. 1. 2006. Jakarta : Lentera Hati
Syaikh Muhammad Ali as Shobuni. Tafsir Ayat Ahkam. 2001. Jakarta : Darul Kutub al-Islamiyah



[1] Prof. Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta; Kencana, 2004), hal. 49
[2] Al-Jumanatul ‘Ali , Al-Qur’an Terjemah, hal. 3 
[3] Syaikh Muhammad Ali as Shobuni, Tafsir Ayat Ahkam, (Jakarta; Darul Kutub al-Islamiyah, 2001), hal. 292-293  
[4] Al-Imam Abul Fida Isma’il Ibnu kasir Ad Dimasyqi, Tafsir Ibnu kasir Juz 2, (Bandung; Sinar Baru Algensindo,  2002), hal. 574-578 
[5] M. Quraish Shihab, Tafsir al- Mishbah Vol. 1, (Jakarta; Lentera Hati, 2006), hal. 506-510
[6] Syaikh Muhammad Ali as Shobuni, Tafsir Ayat Ahkam……..hal. 295-296

Tidak ada komentar:

Posting Komentar