KHITBAH
MAKALAH
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
“Tafsir Ayat Hukum Keluarga I”
Dosen pembimbing:
Dra. Muflihatul Khoiroh,
M.Ag
Oleh:
Nurkhairani
Syamsul Arifin
Habibatul Ulum
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
FAKULTAS
SYARI’AH
JURUSAN
AHWALUS SYAKHSHIYYAH
SURABAYA
2010
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
MASALAH
Perkawinan merupakan peristiwa
sakral yang memang disunnahkan oleh Nabi saw. Perkawinan merupakan sebuah
upacara yang akan menentukan masa depan seseorang setelahnya. Berbagai
pertimbangan harus dilakukan demi terciptanya keluarga yang mawaddah wa
rahmah, mulai dari memilih calon istri atau suami, sekufu’ atau tidak,
dalam menjalankan perintah agama baik atau tidak, dan sebagainya.
Senada dengan keinginan manusia
untuk mendapatkan pasangan yang baik, Islam mengatur dan mempersiapkan berbagai
fasilitas bagi seseorang dengan prosesi yang harus dilakukan sebelum melakukan
akad perkawinan, yaitu prosesi khitbah atau peminangan. Jika urgensitasnya,
prosesi khitbah merupakan proses yang sangat penting yang berfungsi sebagai
jalan pembuka untuk mencapai akad pernikahan.
Oleh karena itu, penulis akan
mencoba mengupas secara mendetail tentang khitbah, mulai dari pegertiannya
sampai dengan bagaimanakah prosesi khitbah itu dilakukan.
B.
RUMUSAN
MASALAH
1.
Apakah
pengertian dari khitbah ?
2.
Bagaimanakah
analisis terhadap ayat khitbah berdasarkan makky dan madani ?
3.
Bagaimanakah analisis terhadap ayat khitbah
berdasarkan i’rabnya ?
4.
Bagaimanakah
analisis terhadap ayat khitbah berdasarkan makna dan kandungan kata ?
5.
Bagaimanakah
analisis terhadap ayat khitbah berdasarkan analisis munasabah ?
6.
Apakah
kandungan hukum yang tersimpan dalam ayat khitbah ?
C.
TUJUAN
PENULISAN
1.
Untuk
mengetahui apakah pengertian dari khitbah
2.
Untuk memahami
bagaimanakah analisis terhadap ayat khitbah berdasarkan makky dan madani.
3.
Memahami
bagaimanakah analisis terhadap ayat khitbah berdasarkan i’rabnya
4.
Untuk
mencermati bagaimanakah analisis terhadap ayat khitbah berdasarkan makna dan
kandungan kata.
5.
Untuk memahami
bagaimanakah analisis terhadap ayat khitbah berdasarkan analisis munasabah.
6.
Untuk
mengetahui apakah kandungan hukum yang tersimpan dalam ayat khitbah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN
KHITBAH
Kata Khitbah
adalah bahasa Arab yang secara sederhana diartikan dengan penyampaian kehendak
untuk melangsungkan ikatan perkawinan. Kata khitbah ini terdapat dalam surat
al-Baqarah ayat 235 dan Hadits Nabi yang berasal dari Jabir dan diriwayatkan
oleh Ahmad Abu Daud dengan sanad yang dipercaya:
إذا خطب أحدكم المرأة فان استطاع أن
ينظر منها ما يدعو إلى نكاحها فليفعل
Bila salah
seorang diantaramu meminang seorang perempuan, bila ia mampu melihatnya yang
mendorongnya untuk menikahinya, maka lakukanlah.[1]
Dalam surat
Al-Baqarah ayat 235 hanya menjelaskan tentang khitbah atau meminang wanita yang sedang dalam iddah wafat dan
iddah talak ba’in. Cara yang ditentukan adalah dengan sindiran.
B.
ANALISIS AYAT
Surat al-baqarah ayat 235
wur yy$oYã_ öNä3øn=tæ $yJÏù OçGôʧtã ¾ÏmÎ/ ô`ÏB Ïpt7ôÜÅz Ïä!$|¡ÏiY9$# ÷rr& óOçF^oYò2r& þÎû öNä3Å¡àÿRr& 4 zNÎ=tæ ª!$# öNä3¯Rr& £`ßgtRrãä.õtGy `Å3»s9ur w £`èdrßÏã#uqè? #
Å HwÎ) br& (#qä9qà)s? Zwöqs% $]ùrã÷è¨B 4 wur (#qãBÌ÷ès? noyø)ãã Çy%x6ÏiZ9$# 4Ó®Lym x÷è=ö6t Ü=»tFÅ3ø9$# ¼ã&s#y_r& 4 (#þqßJn=ôã$#ur ¨br& ©!$# ãNn=÷èt $tB þÎû öNä3Å¡àÿRr& çnrâx÷n$$sù 4 (#þqßJn=ôã$#ur ¨br& ©!$# îqàÿxî ÒOÎ=ym ÇËÌÎÈ
“Dan tidak ada
dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu
Menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui
bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu
Mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar
mengucapkan (kepada mereka) Perkataan yang ma'ruf]. dan janganlah kamu ber'azam
(bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya. dan ketahuilah
bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; Maka takutlah
kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.”
1.
Berdasarkan
Makky dan Madany
Berdasarkan
Qur’an terjemah, disebutkan bahwa seluruh ayat dalam surat al-Baqarah termasuk
ayat Madany kecuali ayat 281 karena turun di Mina, Mekkah. Maka bisa dikatakan
bahwa ayat 235 ini termasuk surat Madany.[2]
Pengklasifikasian ini berdasarkan pada teori Mulahazah Makan al-Nuzul.
Selain itu,
penetapan ayat 235 sebagai ayat Madany juga bisa menggunakan teori content
analytis, yaitu melihat isi yang terkandung dari ayat tersebut membicarakan
masalah hukum.
Sebagai penguat bahwa QS. Al-Baqarah
ditetapkan sebagai ayat Madany karena berdasarkan ciri khasnya yaitu mengandung
hukum munakahat.
2.
Berdasarkan
I’rab (Nahwu Sharaf)
a.
(وَ
لكنْ لا تُوَاعدُوهنَّ سرَّا): لكنْ itu adalah huruf
istidrak, mustadraknya itu dihilangkan dengan taqdirnya adalah علم الله
أنكم ستذكرونهن فاذكروهن
و لكن لا تواعدوهن .
سرًّ))
sebagai maf’ul bih karena sesungguhnya bermakna nikah yang berarti tidak saling
berjanji untuk menikah. Namun ia juga bisa sebagai hal ( (حا
ل dengan taqdirnya yang disembunyikan, sedangkan maf’ulnya
dihilangkan jadi artinya yaitu janganlah kamu saling berjanji dengan mereka
untuk menikah secara rahasia.
b.
(و لا تعزموا
عقدة النكاح ) mansub dengan menghilangkan huruf khafadh
yang artinya adalah على عقدة النكاح .
[3]
3.
Makna dan
Kandungan Kata
تعرض atau sindiran adalah bila seseorang lelaki mengatakan,
“Sesungguhnya aku ingin mengawini seorang wanita yang begini dan begini
sifatnya”. Menurut suatu riwayat , contoh kata-kata sindiran lamaran ialah
seperti :” Aku ingin bila Allah memberikan rezeki (mengawinkan aku) dengan
seorang wanita , " atau kalimat yang tidak menyebutkan pinangan secara
tegas kepadanya.
Imam Bukhori meriwayatkan
secara ta’liq. Untuk itu ia mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan sindiran
ialah bila seseorang lelaki megatakan, “sesungguhnya aku ingin kawin.
Sesungguhnya wanita benar-benar merupakan hajatku. Aku berharap semoga
dimudahkan untuk mendapat wanita yang solehah.
Hal yang sama
juga dikatakan Thawus, Mujahid, Ikrimah, Sa’id, Ibnu Jubair, Ibrahim an-Nakhai,
asy-Sya’bi, al-Hasan, Qatadah, az-Zuhri dan al-Qasim ibnu Muhammad serta
sejumlah ulama’ salaf mengatakan boleh melakukan pinangan secara sindiran
kepada wanita yang ditinggal mati suaminya. Hal yang sama berlaku pula terhadap
wanita yang dithalaq bain, yakni boleh melamarnya dengan kata-kata sindiran,
seperti yang telah dikatakan oleh Nabi Saw kepada Fatimah binti Qais ketika
diceraikan oleh suaminya Abu Amr ibn Hafs dalam thalaq ketiga. Nabi saw
terlebih dahulu memerintahkan Fatimah binti Qais untuk melakukan idahnya di
dalam rumah Ibnu Umi Maktum, lalu bersabda kepadanya :
فاذا حللت فاذنيني
“Apabila kamu telah halal (boleh
nikah), maka beritahulah aku”.
Ketika masa
idah Fatimah binti Qais telah habis, maka ia dilamar oleh Usamah ibnu Zaid
(pelayan nabi) lalu nabi Muhammad SAW, mengawinkan Fatimah dengan Usamah.
Wanita yang
diceraikan tidak ada perselisihan pendapat di kalangan ulama, bahwa tidak boleh
bagi selain suaminya melakukan lamaran secara terang-terangan, tidak boleh pula
secara sindiran.[4]
4.
Berdasarkan
Munasabah
QS. Al-Baqoroh
ayat 235 merupakan kelanjutan dari ayat sebelumnya yang membahas tentang masa
tunggu (iddah) bagi wanita yang dilanjutkan dengan larangan menikah, maka pada
ayat 235 ini, dijelaskan batas-batas yang dibenarkan dalam konteks perkawinan
(khithbah).
Menurut al-Biqa’i, pada ayat 233 berbicara
tentang penyusuan anak, hal ini sengaja ditempatkan antara uraian tentang
perceraian akibat talaq dan perceraian akibat kematian, karena pernikahan yang
disebut pada awal kelompok ayat-ayat ini dapat membuahkan anak, ini mengundang
pembicaraan tentang penyusuan. Selanjutnya, yang menyusui boleh jadi ibu
kandung anak atau wanita lain, jika ibu kandung anak bisa jadi masih sedang
berstatus istri bisa jadi juga telah bercerai. Karena perceraian akibat talaq
lebih banyak daripada akibat kematian, maka pembicaraan tentang anak
ditampilkan antara uraian tentang masa tunggu akibat talaq dan wafat. Ini untuk
memberikan perhatian lebih besar kepada anak serta mencurahkan kasih sayang
kepadanya, karena ibu yang dicerai bisa jadi mengabaikan anaknya akibat
kejengkelannya kepada mantan suami yang menceraikannya atau karena perhatiannya
yang besar kepada calon suami atau suaminya yang baru. Demikian juga halnya
dengan bapak kandung ia bisa jadi juga mengabaikan anaknya karena hal-hal
tersebut.
Setelah
menekankan pentingnya perhatian kepada anak dari kedua orang tua yang telah
bercerai hidup itu, barulah ayat 234 berbicara tentang masa tunggu istri yang
ditinggal wafat suaminya itu yakni 4 bulan sepuluh hari. [5]
5.
Kandungan
Hukum
a.
Meminang
wanita itu ada tiga macam:
1)
Secara
Sindiran dan Terang-terangan, yaitu meminang wanita yang tidak dalam ikatan
pernikahan dan tidak dalam masa ‘iddah, karena bahwasanya tatkala dibolehkan
untuk menikahinya maka boleh untuk meminangnya.
2)
Tidak boleh
meminang secara sindiran dan terang-terangan, yaitu meminang wanita yang masih
dalam ikatan pernikahan. Peminangan pada masa itu hukumnya haram dan
pinangannya rusak karena adanya hubungan perkawinan.
3)
Hanya Boleh
mengkhitbah dengan sindiran, yaitu bagi wanita yang dalam masa iddah wafat dan
talaq ba’in. Dalil yang menunjukkan keharaman untuk melakukan khitbah secara
terang-terangan yaitu:
ما قاله
الشافعي رحمه الله : (لما خصص التعريض بعدم الجناح, وجب أن يكون التصريح بخلافه)
Dalil ini
menunjukkan mafhum mukhalafah.
b.
Larangan untuk
Melakukan Pernikahan pada Masa ‘Iddah
Allah
mengharamkan melakukan pernikahan dengan wanita yang masih dalam masa ‘iddah,
baik ‘iddah talaq maupun ‘iddah wafat. Sebagaimana ayat:
(و لا تعزموا
عقدة النكاح حتى يبلغ الكتاب أجله)
Ulama sepakat
bahwa jika ada wanita yang masih dalam masa iddah melakukan pernikahan, maka
‘akadya rusak dan wajib fasakh karena hal tersebut larangan Allah. Namun Ulama
berbeda pendapat mengenai masa keharaman dan fasakhnya:
1)
Menurut Malik
dan Ahmad
Apabila seorang wanita yang masih
dalam iddah melakukan pernikahan, maka pernikahannya fasakh. Sedangkan menurut
ketentuan Umar ra. pernikahan tersebut tidak halal bagi keduanya untuk selamanya
karena bahwasanya menghalalkan apa yang
tidak halal, maka dihukum dengan keharamannya, seperti pembunuh yang dihukum
terhalang / haram menerima kewarisan.
2)
Menurut Abu
Hanifah dan Syafi’i
Fasakhnya pernikahan tersebut hanya
ketika masa ‘iddah dan keharamannya bukanlah untuk selamanya, karena ashal
bahwasanya hal tersebut tidak haram kecuali dengan dalil dari kitab, sunnah
atau ijma’, sedangkan masalah ini tidaklah ada di sana. Mereka berkata: “
Sesungguhnya zina itu lebih besar dosanya dari nikah pada masa ‘iddah. Maka
apabila zina tidak diharamkan untuk selamanya, bergaul dengan yang syubhat
lebih pantas peniadaan keharamannya.[6]
BAB III
KESIMPULAN
1.
Kata Khitbah
adalah bahasa Arab yang secara sederhana diartikan dengan penyampaian kehendak
untuk melangsungkan ikatan perkawinan.
2.
Bahwa seluruh
ayat dalam surat al-Baqarah termasuk ayat Madany kecuali ayat 281 karena turun
di Mina, Mekkah. Maka bisa dikatakan bahwa ayat 235 ini termasuk surat Madany.
3.
سرًّ))
sebagai maf’ul bih karena sesungguhnya bermakna nikah yang berarti tidak saling
berjanji untuk menikah. Namun ia juga bisa sebagai hal ( (حا
ل dengan taqdirnya yang disembunyikan, sedangkan maf’ulnya
dihilangkan jadi artinya yaitu janganlah kamu saling berjanji dengan mereka
untuk menikah secara rahasia
4.
تعرض
atau sindiran adalah bila seseorang lelaki mengatakan, “Sesungguhnya aku ingin
mengawini seorang wanita yang begini dan begini sifatnya”. Menurut suatu
riwayat , contoh kata-kata sindiran lamaran ialah seperti :” Aku ingin bila
Allah memberikan rezeki (mengawinkan aku) dengan seorang wanita , " atau
kalimat yang tidak menyebutkan pinangan secara tegas kepadanya.
5.
QS. Al-Baqoroh
ayat 235 merupakan kelanjutan dari ayat sebelumnya yang membahas tentang masa
tunggu (iddah) bagi wanita yang dilanjutkan dengan larangan menikah, maka pada
ayat 235 ini, dijelaskan batas-batas yang dibenarkan dalam konteks perkawinan
(khithbah).
6.
Meminang
wanita itu ada tiga macam : Secara Sindiran dan Terang-terangan, tidak boleh
meminang secara sindiran dan terang-terangan, dan Hanya Boleh mengkhitbah
dengan sindiran
DAFTAR PUSTAKA
Al-Imam Abul Fida Isma’il Ibnu
kasir Ad Dimasyqi. Tafsir Ibnu kasir Juz 2. 2002. Bandung : Sinar Baru
Algensindo
Al-Jumanatul ‘Ali. Al-Qur’an
Terjemah
Amir Syarifuddin. Hukum
Perkawinan Islam di Indonesia. 2004. Jakarta : Kencana
M. Quraish Shihab. Tafsir al-
Mishbah Vol. 1. 2006. Jakarta : Lentera Hati
Syaikh Muhammad Ali as Shobuni. Tafsir
Ayat Ahkam. 2001. Jakarta : Darul Kutub al-Islamiyah
[1] Prof. Amir Syarifuddin, Hukum
Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta; Kencana, 2004), hal. 49
[2] Al-Jumanatul ‘Ali , Al-Qur’an
Terjemah, hal. 3
[3] Syaikh Muhammad Ali as Shobuni, Tafsir
Ayat Ahkam, (Jakarta; Darul Kutub al-Islamiyah, 2001), hal. 292-293
[4] Al-Imam Abul Fida Isma’il Ibnu
kasir Ad Dimasyqi, Tafsir Ibnu kasir Juz 2, (Bandung; Sinar Baru
Algensindo, 2002), hal. 574-578
[5] M. Quraish Shihab, Tafsir al-
Mishbah Vol. 1, (Jakarta; Lentera Hati, 2006), hal. 506-510
[6] Syaikh Muhammad Ali as Shobuni, Tafsir
Ayat Ahkam……..hal. 295-296
Tidak ada komentar:
Posting Komentar