Sabtu, 14 Juli 2012

egoisme

EGOISME
Banyak manusia pada hari ini hanya memikirkan diri sendiri tanpa menghiraukan bagaimana orang lain disekitarnya. Egoisme manusia akan mengalir begitu deras, seolah akan menghancurkan bebatuan yang keras jika egoism tersebut didukung oleh nafsu dan akal manusia. Seseorang yang tertutup akan memiliki kecenderungan egois yang lebih tinggi daripada orang yang terbuka. Alasannya, orang yang tertutup biasanya lebih senang menyendiri dan jarang berinteraksi dengan orang lain. Sehingga, ia tidak terlalu peduli dengan keadaan masyarakat di sekitarnya. Tertutup disini lebih condong dalam arti tidak mau tahu terhadap keadaan orang lain (apatis). Ketika dia memiliki keinginan terhadap sesuatu, tidak mempertimbangkan efek yang akan timbul karena kepentingannya itu. Sedangkan orang yang terbuka biasanya lebih gampang berinteraksi dengan orang lain. Ia tidak malu dan takut menceritakan masalah-masalah yang sedang dihadapinya. Sehingga, semakin banyak ia berinteraksi dengan orang lain semakin banyak pula pengetahuannya tentang kehidupan orang lain. Ketika ia memiliki kepentingan yang berhubungan dengan orang lain, maka akan lebih mempertimbangkan efek yang akan timbul.

Minggu, 08 Juli 2012

MAKALAH HUKUM KELUARGA ISLAM

-->
ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP KEPUTUSAN LEMBAGA BAHTSUL MASAIL NU KOTA SURABAYA TAHUN 2006
TENTANG POLIGAMI DENGAN TUJUAN MENDAPATKAN ANAK, LALU MENCERAIKAN ISTRI YANG KEDUA

MAKALAH
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Studi Kasus Hukum Keluarga Islam



Oleh:
SYAMSUL ARIFIN  C51208053

JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSIYAH
F A K U L T A S   S Y A R I ' A H
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2011



BAB I
PENDAHULUAN
  1. Latar belakang masalah
Perkawinan merupakan peristiwa sakral yang memang disunnahkan oleh Nabi SAW. Perkawinan adalah sebuah upacara yang akan menentukan masa depan seseorang setelahnya. Seseorang yang akan menikah akan mempersiapkan segenap jiwa dan raga demi menyongsong perkawinan yang terbaik. Perkawinan adalah salah satu upaya untuk membentengi manusia dari perbuatan yang keji seperti perzinaan dan perbuatan keji lain yang berhubungan dengan naluri seksual. Begitu juga sebagai upaya untuk memperoleh keturunan yang baik. Perkawinan adalah pintu awal untuk memulai kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Memang, pembahasan perkawinan dalam hukum islam tidak akan ada habisnya dari waktu ke waktu. Semakin lama permasalahan-permasalahan mengenai perkawinan juga akan semakin berkembang dan kompleks. Seperti permasalahan yang akan penulis bahas, merupakan permasalahan perkawinan yang membutuhkan kejelian dan ketelitian untuk menemukan jawabannya. Permasalahan tersebut mengenai bagaimana hukumnya jika seseorang yang sudah lama menikah tidak mendapatkan keturunan, kemudian ia menikah lagi hanya untuk mendapatkan keturunan, lalu menceraikannya setelah memperoleh keturunan. Oleh sebab itu, penulis akan membahas secara detail permasalahan tersebut sesuai dengan kemampuan penulis.
  1. Rumusan masalah
1.      Bagaimanakah keputusan lembaga bahtsul masail NU Kota Surabaya tahun 2006 tentang poligami dengan tujuan mendapatkan anak, lalu menceraikan istri yang kedua?
2.      Bagaimanakah analisis hukum islam tentang poligami dengan tujuan mendapatkan anak, lalu menceraikan istri yang kedua?
C.   Tujuan penulisan
1.      Mengetahui bagaimanakah keputusan lembaga bahtsul masail NU Kota Surabaya tahun 2006 tentang poligami dengan tujuan mendapatkan anak, lalu menceraikan istri yang kedua.
2.      Mengetahui bagaimanakah analisis hukum islam tentang poligami dengan tujuan mendapatkan anak, lalu menceraikan istri yang kedua.
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Makna dan tujuan perkawinan
1.      Makna perkawinan
Secara etimologi perkawinan berasal dari kata “kawin” yang memiliki arti membentuk keluarga dengan lawan jenis; melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh.[1] Perkawinan juga disebut “pernihakan” yang berasal dari kata “nikah” yang artinya mengumpulkan, saling memasukkan, dan digunakan untuk arti bersetubuh (wath’i).[2] Kata nikah sendiri biasa digunakan dalam pengertian persetubuhan (coitus) dan juga dalam pengertian akad nikah.
Secara istilah hukum islam terdapat beberapa definisi dari perkawinan, yaitu :
a.       Perkawinan menurut syara’ adalah akad untuk membolehkan bersenang-senang antara laki-laki dengan perempuan dan menghalalkan bersenang-senangnya perempuan dengan laki-laki.
b.      Menurut Abu Yahya Zakaria Al-Anshary perkawinan adalah akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan seksual dengan lafaz nikah atau dengan kata-kata yang semakna dengannya.[3]
c.       Menurut Muhammad Abu Ishrah seperti yang dikutip oleh Zakiah Daradjat mendefinisikan pernikahan sebagai akad yang memberikan faedah hukum kebolehan mengadakan hubungan keluarga (suami istri) antara pria dan wanita dan mengadakan tolong menolong dan memberi batas hak bagi pemiliknya serta pemenuhan kewajiban bagi masing-masing.[4]
Sedangkan menurut perundang-undangan di Indonesia pengertian perkawinan adalah sebagai berikut :
a.       Menurut Undang-undang RI No. 1 Tahun 1974 pasal 1 pengertian perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
b.      Menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 2 pengertian perkawinan adalah akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Dari pengertian tersebut perkawinan mengandung aspek akibat hukum; melangsungkan perkawinan adalah saling mendapatkan hak dan kewajiban serta bertujuan mengadakan hubungan pergaulan yang dilandasi tolong menolong. Pada dasarnya hukum islam itu ada demi kesejahteraan umat, baik secara perorangan maupun secara bermasyarakat, baik untuk hidup di dunia maupun di akhirat. Kesejahteraan masyarakat akan tercapai dengan terciptanya keluarga yang baik, karena keluarga merupakan lembaga terkecil dalam masyarakat. Sehingga, kesejahteraan masyarakat sangat tergantung kepada kesejahteraan keluarga. Islam mengatur keluarga bukan secara garis besar saja, akan tetapi secara terperinci karena islam mempunyai perhatian yang besar terhadap kesejahteraan keluarga.[5]
Hukum melakukan perkawinan terdiri dari 5 macam, yaitu :
a.       Jaiz (diperbolehkan), ini asal hukumnya.
b.      Sunnah, bagi orang yang berkehendak serta mampu memberi nafkah dan lain-lainnya.
c.       Wajib, bagi orang yang mampu memberi nafkah dan dia takut akan tergoda pada kejahatan (zina).
d.      Makruh, bagi orang yang tidak mampu memberi nafkah.
e.       Haram, bagi orang yang berniat akan menyakiti perempuan yang dinikahinya.[6]
2.      Tujuan Perkawinan
Tujuan perkawinan menurut agama islam ialah untuk memenuhi petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia. Harmonis dalam menggunakan hak dan kewajiban anggota keluarga; sejahtera artinya terciptanya ketenangan lahir dan batin yang disebabkan terpenuhinya keperluan hidup lahir dan batinnya, sehingga timbullah kebahagiaan, yakni kasih sayang antar anggota keluarga. Jadi aturan perkawinan menurut islam merupakan tuntutan agama yang perlu mendapat perhatian, sehingga tujuan melangsungkan perkawinan pun hendaknya ditujukan untuk memenuhi petunjuk agama.[7]
Tujuan perkawinan secara garis besar ada 5, yaitu :
a.       Mendapatkan dan melangsungkan keturunan.
Bahwa naluri manusia mempunyai kecenderungan untuk mempunyai keturunan yang sah dengan anak keturunan yang diakui oleh dirinya sendiri, masyarakat, negara, dan agama. Anak sebagai keturunan bukan saja menjadi buah hati, tetapi juga sebagai pembantu dalam hidup di dunia, bahkan akan memberi tambahan amal kebajikan di akhirat nanti, ketika dapat mendidiknya menjadi anak yang shaleh, sebagaimana hadits Nabi SAW yang diriwayatkan Muslim dari Abu Hurairah :
Apabila manusia meninggal dunia maka putuslah amalnya kecuali tiga hal : shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak yang selalu mendo’akannya (HR. Muslim dari Abu Hurairah).
b.      Penyaluran syahwat dan penumpahan kasih sayang berdasarkan tanggung jawab.
Bahwa pada dasarnya manusia diciptakan berpasang-pasangan dan diciptakan oleh Allah SWT mempunyai keinginan untuk berhubungan antara pria dan wanita, sebagaimana dalam surat Al-Baqarah ayat 187 yang berbunyi :
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ ....(١٨٧)
Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka... (Al-Baqarah : 187)

Bahwa apabila Allah SWT tidak memberi jalan bagi pria dan wanita untuk menyalurkan naluri biologisnya, maka naluri biologis itu akan menuju jalan yang salah dan mereka akan berbuat pelanggaran. Perkawinan berguna untuk pengaturan naluri seksual dan juga menyalurkan cinta dan kasih sayang di kalangan pria dan wanita secara harmonis dan bertanggung jawab.[8]
c.       d.      Bekerja sama dalam menghadapi kesulitan hidup.
Ikatan perkawinan adalah ikatan selamanya. Oleh karena itu, perkawinan tidak terbatas karena suatu hal dan perkawinan merupakan usaha membentuk keluarga selamanya. Salah satu tujuan perkawinan adalah kehidupan bersama-sama secara langgeng. Kelanggengan akan tercapai apabila ada kasih sayang dan kerjasama antara suami istri dalam menjalani kehidupan. Suami menjalankan kewajibannya mencari nafkah dan penghidupan, sedangkan istri membantu meringankan beban suaminy dengan cara menggembirakannya dan menghiburnya.[10]
e.       Membangun rumah tangga dalam rangka membentuk masyarakat yang sejahtera berdasarkan cinta dan kasih sayang.
Suatu kenyataan yang harus diterima, bahwasanya manusia hidup di dunia tidaklah berdiri sendiri melainkan bermasyarakat yang terdiri dari unit-unit yang terkecil yaitu keluarga yang terbentuk melalui perkawinan. Dalam kehidupan di dunia manusia membutuhkan ketenangan, ketentraman dan kebahagiaan. Kebahagiaan masyarakat akan dapat tercapai dengan terciptanya ketenangan dan ketentraman anggota keluarga dalam keluarganya. Ketenangan dan ketentraman keluarga bergantung pada keberhasilan pembinaan yang harmonis antara suami istri dalam suatu rumah tangga. Keharmonisan diciptakan oleh adanya kesadaran anggota keluarga dalam menggunakan hak dan pemenuhan kewajiban masing-masing anggota keluarga.[11]
Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 3 dinyatakan sebagai berikut : perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.

B.     Keputusan lembaga bahtsul masail NU Kota Surabaya tahun 2006 tentang poligami dengan tujuan mendapatkan anak, lalu menceraikan istri yang kedua.

Lembaga Bahtsul masail adalah salah satu lembaga dalam organisasi Nahdlatul Ulama yang membahas, menghimpun, dan memutuskan permasalahan-permasalahan yan menuntut  kepastian  hukum  dengan mengacu  pada  empat madzhab yaitu: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Munculnya kegiatan Bahtsul Masail ini dilatar belakangi  oleh adanya kebutuhan masyarakat terhadap hukum  Islam yang praktis untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang ada dalam kehidupan sehari hari.[12]
Dalam pengambilan putusan Bahtsul masail hmenggunakan metode ijtihasebagai berikut:
  1. Ketika jawaban dalam suatu kasus bisa dicukupi dengan ‘ibarat kitab (kutipan dari kitab) dan disana terdapat hanya satu qaul atau wajah (pendapat) sebagaimana diterangkan dalam ‘ibarat tersebut.
  2. Ketika jawaban dalam suatu kasus bisa  dicukupi  oleh  ibarat  kitab dan disana terdapat lebih dari satu qaul, maka dilakukan taqrir jama’iy untuk memilih satu qaul.
  3. Ketika dalam suatu kasus tidak ada qaul sama sekali yang memberikan penyelesaian maka  dilakukan  prosedur  ilhaqul  masail  binadlairiha secara jama'ah oleh para ahlinya.
  4. Dalam  kasus  tidak  : -0.05pt;">istinbat
dengan prosedur bermazhab secara manhaji oleh para ahlinya.[13]

Pada tanggal 17 September 2006 di Lembaga Pendidikan Islam KH. Hasyim Jl. Tenggilis Kauman No. 28 Surabaya Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama’ Kota Surabaya melakukan kegiatan bahtsul masail yang membahas masalah-masalah yang terjadi dalam masyarakat. Salah satu masalah yang dibahas adalah permasalahan tentang tentang poligami dengan tujuan mendapatkan anak, lalu menceraikan istri yang kedua.

Hasil dari bahtsul masail tersebut adalah sebagai berikut [14]:
Putusan bahtsul masail Nahdlatul Ulama’ Kota Surabaya menyatakan bahwa hukum menikah lagi dengan tujuan agar mendapatkan keturunan, lalu menceraikan istri kedua adalah diperbolehkan selama tidak ada persyaratan untuk menceraikan istri kedua dalam akad nikahnya. Kemudian istri pertama yang mensyaratkan suaminya untuk menceraikan istri keduanya setelah mendapatkan anak yang tidak terdapat dalam akad nikah, maka hukum sunnah muakkad bagi suami untuk menepati janjinya.
Dasar pengambilan hukum :
1.      Kitab I’anah al-Talibin Juz III
Tidaklah sah sebuah pernikahan yang dilakukan dengan cara menggantungkan nikah dengan suatu kejadian (ta’liq), atau memberi batas waktu pernikahan (mut’ah, kawin kontrak). Syaikh Ali Syibramulisi mengatakan : (Ketidak absahan) itu terjadi apabila penentuan masanya disebutkan dalam akad nikah. Apabila (calon) suami-istri bersepakat sebelum akad nikah untuk menikah dalam waktu tertentu, dan mereka tidak menyinggungnya dalam akad, maka pernikahannya tetap sah, namun sepantasnya hal itu dihukumi makruh.
2.      Kitab Qala’idu al-Kharair Juz I
(Masalah) menepati janji adalah sunnah muakkad. Sedangkan menurut sebagian ulama’ adalah wajib. Dan hukum ingkar janji adalah makruh, (bila) tidak ada faktor darurat.

C.    Analisis Keputusan lembaga bahtsul masail NU Kota Surabaya tahun 2006 tentang poligami dengan tujuan mendapatkan anak, lalu menceraikan istri yang kedua.

Melihat dari hasil keputusan diatas lembaga bahtsul masail NU Kota Surabaya tahun 2006 yang menyatakan bahwa poligami dengan tujuan mendapatkan anak, lalu menceraikan istri yang kedua adalah diperbolehkan, maka akan kita perinci dan analisis tentang seberapa kuat dalil dan argumentasi dari keputusan tersebut melalui beberapa item analisis, yaitu :
1.      Makna perkawinan.
Jika dilihat dan dihayati, makna perkawinan secara luas sebagaimana yang dikatakan Muhammad Abu Ishrah bahwa perkawinan merupakan akad yang memberikan faedah hukum kebolehan mengadakan hubungan keluarga (suami istri) antara pria dan wanita dan mengadakan tolong menolong dan memberi batas hak bagi pemiliknya serta pemenuhan Menurut Undang-undang RI No. 1 Tahun 1974 pasal 1 pengertian perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Begitu juga Menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 2 pengertian perkawinan adalah akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Melihat dari makna perkawinan tersebut maka pada dasarnya perkawinan merupakan ikatan yang sangat kuat (mitsaqan ghalidzan) yang tidak begitu saja mudah dipermainkan dan diputus dengan mudah. Memutuskan ikatan perkawinan merupakan hal yang sangat dibenci oleh Allah SWT. Sebagaimana hadits Nabi SAW sebagai berikut :
Dari Ibnu Umar, ia berkata bahwa Rasulullah SAW telah bersabda : “sesuatu yang halal yang amat dibenci Allah ialah talak.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah).
Dari makna perkawinan tersebut bisa diketahui bahwa keputusan lembaga bahtsul masail NU Kota Surabaya tahun 2006 yang memperbolehkan adanya  poligami dengan tujuan mendapatkan anak, lalu menceraikan istri yang kedua,  tersebut, menurut penulis merupakan keputusan yang kurang tepat, karena substansi dari perkawinan adalah menjalin ikatan yang kuat (mitsaqan ghalidzan)  diantara suami istri untuk hidup bersama dengan saling tolong menolong dan kasih sayang.
2.      Tujuan Perkawinan
dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.
Begitu juga tujuan perkawinan yang lain seperti bekerja sama dalam menghadapi kesulitan hidup dan membangun rumah tangga dalam rangka membentuk masyarakat yang sejahtera berdasarkan cinta dan kasih sayang. Hal tersebut dikarenakan tidak terciptanya upaya tanggung jawab dan kerja sama di antara suami istri untuk menjalani kehidupan yang penuh dengan rahmah dan kasih sayang.
Oleh karena itu, menurut penulis Keputusan Lembaga Bahtsul Masail NU Kota Surabaya tahun 2006 yang memperbolehkan poligami dengan tujuan mendapatkan anak, lalu menceraikan istri yang kedua merupakan keputusan yang kurang tepat, karena tujuan dari perkawinan itu sendiri tidak akan tercapai, seperti terciptanya keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.




BAB III
KESIMPULAN

1.      Hasil Keputusan Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama’ Kota Surabaya menyatakan bahwa hukum menikah lagi dengan tujuan agar mendapatkan keturunan, lalu menceraikan istri kedua adalah diperbolehkan selama tidak ada persyaratan untuk menceraikan istri kedua dalam akad nikahnya. Kemudian istri pertama yang mensyaratkan suaminya untuk menceraikan istri keduanya setelah mendapatkan anak yang tidak terdapat dalam akad nikah, maka hukum sunnah muakkad bagi suami untuk menepati janjinya.
2.      Bahwa poligami dengan tujuan agar mendapatkan keturunan, lalu menceraikan istri kedua merupakan perbuatan yang bertentangan dengan substansi dan tujuan perkawinan. Hal tersebut telah mencederai tujuan perkawinan yaitu menciptakan  kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Sebagaimana dalam surat Ar-Ruum ayat 21 yang berbunyi sebagai berikut :
ومِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ (٢١)
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.










DAFTAR PUSTAKA

Abdul Rahman Ghozali. 2008. Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana
A.Aziz Masyhuri, Sistem Pengambilan Putusan Hukum dan Hirarki, Himpunan Keputusan Bahtsul Masa’il
Abu Yahya Zakaria Al-Anshary. t.t. Fath Al-Wahhab Juz 2. Singapura : Sulaiman Mar’iy
Ali yusuf As-Subki. 2010. Fiqh Keluarga: Pedoman Berkeluarga Dalam Islam, penerj. Nur Khozin. Jakarta: Amzah
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan. 1994. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka
Muhammad Bin Ismail Al-Kahlaniy. t.t. Subul Al-Salam Jilid 3.  Bandung : Dahlan
Sulaiman Rasjid. 2007. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algesindo
Tim Bahtsul Masail Cabang NU Kota Surabaya. 2010. Keputusan Hukum Islam Aktual. Surabaya: Lembaga Bahtsul Masail Cabang Nu Kota Surabaya
Zakiah Daradjat. 1995. Ilmu Fiqh, Jilid 2. Yogyakarta : Dana Bhakti Wakaf





[1] Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1994), 456
[2] Muhammad Bin Ismail Al-Kahlaniy, Subul Al-Salam, jilid 3, (Bandung : dahlan, t.t.), 109
[3] Abu Yahya Zakaria Al-Anshary, Fath Al-Wahhab, Juz 2, (Singapura : Sulaiman Mar’iy, t.t.), 30
[4] Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqh, Jilid 2, (Yogyakarta : Dana Bhakti Wakaf, 1995), 37
[5] Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2008), 13-14
[6] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2007), 382
[7] Abdul Rahman Ghozali, Fiqh......, 23
[8]  Ibid., 24-28
[9]  Ibid., 28-29
[10] Ali yusuf As-Subki, Fiqh Keluarga: Pedoman Berkeluarga Dalam Islam, penerj. Nur Khozin, (Jakarta: Amzah, 2010), 28
[11] Abdul Rahman Ghozali, Fiqh......, 30-31
[12] Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual NU: Lajnah Bahtsul masail1926-1999, Cet. I, h. 68
[13] A.Aziz Masyhuri, Sistem Pengambilan Putusan Hukum dan Hirarki, Himpunan Keputusan Bahtsul Masa’il, h.73.
[14] Tim Bahtsul Masail Cabang NU Kota Surabaya, Keputusan Hukum Islam Aktual, (surabaya: Lembaga Bahtsul Masail Cabang Nu Kota Surabaya, 2010), 64-65