EGOISME
Banyak manusia pada hari ini hanya memikirkan diri sendiri tanpa menghiraukan bagaimana orang lain disekitarnya. Egoisme manusia akan mengalir begitu deras, seolah akan menghancurkan bebatuan yang keras jika egoism tersebut didukung oleh nafsu dan akal manusia. Seseorang yang tertutup akan memiliki kecenderungan egois yang lebih tinggi daripada orang yang terbuka. Alasannya, orang yang tertutup biasanya lebih senang menyendiri dan jarang berinteraksi dengan orang lain. Sehingga, ia tidak terlalu peduli dengan keadaan masyarakat di sekitarnya. Tertutup disini lebih condong dalam arti tidak mau tahu terhadap keadaan orang lain (apatis). Ketika dia memiliki keinginan terhadap sesuatu, tidak mempertimbangkan efek yang akan timbul karena kepentingannya itu. Sedangkan orang yang terbuka biasanya lebih gampang berinteraksi dengan orang lain. Ia tidak malu dan takut menceritakan masalah-masalah yang sedang dihadapinya. Sehingga, semakin banyak ia berinteraksi dengan orang lain semakin banyak pula pengetahuannya tentang kehidupan orang lain. Ketika ia memiliki kepentingan yang berhubungan dengan orang lain, maka akan lebih mempertimbangkan efek yang akan timbul.
Sabtu, 14 Juli 2012
Minggu, 08 Juli 2012
MAKALAH HUKUM KELUARGA ISLAM
-->
dengan prosedur bermazhab
secara manhaji oleh para ahlinya.[13]
ANALISIS HUKUM ISLAM
TERHADAP KEPUTUSAN LEMBAGA BAHTSUL MASAIL NU KOTA SURABAYA TAHUN 2006
TENTANG POLIGAMI DENGAN
TUJUAN MENDAPATKAN ANAK, LALU MENCERAIKAN ISTRI YANG KEDUA
MAKALAH
Diajukan
untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
“Studi
Kasus Hukum Keluarga Islam”
Oleh:
SYAMSUL
ARIFIN C51208053
JURUSAN
AHWAL AL-SYAKHSIYAH
F
A K U L T A S S Y A R I ' A H
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
BAB I
PENDAHULUAN
- Latar
belakang masalah
Perkawinan merupakan peristiwa
sakral yang memang disunnahkan oleh Nabi SAW. Perkawinan adalah sebuah upacara
yang akan menentukan masa depan seseorang setelahnya. Seseorang yang akan
menikah akan mempersiapkan segenap jiwa dan raga demi menyongsong perkawinan
yang terbaik. Perkawinan adalah salah satu upaya untuk
membentengi manusia dari perbuatan yang keji seperti perzinaan dan perbuatan
keji lain yang berhubungan dengan naluri seksual. Begitu juga sebagai upaya
untuk memperoleh keturunan yang baik. Perkawinan adalah pintu awal untuk
memulai kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Memang, pembahasan perkawinan
dalam hukum islam tidak akan ada habisnya dari waktu ke waktu. Semakin lama
permasalahan-permasalahan mengenai perkawinan juga akan semakin berkembang dan
kompleks. Seperti permasalahan yang akan penulis bahas, merupakan permasalahan perkawinan
yang membutuhkan kejelian dan ketelitian untuk menemukan jawabannya.
Permasalahan tersebut mengenai bagaimana hukumnya jika seseorang yang sudah
lama menikah tidak mendapatkan keturunan, kemudian ia menikah lagi hanya untuk
mendapatkan keturunan, lalu menceraikannya setelah memperoleh keturunan. Oleh
sebab itu, penulis akan membahas secara detail permasalahan tersebut sesuai
dengan kemampuan penulis.
- Rumusan
masalah
1.
Bagaimanakah
keputusan lembaga bahtsul masail NU Kota Surabaya tahun 2006 tentang poligami
dengan tujuan mendapatkan anak, lalu menceraikan istri yang kedua?
2.
Bagaimanakah
analisis hukum islam tentang poligami dengan tujuan mendapatkan anak, lalu menceraikan
istri yang kedua?
C.
Tujuan
penulisan
1.
Mengetahui bagaimanakah
keputusan lembaga bahtsul masail NU Kota Surabaya tahun 2006 tentang poligami
dengan tujuan mendapatkan anak, lalu menceraikan istri yang kedua.
2.
Mengetahui
bagaimanakah analisis hukum islam tentang poligami dengan tujuan mendapatkan
anak, lalu menceraikan istri yang kedua.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Makna dan tujuan perkawinan
1. Makna perkawinan
Secara etimologi perkawinan berasal dari kata
“kawin” yang memiliki arti membentuk keluarga dengan lawan jenis; melakukan
hubungan kelamin atau bersetubuh.[1]
Perkawinan juga disebut “pernihakan” yang berasal dari kata “nikah” yang
artinya mengumpulkan, saling memasukkan, dan digunakan untuk arti bersetubuh (wath’i).[2]
Kata nikah sendiri biasa digunakan dalam pengertian persetubuhan (coitus)
dan juga dalam pengertian akad nikah.
Secara istilah hukum islam terdapat beberapa
definisi dari perkawinan, yaitu :
a. Perkawinan
menurut syara’ adalah akad untuk membolehkan bersenang-senang antara laki-laki
dengan perempuan dan menghalalkan bersenang-senangnya perempuan dengan
laki-laki.
b. Menurut
Abu Yahya Zakaria Al-Anshary perkawinan adalah akad yang mengandung ketentuan
hukum kebolehan hubungan seksual dengan lafaz nikah atau dengan kata-kata yang
semakna dengannya.[3]
c. Menurut
Muhammad Abu Ishrah seperti yang dikutip oleh Zakiah Daradjat mendefinisikan
pernikahan sebagai akad yang memberikan faedah hukum kebolehan mengadakan
hubungan keluarga (suami istri) antara pria dan wanita dan mengadakan tolong
menolong dan memberi batas hak bagi pemiliknya serta pemenuhan kewajiban bagi
masing-masing.[4]
Sedangkan menurut perundang-undangan di Indonesia
pengertian perkawinan adalah sebagai berikut :
a. Menurut
Undang-undang RI No. 1 Tahun 1974 pasal 1 pengertian perkawinan adalah ikatan
lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
b. Menurut
Kompilasi Hukum Islam pasal 2 pengertian perkawinan adalah akad yang sangat
kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah.
Dari pengertian tersebut perkawinan mengandung aspek
akibat hukum; melangsungkan perkawinan adalah saling mendapatkan hak dan
kewajiban serta bertujuan mengadakan hubungan pergaulan yang dilandasi tolong
menolong. Pada dasarnya hukum islam itu ada demi kesejahteraan umat, baik
secara perorangan maupun secara bermasyarakat, baik untuk hidup di dunia maupun
di akhirat. Kesejahteraan masyarakat akan tercapai dengan terciptanya keluarga
yang baik, karena keluarga merupakan lembaga terkecil dalam masyarakat.
Sehingga, kesejahteraan masyarakat sangat tergantung kepada kesejahteraan
keluarga. Islam mengatur keluarga bukan secara garis besar saja, akan tetapi
secara terperinci karena islam mempunyai perhatian yang besar terhadap
kesejahteraan keluarga.[5]
Hukum melakukan perkawinan terdiri dari 5 macam,
yaitu :
a. Jaiz
(diperbolehkan), ini asal hukumnya.
b. Sunnah,
bagi orang yang berkehendak serta mampu memberi nafkah dan lain-lainnya.
c. Wajib,
bagi orang yang mampu memberi nafkah dan dia takut akan tergoda pada kejahatan
(zina).
d. Makruh,
bagi orang yang tidak mampu memberi nafkah.
e. Haram,
bagi orang yang berniat akan menyakiti perempuan yang dinikahinya.[6]
2. Tujuan Perkawinan
Tujuan perkawinan menurut agama islam ialah untuk
memenuhi petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis,
sejahtera dan bahagia. Harmonis dalam menggunakan hak dan kewajiban anggota
keluarga; sejahtera artinya terciptanya ketenangan lahir dan batin yang
disebabkan terpenuhinya keperluan hidup lahir dan batinnya, sehingga timbullah
kebahagiaan, yakni kasih sayang antar anggota keluarga. Jadi aturan perkawinan
menurut islam merupakan tuntutan agama yang perlu mendapat perhatian, sehingga
tujuan melangsungkan perkawinan pun hendaknya ditujukan untuk memenuhi petunjuk
agama.[7]
Tujuan
perkawinan secara garis besar ada 5, yaitu :
a. Mendapatkan
dan melangsungkan keturunan.
Bahwa naluri manusia mempunyai kecenderungan untuk
mempunyai keturunan yang sah dengan anak keturunan yang diakui oleh dirinya
sendiri, masyarakat, negara, dan agama. Anak sebagai keturunan bukan saja
menjadi buah hati, tetapi juga sebagai pembantu dalam hidup di dunia, bahkan
akan memberi tambahan amal kebajikan di akhirat nanti, ketika dapat mendidiknya
menjadi anak yang shaleh, sebagaimana hadits Nabi SAW yang diriwayatkan Muslim
dari Abu Hurairah :
Apabila
manusia meninggal dunia maka putuslah amalnya kecuali tiga hal : shadaqah
jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak yang selalu mendo’akannya (HR. Muslim
dari Abu Hurairah).
b. Penyaluran
syahwat dan penumpahan kasih sayang berdasarkan tanggung jawab.
Bahwa pada dasarnya manusia diciptakan
berpasang-pasangan dan diciptakan oleh Allah SWT mempunyai keinginan untuk
berhubungan antara pria dan wanita, sebagaimana dalam surat Al-Baqarah ayat 187
yang berbunyi :
أُحِلَّ
لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ
وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ ....(١٨٧)
Dihalalkan bagi
kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka
adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka... (Al-Baqarah :
187)
Bahwa apabila Allah SWT tidak memberi jalan bagi
pria dan wanita untuk menyalurkan naluri biologisnya, maka naluri biologis itu
akan menuju jalan yang salah dan mereka akan berbuat pelanggaran. Perkawinan
berguna untuk pengaturan naluri seksual dan juga menyalurkan cinta dan kasih
sayang di kalangan pria dan wanita secara harmonis dan bertanggung jawab.[8]
c. d. Bekerja
sama dalam menghadapi kesulitan hidup.
Ikatan perkawinan adalah ikatan selamanya. Oleh
karena itu, perkawinan tidak terbatas karena suatu hal dan perkawinan merupakan
usaha membentuk keluarga selamanya. Salah satu tujuan perkawinan adalah
kehidupan bersama-sama secara langgeng. Kelanggengan akan tercapai apabila ada
kasih sayang dan kerjasama antara suami istri dalam menjalani kehidupan. Suami
menjalankan kewajibannya mencari nafkah dan penghidupan, sedangkan istri membantu
meringankan beban suaminy dengan cara menggembirakannya dan menghiburnya.[10]
e. Membangun
rumah tangga dalam rangka membentuk masyarakat yang sejahtera berdasarkan cinta
dan kasih sayang.
Suatu kenyataan yang harus diterima, bahwasanya
manusia hidup di dunia tidaklah berdiri sendiri melainkan bermasyarakat yang
terdiri dari unit-unit yang terkecil yaitu keluarga yang terbentuk melalui
perkawinan. Dalam kehidupan di dunia manusia membutuhkan ketenangan,
ketentraman dan kebahagiaan. Kebahagiaan masyarakat akan dapat tercapai dengan
terciptanya ketenangan dan ketentraman anggota keluarga dalam keluarganya. Ketenangan
dan ketentraman keluarga bergantung pada keberhasilan pembinaan yang harmonis
antara suami istri dalam suatu rumah tangga. Keharmonisan diciptakan oleh
adanya kesadaran anggota keluarga dalam menggunakan hak dan pemenuhan kewajiban
masing-masing anggota keluarga.[11]
Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 3 dinyatakan
sebagai berikut : perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah
tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.
B. Keputusan lembaga bahtsul masail NU Kota Surabaya
tahun 2006 tentang poligami dengan tujuan mendapatkan anak, lalu menceraikan
istri yang kedua.
Lembaga
Bahtsul masail adalah salah satu lembaga dalam organisasi Nahdlatul Ulama’
yang membahas, menghimpun, dan memutuskan permasalahan-permasalahan yang menuntut
kepastian hukum dengan
mengacu pada empat madzhab yaitu: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali.
Munculnya kegiatan Bahtsul Masail
ini dilatar belakangi oleh adanya kebutuhan masyarakat terhadap hukum
Islam yang praktis untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang ada dalam kehidupan
sehari – hari.[12]
Dalam pengambilan putusan
Bahtsul masail hmenggunakan metode
ijtihad sebagai berikut:
- Ketika jawaban dalam suatu kasus bisa
dicukupi dengan ‘ibarat kitab (kutipan dari kitab) dan disana terdapat hanya satu qaul atau wajah (pendapat) sebagaimana
diterangkan dalam ‘ibarat tersebut.
- Ketika jawaban dalam suatu kasus bisa dicukupi oleh ibarat kitab dan
disana terdapat lebih dari satu qaul, maka dilakukan taqrir jama’iy untuk memilih satu qaul.
- Ketika dalam suatu kasus tidak ada qaul sama sekali yang memberikan
penyelesaian, maka
dilakukan
prosedur
ilhaqul
masail binadlairiha
secara jama'ah oleh para ahlinya.
- Dalam kasus tidak : -0.05pt;">istinbat
Pada
tanggal 17 September 2006 di Lembaga Pendidikan Islam KH. Hasyim Jl. Tenggilis
Kauman No. 28 Surabaya Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama’ Kota Surabaya melakukan
kegiatan bahtsul masail yang membahas masalah-masalah yang terjadi dalam
masyarakat. Salah satu masalah yang dibahas adalah permasalahan tentang tentang
poligami dengan tujuan mendapatkan anak, lalu menceraikan istri yang kedua.
Hasil dari bahtsul masail tersebut adalah sebagai
berikut [14]:
Putusan bahtsul masail Nahdlatul Ulama’ Kota
Surabaya menyatakan bahwa hukum menikah lagi dengan tujuan agar mendapatkan
keturunan, lalu menceraikan istri kedua adalah diperbolehkan selama tidak ada
persyaratan untuk menceraikan istri kedua dalam akad nikahnya. Kemudian istri
pertama yang mensyaratkan suaminya untuk menceraikan istri keduanya setelah
mendapatkan anak yang tidak terdapat dalam akad nikah, maka hukum sunnah
muakkad bagi suami untuk menepati janjinya.
Dasar pengambilan hukum :
1. Kitab I’anah al-Talibin Juz III
Tidaklah sah sebuah
pernikahan yang dilakukan dengan cara menggantungkan nikah dengan suatu
kejadian (ta’liq), atau memberi batas waktu pernikahan (mut’ah, kawin kontrak).
Syaikh Ali Syibramulisi mengatakan : (Ketidak absahan) itu terjadi apabila
penentuan masanya disebutkan dalam akad nikah. Apabila (calon) suami-istri
bersepakat sebelum akad nikah untuk menikah dalam waktu tertentu, dan mereka
tidak menyinggungnya dalam akad, maka pernikahannya tetap sah, namun
sepantasnya hal itu dihukumi makruh.
2. Kitab Qala’idu al-Kharair Juz I
(Masalah) menepati
janji adalah sunnah muakkad. Sedangkan menurut sebagian ulama’ adalah wajib.
Dan hukum ingkar janji adalah makruh, (bila) tidak ada faktor darurat.
C. Analisis Keputusan lembaga bahtsul masail NU Kota
Surabaya tahun 2006 tentang poligami dengan tujuan mendapatkan anak, lalu
menceraikan istri yang kedua.
Melihat dari hasil keputusan diatas lembaga bahtsul
masail NU Kota Surabaya tahun 2006 yang menyatakan bahwa poligami dengan tujuan
mendapatkan anak, lalu menceraikan istri yang kedua adalah diperbolehkan, maka
akan kita perinci dan analisis tentang seberapa kuat dalil dan argumentasi dari
keputusan tersebut melalui beberapa item analisis, yaitu :
1. Makna
perkawinan.
Jika
dilihat dan dihayati, makna perkawinan secara luas sebagaimana yang dikatakan
Muhammad Abu Ishrah bahwa perkawinan merupakan akad yang memberikan faedah
hukum kebolehan mengadakan hubungan keluarga (suami istri) antara pria dan
wanita dan mengadakan tolong menolong dan memberi batas hak bagi pemiliknya
serta pemenuhan Menurut Undang-undang RI No. 1 Tahun 1974 pasal 1 pengertian
perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Begitu juga Menurut
Kompilasi Hukum Islam pasal 2 pengertian perkawinan adalah akad yang sangat
kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah.
Melihat
dari makna perkawinan tersebut maka pada dasarnya perkawinan merupakan ikatan
yang sangat kuat (mitsaqan ghalidzan) yang tidak begitu saja mudah dipermainkan
dan diputus dengan mudah. Memutuskan ikatan perkawinan merupakan hal yang
sangat dibenci oleh Allah SWT. Sebagaimana hadits Nabi SAW sebagai berikut :
Dari
Ibnu Umar, ia berkata bahwa Rasulullah SAW telah bersabda : “sesuatu yang halal
yang amat dibenci Allah ialah talak.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah).
Dari
makna perkawinan tersebut bisa diketahui bahwa keputusan lembaga bahtsul masail
NU Kota Surabaya tahun 2006 yang memperbolehkan adanya poligami dengan tujuan mendapatkan anak, lalu
menceraikan istri yang kedua, tersebut,
menurut penulis merupakan keputusan yang kurang tepat, karena substansi dari
perkawinan adalah menjalin ikatan yang kuat (mitsaqan ghalidzan) diantara suami istri untuk hidup bersama
dengan saling tolong menolong dan kasih sayang.
2. Tujuan Perkawinan
dan
di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri
dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.
Begitu
juga tujuan perkawinan yang lain seperti bekerja sama dalam menghadapi
kesulitan hidup dan membangun rumah tangga dalam rangka membentuk masyarakat
yang sejahtera berdasarkan cinta dan kasih sayang. Hal tersebut dikarenakan
tidak terciptanya upaya tanggung jawab dan kerja sama di antara suami istri
untuk menjalani kehidupan yang penuh dengan rahmah dan kasih sayang.
Oleh
karena itu, menurut penulis Keputusan Lembaga Bahtsul Masail NU Kota Surabaya
tahun 2006 yang memperbolehkan poligami dengan tujuan mendapatkan anak, lalu menceraikan
istri yang kedua merupakan keputusan yang kurang tepat, karena tujuan dari
perkawinan itu sendiri tidak akan tercapai, seperti terciptanya keluarga yang
sakinah, mawaddah, dan rahmah.
BAB III
KESIMPULAN
1. Hasil
Keputusan Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama’ Kota Surabaya menyatakan bahwa
hukum menikah lagi dengan tujuan agar mendapatkan keturunan, lalu menceraikan
istri kedua adalah diperbolehkan selama tidak ada persyaratan untuk menceraikan
istri kedua dalam akad nikahnya. Kemudian istri pertama yang mensyaratkan
suaminya untuk menceraikan istri keduanya setelah mendapatkan anak yang tidak
terdapat dalam akad nikah, maka hukum sunnah muakkad bagi suami untuk menepati
janjinya.
2. Bahwa
poligami dengan tujuan agar mendapatkan keturunan, lalu menceraikan istri kedua
merupakan perbuatan yang bertentangan dengan substansi dan tujuan perkawinan.
Hal tersebut telah mencederai tujuan perkawinan yaitu menciptakan kehidupan rumah tangga yang sakinah,
mawaddah, dan rahmah. Sebagaimana dalam surat Ar-Ruum ayat 21 yang berbunyi
sebagai berikut :
ومِنْ
آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا
وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ
يَتَفَكَّرُونَ (٢١)
Dan
di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri
dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Rahman Ghozali. 2008. Fiqh
Munakahat. Jakarta: Kencana
A.Aziz
Masyhuri, Sistem Pengambilan Putusan Hukum dan Hirarki, Himpunan Keputusan Bahtsul Masa’il
Abu Yahya Zakaria Al-Anshary. t.t. Fath
Al-Wahhab Juz 2. Singapura : Sulaiman Mar’iy
Ali yusuf As-Subki. 2010. Fiqh
Keluarga: Pedoman Berkeluarga Dalam Islam, penerj. Nur Khozin. Jakarta:
Amzah
Departemen Pendidikan Dan
Kebudayaan. 1994. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka
Muhammad Bin Ismail Al-Kahlaniy. t.t.
Subul Al-Salam Jilid 3. Bandung :
Dahlan
Sulaiman Rasjid. 2007. Fiqh
Islam. Bandung: Sinar Baru Algesindo
Tim Bahtsul Masail Cabang NU Kota
Surabaya. 2010. Keputusan Hukum Islam Aktual. Surabaya: Lembaga Bahtsul
Masail Cabang Nu Kota Surabaya
Zakiah Daradjat. 1995. Ilmu Fiqh,
Jilid 2. Yogyakarta : Dana Bhakti Wakaf
[1]
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta
: Balai Pustaka, 1994), 456
[2]
Muhammad Bin Ismail Al-Kahlaniy, Subul Al-Salam, jilid 3, (Bandung :
dahlan, t.t.), 109
[3]
Abu Yahya Zakaria Al-Anshary, Fath
Al-Wahhab, Juz 2, (Singapura : Sulaiman Mar’iy, t.t.), 30
[4]
Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqh,
Jilid 2, (Yogyakarta : Dana Bhakti Wakaf, 1995), 37
[5]
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2008), 13-14
[6]
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2007), 382
[7]
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh......, 23
[8]
Ibid., 24-28
[9]
Ibid., 28-29
[10]
Ali yusuf As-Subki, Fiqh Keluarga: Pedoman Berkeluarga Dalam Islam, penerj.
Nur Khozin, (Jakarta: Amzah, 2010), 28
[11]
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh......, 30-31
[13]
A.Aziz
Masyhuri, Sistem Pengambilan Putusan Hukum dan Hirarki, Himpunan Keputusan Bahtsul Masa’il, h.73.
[14]
Tim Bahtsul Masail Cabang NU Kota Surabaya, Keputusan Hukum Islam Aktual,
(surabaya: Lembaga Bahtsul Masail Cabang Nu Kota Surabaya, 2010), 64-65
Langganan:
Postingan (Atom)