A. BENTUK-BENTUK PEREKONOMIAN
1. PEREKONOMIAN BARTER
Perekonomian
barter adalah suatu kancah perekonomian yang dalam system transaksinya barang
dipertukarkan dengan barang. Perekonomian semacam ini pernah berlangsung dahulu
kala semasa uang (dalam bentuknya seperti sekarang) belum ditemukan. Bahkan
belum disepakati satu macam barang tertentu yang berfungsi sebagai media
pertukaran (medium of exchange).
Pada saat itu setiap barang dapat dipertukarkan dengan barang lain.
Setiap barang pada dasarnya berfungsi atau dapat difungsikan sebagai uang,
sepanjang terdapat kesepakatan di antara pihak-pihak yang saling bertransaksi;
baik mengenai jenis barang yang dipertukarkan maupun mengenai rasio tukar (term
of trade)-nya.[1]
Menarik untuk
dilacak, apakah pada tempo dulu (masa-masa awal kelahiran atau peradaban islam)
pola perdagangan barter ini juga dipraktekkan. Besar kemungkinan, pada masa
Rosulullah pola demikian tidak berlangsung secara meluas. Sepanjang
pengetahuan, pada masa Nabi berdagang ke Negeri Syam ketika itu sudah
menggunakan uang. Walaupun demikian, konfirmasi mengenai hal ini perlu
dilakukan; yakni dengan menelusur sejarah kapan pertama kali uang
(setidak-tidaknya berupa “uang komoditas” atau “uang barang”) ditemukan dan
digunakan. [2]
Perdagangan dengan
pola barter rasanya bukanlah sesuatu yang terlarang dalam islam, sepanjang
terdapat kesukarelaan di antara pihak-pihak yang bertransaksi. karena pola
barter masih saja berlangsung di zaman modern ini, maka penerapannya di masa
kini bukanlah suatu keanehan. Ditinjau dari satu segi, pola barter ini
potensial melambangkan laju inflasi karena pertimbangan tingkat suku bunga
relative tersingkir berkat tidak digunakannya uang. Akan tetapi, ditinjau dari
segi lain pelaksanaannya tidaklah mudah. Ihwal “keserasian ganda dalam hal
keinginan” (multiple coincidence of wants), yang merupakan syarat
terjadinya barter, sering sukar terpenuhi.
Pola barter
tidak pula menjamin terhindarnya orang dari praktek-praktek riba. Apalagi jika
salah satu pihak yang bertransaksi dalam posisi terdesak atau lebih lemah,
cenderung menimbulkan pemerasan atau penekanan. Bentuk keribaannya bukan
peribaan uang, tetapi peribaan barang.[3]
2. PEREKONOMIAN MONETER
Uang yang
sekarang kita gunakan secara definisional memenuhi tiga syarat utama, dan secara
konseptual memenuhi beberapa syarat pelengkap. Ketiga definisional uang adalah
diterima umum dalam arti digunakan secara
meluas, berfungsi setidak-tidaknya sebagai alat pembayaran dan syah,
dalam artian diakui oleh pemerintah. Uang kertas (sebagian logam) yang dipakai
sehari-hari memenuhi beberapa syarat konseptual yang diidealkan orang tentang
sifat dan bentuknya. Syarat-syarat konseptual itu antara lain : mudah dikenali
(cognizable), mudah dibawa kemana-kemana (portable), bahannya
awet (durable), dan pembuatan recehan tidak menimbulkan masalah (divisible).[4]
Fungsi uang
dalam perekonomian modern yaitu : alat pembayaran atau media pertukaran, satuan
hitung atau pengukur nilai (unit of accounts), alat penimbun kekayaan (store
of value), dan satuan atau standar pembayaran tundaan (standard of
deferred payments).[5]
Hal penting yang perlu diperhatikan berkenaan dengan uang ialah fungsi,
kedudukan, atau peranannya sebagai satuan hitung atau pengukur nilai. Teori
nilai uang (value teori of money) dalam kaitannya dengan preferensi
waktu (time preference), menyatakan bahwa uang yang nilainya sama
berdaya beli lebih rendah di masa yang akan datang dibandingkan pada masa
sekarang. Premis inilah yang menjadi dasar legitimasi praktek pembuangan uang.
Premis ini telah mengajarkan manusia modern untuk menuntut jumlah nominal yang
lebih besar di masa yang akan datang daripada menuntut jumlahnya pada saat
sekarang, agar uang tersebut memiliki daya beli setara.[6]
Menurut
pandangan islam, pemilikan uang tidaklah dilarang. Yang dilarang adalah
menumpuk uang untuk mendapatkan keuntungan dari orang lain, surat At-Taubah :
34, yaitu :
$pkr'¯»t
tûïÏ%©!$#
(#þqãZtB#uä
¨bÎ)
#ZÏW2
ÆÏiB
Í$t6ômF{$#
Èb$t7÷d9$#ur
tbqè=ä.ù'us9
tAºuqøBr&
Ĩ$¨Y9$#
È@ÏÜ»t6ø9$$Î/
crÝÁtur
`tã
È@Î6y
«!$#
3
úïÏ%©!$#ur
crãÉ\õ3t
|=yd©%!$#
spÒÏÿø9$#ur
wur
$pktXqà)ÏÿZã
Îû
È@Î6y
«!$#
Nèd÷Åe³t7sù
A>#xyèÎ/
5OÏ9r&
ÇÌÍÈ
Untuk memiliki
uang dan mendapatkan uang Allah berfirman :
È….. (#qè=yJôã$# uz|¡sù ª!$# ö/ä3n=uHxå ¼ã&è!qßuur tbqãZÏB÷sßJø9$#ur ( ……..
”…….bekerjalah
kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaan
kamu….” (QS. At-Taubah : 105).
Akan tetapi
islam tidak membolehkan siapapun menundukkan dan menindas (mengeksploitasi)
orang lain dengan mengumpulkan atau menimbun uang lalu meminjamkannya kepada
orang lain dengan memungut bunga (riba). Hal itu dapat memblokir serta menusuk
perekonomian dan produksi, merampas hak-hak ekonomi yang bersifat menghalangi
terciptanya proses kesejahteraan sosial.[7]
Oleh karena itu
Mahmud Abu Saud mengemukakan :
1.
Tidak dibenarkan menumpuk uang
oleh siapapun juga karena akan menjadikan uang terpusat pada perorangan atau
pada kelompok tertentu yang akan mengakibatkan uang menjadi “beku”.
2.
Memperdagangkan uang untuk
mendapatkan uang harus dicegah karena Al-Qur’an melarangnya.
3.
Tidak dibenarkan meminjamkan uang
dengan bunga karena tidak adil.
4.
Unsure-unsur yang menodai
kesucian uang tidak dapat ditoleransi karena dapat membawa manusia kepada
kekafiran.
5.
Uang tidak dimaksudkan untuk
memperbudak manusia karena manusia adalah makhluk yang paling sempurna.[8]
B.
PENGERTIAN JUAL BELI
(PERDAGANGAN)
C.
PERDAGANGAN ATAU JUAL BELI YANG
SAH
1.
JUAL BELI MURABAHAH
Pengertian Murabahah
Murabahah adalah suatu jenis penjualan
dengan pembayaran
tunda dengan suatau transaksi perdagangan
murni. Bank-bank syari'ah menggunakan
kontrak murabahah dalam aktifitas pembiayaan mereka. Pembiayaan
semacam ini sekarang telah mencapai lebih dari tujuh lima persen
dari total pembiayaan yang dilakukan oleh bank-bank syari'ah.[9]
Menurut Ibnu Rusyd, sebagaimana
dikutip oleh Syafi’i Antonio, mengatakan bahwa murabahah adalah jual beli
barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Dalam jual
beli jenis ini, penjual harus memberitahu harga barang yang ia beli dan
menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya.[10]
Sedangkan menurut Wahbah Zuhaili, transaksi murabahah adalah
jual beli dengan harga awal ditambah dengan keuntungan tertentu.[11]
Dengan memperhatikan dari
pengertian-pengertian yang dikemukakan
oleh para ulama di atas, dapat dipahami bahwa murabahah adalah
menjual suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli
membayarnya dengan harga
lebih sebagai margin (keuntungan). Aplikasi pembiayaan murabahah pada bank
syari'ah dapat digunakan untuk pembelian barang konsumsi maupun
barang dagangan (pembiayaan tambah modal) yang pembayarannya dapat
dilakukan secara tangguh (jatuh
tempo/angsuran).
Dalam murabahah, penjual harus memberitahu harga produk yang
dia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai
tambahannya. Murabahah dapat dilakukan untuk pembelian dengan sistem pemesanan. Dalam hal ini
calon pembeli atau pemesan dapan memesan kepada sesorang (sebut saja pembeli) untuk membelikan suatu
barang tertentu yang diinginkannya. Kedua belah pihak membuat kesepakatan mengenai barang
tersebut serta kemungkinan harga asal pembelian yang masih sanggup ditanggung pemesan.
Setelah itu, kedua belah pihak juga harus menyepakati beberapa keuntungan atau tambahan
yang harus dibayar pemesan. Jual beli kedua belah pihak dilakukan setelah barang tersebut berada
di tangan pemesan.[12]
Karakteristik murabahah adalah si penjual harus memberi tahu
pembeli tentang harga pembelian barang
dan menyatakan jumlah keuntungan yang ditambahkan. Misalnya, si fulan membeli
unta 30 dinar, biaya-biaya yang dikeluarkan 5 dinar, maka ketika menawarkan
untanya mengatakan :”saya jual untanya unta ini 50 dinar, saya mengambil
keuntungan 15 dinar.” [13]
Landasan Syariah Murabahah
Al-Quran
3........ ¨@ymr&ur ª!$# yìøt7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$# 4.......
“Dan
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. Al-Baqarah
2:275).
Al-Hadits
Dari Suhaib al-Rumi r.a, bahwa Rasulullah Saw, bersabda :
“Tiga hal yang didalamnya terdapat keberkatan : jual beli secara tangguh,
muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan
rumah, bukan untuk dijual” (HR. Ibn Majah).
2. JUAL
BELI SALAM
Pengertian jual beli salam
Jual beli salam adalah jual beli dengan ketentuan si pembeli
membayar saat ini untuk barang yang akan diterimanya di masa mendatang. Sekilas
jual beli salam hampir sama dengan jual beli ijon. Perbedaan jual beli ijon
dengan jual beli salam yakni, praktek ijon yaitu menjual suatu barang yang
tidak jelas jumlahnya, sementara pembeli (pengijon) telah membayar barang
tersebut. Sedangkan, dalam jual beli salam, barang tersebut ditentukan secara
jelas kuantitas, kualitas, dan waktu penyerahannya. Misalnya, “saya beli mangga
arumanis sejumlah 100 kg, saya bayar sekarang seharga Rp. 2000 per kg dan akan
saya terima mangganya dua bulan mendatang. Praktek jual beli salam banyak
ditemukan pada masyarakat Madinah zaman Rasulullah saw. Dalam fikih islam, jual
beli salam disebut juga jual beli salaf atau mafalis.[14]
Ketika Rasulullah hijrah ke Madinah, ia menemui banyak orang
yang melakukan jual beli salaf dengan jangka waktu dua dan tiga tahun.
Rasulullah bersabda : “barang siapa yang melakukan salaf, ia harus
melakukannya untuk barang yang jelas berat dan ukurannya dan untuk jangka waktu
yang pasti.” (HR. Bukhari).
Landasan jual beli salam juga terdapat dalam Al-Qur’an yaitu
surat Al-Baqarah ayat 282, yang berbunyi :
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sÎ) LäêZt#ys? AûøïyÎ/ #n<Î) 9@y_r& wK|¡B çnqç7çFò2$$sù 4 ……….
Hai orang-orang yang beriman,
apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan,
hendaklah kamu menuliskannya” (Al-Baqarah: 282).
3. JUAL
BELI ISTISHNA’
Produk istishna menyerupai produk salam, namun dalam
istishna pembayarannya dapat dilakukan oleh bank syariah dalam beberapa kali
(termin) pembayaran dalam jangka waktu
tertentu sesuai dengan kesepakatan. Sistim istishna dalam bank syariah umumnya diaplikasikan
pada pembiayaan manufaktur dan konstruksi.
tertentu sesuai dengan kesepakatan. Sistim istishna dalam bank syariah umumnya diaplikasikan
pada pembiayaan manufaktur dan konstruksi.
Karena istishna’ merupakan jenis khusus dari salam, maka
secara umum landasan syariah yang berlaku pada salam juga berlaku pada
istishna’.
Mazhab Hanafi menyetujui kontrak istishna’ atas dasar
istihsan karena alasan berikut :
Ø Masyarakat
telah mempraktikkan istishna’ secara luas tanpa ada keberatan
Ø Dalam
syariah dimungkinkan adanya penyimpangan terhadap qiyas berdasarkan ijma’ ulama
Ø Istishna’
didasarkan atas kebutuhan masyarakat
Ø Sesuai
dengan aturan umum mengenai kebolehan kontrak selama tidak bertentangan dengan
nash atau aturan syariah
Syarat utama istishna’ adalah sama dengan pembiayaan salam
yakni spesifikasi barang dapat
ditentukan dengan jelas. Umumnya pembiayaan istishna’ dilakukan untuk membiayai
pembangunan konstruksi.[15]
ditentukan dengan jelas. Umumnya pembiayaan istishna’ dilakukan untuk membiayai
pembangunan konstruksi.[15]
Contoh, Pak Badu ingin membangun ruko di atas tanah yang
dimilikinya maka Pak Badu
melakukan transaksi jual beli kepada Bank Syariah. Bank Syariah akan menetapkan harga jual
ruko yang akan dibangun tersebut kepada Pak Badu dan Pak Badu harus mencicil sampai dengan
lunas berdasarkan kesepakatan. Bank Syariah juga akan menunjuk kontraktor yang akan
membangun ruko tersebut dan membayar kontraktor sesuai dengan termin pembayaran yang
disepakati sampai bangunan ruko tersebut selesai dikerjakan.[16]
melakukan transaksi jual beli kepada Bank Syariah. Bank Syariah akan menetapkan harga jual
ruko yang akan dibangun tersebut kepada Pak Badu dan Pak Badu harus mencicil sampai dengan
lunas berdasarkan kesepakatan. Bank Syariah juga akan menunjuk kontraktor yang akan
membangun ruko tersebut dan membayar kontraktor sesuai dengan termin pembayaran yang
disepakati sampai bangunan ruko tersebut selesai dikerjakan.[16]
4. JUAL
BELI SHARF
Pengertian Sharf
Sharf adalah jual beli mata uang. Pada prinsipnya jual-beli valuta
asing sejalan dengan prinsip sharf. Jual beli mata uang yang tidak sejenis ini,
penyerahannya harus dilakukan pada waktu yang sama (spot). Bank mengambil
keuntungan dari jual beli valuta asing ini.
Landasan
Syariah Sharf
Al-Qur'an
3 ¨@ymr&ur ª!$# yìøt7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$# ………..4
“Dan Allah telah menghalalkan jual
beli dan mengharamkan riba” (QS. Al-Baqarah 2:275).
Al-Hadits
“(Juallah) emas dengan emas, perak
dengan perak, gandum dengan gandum, sya'ir dengan sya'ir, kurma dengan kurma,
dan garam dengan garam (dengan syarat harus) sama dan sejenis serta secara
tunai. Jika jenisnya berbeda, juallah sekehendakmu jika dilakukan secara
tunai.” (HR Muslim)
Syarat-syarat
Sharf :
Ø Pertukaran
harus dilakukan secara tunai (spot), untuk penyerahan pada saat itu (over the
counter) atau penyelesaian paling lambat dalam jangka waktu dua hari.
Ø Motif
pertukaran adalah dalam rangka mendukung transaksi perdagangan barang dan jasa antarbangsa, bukan dalam rangka
spekulasi.
Ø Bukan
jual beli bersyarat. Misalnya, A setuju membeli barang dari B hari ini dengan
syarat B harus membelinya kembali pada tanggal tertentu di masa mendatang.
Ø Transaksi
berjangka harus dilakukan dengan pihak-pihak yang diyakini mampu menyediakan
valuta asing yang dipertukarkan
Ø Tidak
menjual barang yang belum dikuasai atau tanpa hak kepemilikan Sharf yang
dilarang.
Ø Perdagangan
tanpa penyerahan (future non-delivery trading) atau margin trading
Ø Jual
beli valas bukan transaksi komersial (arbitrage), baik spot maupun forward
Ø Melakukan
penjualan melebihi jumlah yang dimiliki atau dibeli (oversold).[17]
KESIMPULAN
- Perekonomian Barter adalah suatu kancah perekonomian yang dalam system transaksinya barang dipertukarkan dengan barang. Sedangkan Perekonomian Moneter adalah suatu kancah perekonomian yang dalam system transaksinya barang dipertukarkan dengan uang.
- Macam-macam jual beli yang sah menurut islam ada 4 yaitu : Jual beli murabahah, jual beli salam, jual beli istishna’, dan jual beli sharf
[1] R. Rusli Karim. Berbagai
Aspek Ekonomi Islam, (Yogyakarta : PT. Tiara Wacana, 1992) h. 112-113
[2] Ibid, h. 113
[3] Ibid, h. 113
[4] Ibid, h. 113-114
[5] Suhrawardi K. Lubis.
Hukum Ekonomi Islam Cet. 2, (Jakarta : Sinar Grafika, 2000), h. 18-19
[6] R. Rusli Karim. Berbagai
Aspek ……………. h. 114
[7] Suhrawardi K. Lubis.
Hukum Ekonomi……….. h. 19
[8] Ibid, h. 20.
Suhrawardi K. Lubis mengutip dari buku karya Mahmud Abu Saud dengan judul
“Garis-garis Besar Ekonomi Islam”
[9]
Ahmad Saeed, Menyoal Bank Syariah Kritik atas Interpretasi Bunga Bank Kaum Neo-Revivalis, terj. Arif Maftuhin,
(Jakarta: Paramadina 2004), p.147.
[13] H. Adiwarman A. Karim. Ekonomi Islam Suatu Kajian
Kontemporer, (Jakarta : Gema Insani Press, 2001), h. 86
[14] Ibid, 92
[16] Ibid,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar