Minggu, 08 Desember 2013

HUKUM JUAL BELI




A.    BENTUK-BENTUK PEREKONOMIAN
1.      PEREKONOMIAN BARTER
Perekonomian barter adalah suatu kancah perekonomian yang dalam system transaksinya barang dipertukarkan dengan barang. Perekonomian semacam ini pernah berlangsung dahulu kala semasa uang (dalam bentuknya seperti sekarang) belum ditemukan. Bahkan belum disepakati satu macam barang tertentu yang berfungsi sebagai media pertukaran (medium of exchange).  Pada saat itu setiap barang dapat dipertukarkan dengan barang lain. Setiap barang pada dasarnya berfungsi atau dapat difungsikan sebagai uang, sepanjang terdapat kesepakatan di antara pihak-pihak yang saling bertransaksi; baik mengenai jenis barang yang dipertukarkan maupun mengenai rasio tukar (term of trade)-nya.[1]
Menarik untuk dilacak, apakah pada tempo dulu (masa-masa awal kelahiran atau peradaban islam) pola perdagangan barter ini juga dipraktekkan. Besar kemungkinan, pada masa Rosulullah pola demikian tidak berlangsung secara meluas. Sepanjang pengetahuan, pada masa Nabi berdagang ke Negeri Syam ketika itu sudah menggunakan uang. Walaupun demikian, konfirmasi mengenai hal ini perlu dilakukan; yakni dengan menelusur sejarah kapan pertama kali uang (setidak-tidaknya berupa “uang komoditas” atau “uang barang”) ditemukan dan digunakan. [2]
Perdagangan dengan pola barter rasanya bukanlah sesuatu yang terlarang dalam islam, sepanjang terdapat kesukarelaan di antara pihak-pihak yang bertransaksi. karena pola barter masih saja berlangsung di zaman modern ini, maka penerapannya di masa kini bukanlah suatu keanehan. Ditinjau dari satu segi, pola barter ini potensial melambangkan laju inflasi karena pertimbangan tingkat suku bunga relative tersingkir berkat tidak digunakannya uang. Akan tetapi, ditinjau dari segi lain pelaksanaannya tidaklah mudah. Ihwal “keserasian ganda dalam hal keinginan” (multiple coincidence of wants), yang merupakan syarat terjadinya barter, sering sukar terpenuhi.
Pola barter tidak pula menjamin terhindarnya orang dari praktek-praktek riba. Apalagi jika salah satu pihak yang bertransaksi dalam posisi terdesak atau lebih lemah, cenderung menimbulkan pemerasan atau penekanan. Bentuk keribaannya bukan peribaan uang, tetapi peribaan barang.[3]
2.      PEREKONOMIAN MONETER
Uang yang sekarang kita gunakan secara definisional memenuhi tiga syarat utama, dan secara konseptual memenuhi beberapa syarat pelengkap. Ketiga definisional uang adalah diterima umum dalam arti digunakan secara  meluas, berfungsi setidak-tidaknya sebagai alat pembayaran dan syah, dalam artian diakui oleh pemerintah. Uang kertas (sebagian logam) yang dipakai sehari-hari memenuhi beberapa syarat konseptual yang diidealkan orang tentang sifat dan bentuknya. Syarat-syarat konseptual itu antara lain : mudah dikenali (cognizable), mudah dibawa kemana-kemana (portable), bahannya awet (durable), dan pembuatan recehan tidak menimbulkan masalah (divisible).[4]
Fungsi uang dalam perekonomian modern yaitu : alat pembayaran atau media pertukaran, satuan hitung atau pengukur nilai (unit of accounts), alat penimbun kekayaan (store of value), dan satuan atau standar pembayaran tundaan (standard of deferred payments).[5] Hal penting yang perlu diperhatikan berkenaan dengan uang ialah fungsi, kedudukan, atau peranannya sebagai satuan hitung atau pengukur nilai. Teori nilai uang (value teori of money) dalam kaitannya dengan preferensi waktu (time preference), menyatakan bahwa uang yang nilainya sama berdaya beli lebih rendah di masa yang akan datang dibandingkan pada masa sekarang. Premis inilah yang menjadi dasar legitimasi praktek pembuangan uang. Premis ini telah mengajarkan manusia modern untuk menuntut jumlah nominal yang lebih besar di masa yang akan datang daripada menuntut jumlahnya pada saat sekarang, agar uang tersebut memiliki daya beli setara.[6]
Menurut pandangan islam, pemilikan uang tidaklah dilarang. Yang dilarang adalah menumpuk uang untuk mendapatkan keuntungan dari orang lain, surat At-Taubah : 34, yaitu :
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä ¨bÎ) #ZŽÏWŸ2 šÆÏiB Í$t6ômF{$# Èb$t7÷d9$#ur tbqè=ä.ù'us9 tAºuqøBr& Ĩ$¨Y9$# È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ šcrÝÁtƒur `tã È@Î6y «!$# 3 šúïÏ%©!$#ur šcrãÉ\õ3tƒ |=yd©%!$# spžÒÏÿø9$#ur Ÿwur $pktXqà)ÏÿZムÎû È@Î6y «!$# Nèd÷ŽÅe³t7sù A>#xyèÎ/ 5OŠÏ9r& ÇÌÍÈ  
Untuk memiliki uang dan mendapatkan uang Allah berfirman :
È….. (#qè=yJôã$# uŽz|¡sù ª!$# ö/ä3n=uHxå ¼ã&è!qßuur tbqãZÏB÷sßJø9$#ur ( ……..
”…….bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaan kamu….” (QS. At-Taubah : 105).

Akan tetapi islam tidak membolehkan siapapun menundukkan dan menindas (mengeksploitasi) orang lain dengan mengumpulkan atau menimbun uang lalu meminjamkannya kepada orang lain dengan memungut bunga (riba). Hal itu dapat memblokir serta menusuk perekonomian dan produksi, merampas hak-hak ekonomi yang bersifat menghalangi terciptanya proses kesejahteraan sosial.[7]
Oleh karena itu Mahmud Abu Saud mengemukakan :
1.      Tidak dibenarkan menumpuk uang oleh siapapun juga karena akan menjadikan uang terpusat pada perorangan atau pada kelompok tertentu yang akan mengakibatkan uang menjadi “beku”.
2.      Memperdagangkan uang untuk mendapatkan uang harus dicegah karena Al-Qur’an melarangnya.
3.      Tidak dibenarkan meminjamkan uang dengan bunga karena tidak adil.
4.      Unsure-unsur yang menodai kesucian uang tidak dapat ditoleransi karena dapat membawa manusia kepada kekafiran.
5.      Uang tidak dimaksudkan untuk memperbudak manusia karena manusia adalah makhluk yang paling sempurna.[8]

B.     PENGERTIAN JUAL BELI (PERDAGANGAN)
C.    PERDAGANGAN ATAU JUAL BELI YANG SAH
1.      JUAL BELI MURABAHAH
Pengertian Murabahah
Murabahah adalah suatu jenis penjualan dengan pembayaran tunda dengan suatau transaksi perdagangan murni. Bank-bank syari'ah menggunakan kontrak murabahah dalam aktifitas pembiayaan mereka. Pembiayaan semacam ini sekarang telah mencapai lebih dari tujuh lima persen dari total pembiayaan yang dilakukan oleh bank-bank syari'ah.[9]
Menurut Ibnu Rusyd, sebagaimana dikutip oleh Syafi’i Antonio, mengatakan bahwa murabahah adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Dalam jual beli jenis ini, penjual harus memberitahu harga barang yang ia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya.[10] Sedangkan menurut Wahbah Zuhaili, transaksi murabahah adalah jual beli dengan harga awal ditambah dengan keuntungan tertentu.[11]
Dengan memperhatikan dari pengertian-pengertian yang dikemukakan oleh para ulama di atas, dapat dipahami bahwa murabahah adalah menjual suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga lebih sebagai margin (keuntungan). Aplikasi pembiayaan murabahah pada bank syari'ah dapat digunakan untuk pembelian barang konsumsi maupun barang dagangan (pembiayaan tambah modal) yang pembayarannya dapat dilakukan secara tangguh (jatuh tempo/angsuran).
Dalam murabahah, penjual harus memberitahu harga produk yang dia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya. Murabahah dapat dilakukan untuk pembelian dengan sistem pemesanan. Dalam hal ini calon pembeli atau pemesan dapan memesan kepada sesorang (sebut saja pembeli) untuk membelikan suatu barang tertentu yang diinginkannya. Kedua belah pihak membuat kesepakatan mengenai barang tersebut serta kemungkinan harga asal pembelian yang masih sanggup ditanggung pemesan. Setelah itu, kedua belah pihak juga harus menyepakati beberapa keuntungan atau tambahan yang harus dibayar pemesan. Jual beli kedua belah pihak dilakukan setelah barang tersebut berada di tangan pemesan.[12]
Karakteristik murabahah adalah si penjual harus memberi tahu pembeli tentang harga pembelian  barang dan menyatakan jumlah keuntungan yang ditambahkan. Misalnya, si fulan membeli unta 30 dinar, biaya-biaya yang dikeluarkan 5 dinar, maka ketika menawarkan untanya mengatakan :”saya jual untanya unta ini 50 dinar, saya mengambil keuntungan 15 dinar.” [13]
Landasan Syariah Murabahah
Al-Quran
3........ ¨@ymr&ur ª!$# yìøt7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$# 4....... 

“Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. Al-Baqarah 2:275).

Al-Hadits
Dari Suhaib al-Rumi r.a, bahwa Rasulullah Saw, bersabda : “Tiga hal yang didalamnya terdapat keberkatan : jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual” (HR. Ibn Majah).

2.      JUAL BELI SALAM
Pengertian jual beli salam
Jual beli salam adalah jual beli dengan ketentuan si pembeli membayar saat ini untuk barang yang akan diterimanya di masa mendatang. Sekilas jual beli salam hampir sama dengan jual beli ijon. Perbedaan jual beli ijon dengan jual beli salam yakni, praktek ijon yaitu menjual suatu barang yang tidak jelas jumlahnya, sementara pembeli (pengijon) telah membayar barang tersebut. Sedangkan, dalam jual beli salam, barang tersebut ditentukan secara jelas kuantitas, kualitas, dan waktu penyerahannya. Misalnya, “saya beli mangga arumanis sejumlah 100 kg, saya bayar sekarang seharga Rp. 2000 per kg dan akan saya terima mangganya dua bulan mendatang. Praktek jual beli salam banyak ditemukan pada masyarakat Madinah zaman Rasulullah saw. Dalam fikih islam, jual beli salam disebut juga jual beli salaf atau mafalis.[14]
Ketika Rasulullah hijrah ke Madinah, ia menemui banyak orang yang melakukan jual beli salaf dengan jangka waktu dua dan tiga tahun. Rasulullah bersabda : “barang siapa yang melakukan salaf, ia harus melakukannya untuk barang yang jelas berat dan ukurannya dan untuk jangka waktu yang pasti.” (HR. Bukhari).
Landasan jual beli salam juga terdapat dalam Al-Qur’an yaitu surat Al-Baqarah ayat 282, yang berbunyi :
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) LäêZtƒ#ys? AûøïyÎ/ #n<Î) 9@y_r& wK|¡B çnqç7çFò2$$sù 4 ……….
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya” (Al-Baqarah: 282).

3.      JUAL BELI ISTISHNA’
Produk istishna menyerupai produk salam, namun dalam istishna pembayarannya dapat dilakukan oleh bank syariah dalam beberapa kali (termin) pembayaran dalam jangka waktu
tertentu sesuai dengan kesepakatan. Sistim istishna dalam bank syariah umumnya diaplikasikan
pada pembiayaan manufaktur dan konstruksi.
Karena istishna’ merupakan jenis khusus dari salam, maka secara umum landasan syariah yang berlaku pada salam juga berlaku pada istishna’.
Mazhab Hanafi menyetujui kontrak istishna’ atas dasar istihsan karena alasan berikut :
Ø  Masyarakat telah mempraktikkan istishna’ secara luas tanpa ada keberatan
Ø  Dalam syariah dimungkinkan adanya penyimpangan terhadap qiyas berdasarkan ijma’ ulama
Ø  Istishna’ didasarkan atas kebutuhan masyarakat
Ø  Sesuai dengan aturan umum mengenai kebolehan kontrak selama tidak bertentangan dengan nash atau aturan syariah
Syarat utama istishna’ adalah sama dengan pembiayaan salam yakni spesifikasi barang dapat
ditentukan dengan jelas. Umumnya pembiayaan istishna’ dilakukan untuk membiayai
pembangunan konstruksi.[15]
Contoh, Pak Badu ingin membangun ruko di atas tanah yang dimilikinya maka Pak Badu
melakukan transaksi jual beli kepada Bank Syariah. Bank Syariah akan menetapkan harga jual
ruko yang akan dibangun tersebut kepada Pak Badu dan Pak Badu harus mencicil sampai dengan
lunas berdasarkan kesepakatan. Bank Syariah juga akan menunjuk kontraktor yang akan
membangun ruko tersebut dan membayar kontraktor sesuai dengan termin pembayaran yang
disepakati sampai bangunan ruko tersebut selesai dikerjakan.[16]

4.      JUAL BELI SHARF
Pengertian Sharf
Sharf adalah jual beli mata uang. Pada prinsipnya jual-beli valuta asing sejalan dengan prinsip sharf. Jual beli mata uang yang tidak sejenis ini, penyerahannya harus dilakukan pada waktu yang sama (spot). Bank mengambil keuntungan dari jual beli valuta asing ini.
Landasan Syariah Sharf
Al-Qur'an
3 ¨@ymr&ur ª!$# yìøt7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$# ………..4
“Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. Al-Baqarah 2:275).
Al-Hadits
“(Juallah) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya'ir dengan sya'ir, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam (dengan syarat harus) sama dan sejenis serta secara tunai. Jika jenisnya berbeda, juallah sekehendakmu jika dilakukan secara tunai.” (HR Muslim)
Syarat-syarat Sharf :
Ø  Pertukaran harus dilakukan secara tunai (spot), untuk penyerahan pada saat itu (over the counter) atau penyelesaian paling lambat dalam jangka waktu dua hari.
Ø  Motif pertukaran adalah dalam rangka mendukung transaksi perdagangan barang dan  jasa antarbangsa, bukan dalam rangka spekulasi.
Ø  Bukan jual beli bersyarat. Misalnya, A setuju membeli barang dari B hari ini dengan syarat B harus membelinya kembali pada tanggal tertentu di masa mendatang.
Ø  Transaksi berjangka harus dilakukan dengan pihak-pihak yang diyakini mampu menyediakan valuta asing yang dipertukarkan
Ø  Tidak menjual barang yang belum dikuasai atau tanpa hak kepemilikan Sharf yang dilarang.
Ø  Perdagangan tanpa penyerahan (future non-delivery trading) atau margin trading
Ø  Jual beli valas bukan transaksi komersial (arbitrage), baik spot maupun forward
Ø  Melakukan penjualan melebihi jumlah yang dimiliki atau dibeli (oversold).[17]





KESIMPULAN
  1. Perekonomian Barter adalah suatu kancah perekonomian yang dalam system transaksinya barang dipertukarkan dengan barang. Sedangkan Perekonomian Moneter adalah suatu kancah perekonomian yang dalam system transaksinya barang dipertukarkan dengan uang.
  2. Macam-macam jual beli yang sah menurut islam ada 4 yaitu : Jual beli murabahah, jual beli salam, jual beli istishna’, dan jual beli sharf






[1] R. Rusli Karim. Berbagai Aspek Ekonomi Islam, (Yogyakarta : PT. Tiara Wacana, 1992) h. 112-113
[2] Ibid, h. 113
[3] Ibid, h. 113
[4] Ibid, h. 113-114
[5] Suhrawardi K. Lubis. Hukum Ekonomi Islam Cet. 2, (Jakarta : Sinar Grafika, 2000), h. 18-19
[6] R. Rusli Karim. Berbagai Aspek …………….  h. 114
[7] Suhrawardi K. Lubis. Hukum Ekonomi……….. h. 19
[8] Ibid, h. 20. Suhrawardi K. Lubis mengutip dari buku karya Mahmud Abu Saud dengan judul “Garis-garis Besar Ekonomi Islam”
[9] Ahmad Saeed, Menyoal Bank Syariah Kritik atas Interpretasi Bunga Bank Kaum Neo-Revivalis, terj. Arif Maftuhin, (Jakarta: Paramadina 2004), p.147.
[10] M. Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani, 2001) p.101.
[11] Wahbah Az Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, (Damascus: Dar al-Fikr, 1997), p.3765.
[12] http://www.scribd.com/Jual-Beli-Dalam-Islam/d/8587207
[13] H. Adiwarman  A. Karim. Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, (Jakarta : Gema Insani Press, 2001), h. 86
[14] Ibid, 92
[15] http://www.scribd.com/Jual-Beli-Dalam-Islam/d/8587207
[16] Ibid,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar