HAK-HAK
ATAS TANAH MENURUT UUPA
(HAK
MILIK DAN HAK GUNA USAHA)
Diajukan
untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
“Hukum
Pertanahan”
Oleh:
Muhammad
Iqbal. M
Rizka
Fadhilatin
Syamsul
Arifin
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Agraria atau pertanahan adalah salah
satu sistem yang memiliki hukum tersendiri dalam sistem hukum nasional. Yang
mana masih banyak diantara masyarakat awam yang belum memahami tentang aturan
Agraria itu sendiri.
Sehingga dalam kehidupan
sehari-hari, ketika mereka dihadapkan pada persoalan perdata mereka sulit untuk
menyelesaikan masalah tersebut karena kurangnya pengetahuan tentang hukum
Agraria yang ada di Indonesia. Maka dari itu kami mengangkat judul ini agar supaya
kita lebih memahami tentang apa yang harus kita ketahui mengenai persoalan
hukum Agraria. Agar dalam menghadapi persoalan yang sesungguhnya kita tidak
lagi bingung untuk menentukan mana yang sebenarnya harus kita utamakan.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian Hak Milik dan Hak Guna Usaha?
2.
Siapa saja yang berhak memiliki Hak Milik dan Hak Guna Usaha?
3.
Kapan terjadi dan hapusnya Hak Milik dan Hak Guna Usaha?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk menjelaskan pengertian Hak Milik dan Hak Guna Usaha.
2.
Untuk menjelaskan siapa saja yang berhak memiliki Hak Milik dan Hak
Guna Usaha.
3.
Untuk menjelaskan kapan terjadi dan hapusnya Hak Milik dan Hak Guna
Usaha.
BAB
II
PEMBAHASAN
Dasar
hukum ketentuan hak-hak atas tanah diatur dalam pasal 4 ayat (1) UUPA, yaitu
“Atas dasar hak menguasai dari Negara atas tanah sebagai yang dimaksud dalam
pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut
tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri
maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum”.[1]
Hak
atas tanah bersumber dari hak menguasai dari Negara atas tanah dapat diberikan
kepada perorangan baik warga Negara Indonesia maupun warga Negara asing,
sekelompok orang secara bersama-sama dan badan hukum baik badan hukum privat
maupun badan hukum publik.
Macam- macam hak atas tanah dimuat dalam
Pasal 16 jo. Pasal 53 UUPA, yang dikelompokkan menjadi 3 bidang, yaitu:
1.
Hak atas tanah yang bersifat tetap
Yaitu
hak-hak atas tanah ini akan tetap ada selama UUPA masih berlaku atau belum
dicabut dengan undang-undang yang baru.
Macam-macam
hak atas tanah ini adalah Hak Pakai, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangungan, Hak
Pakai, Hak Sewa untuk Bangunan, Hak Membuka Tanah, dan Hak Memungut Hasil
Hutan.
2.
Haka atas tanah yang akan ditetapkan dengan undang-undang
Yaitu
hak atas tanah yang akan lahir kemudian, yang akan ditetapkan dengan
undang-undang. Hak atas tanah ini macamnya belum ada.
3.
Hak atas tanah yang bersifat sementara
Yaitu
hak atas tanah ini bersifat sementara, dalam waktu yang singkat akan dihapus
dikarenakan mengandung sifat-sifat pemerasan, mengandung sifat feudal, dan
bertentangan dengan jiwa UUPA.
Macam-macam
hak atas tanah ini adalah Hak Gadai (Gadai Tanah), Hak Usaha Bagi Hasil
(Perjanjian bagi Hasil), Hak Menumpang, dan Hak Sewa Tanah Pertanian.
Dari
segi asal tanahnya, hak atas tanah dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu:
a.
Hak atas tanah yang bersifat primer
Yaitu hak atas tanah yang berasal dari tanah Negara.
Macam-macam hak atas tanah ini adalah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak
Guna Bangunan Atas Tanah Negara, Hak Pakai Atas Tanah Negara.
b.
Hak atas tanah yang bersifat sekunder
Yaitu hak atas tanah yang berasal dari tanah pihak lain. Macam-macam
hak atas tanah ini adalah Hak Guna Bangunan atas tanah Hak pengelolaan, Hak
Guna Bangunan atas tanah Hak Milik, Hak Pakai Bangunan atas tanah Hak
pengelolaan, dll.
A.
Hak Milik
1.
Pengertian Hak Milik
Dalam UUPA,
pengertian akan Hak Milik seperti yang
dirumuskan di dalam pasal 20 UUPA yang disebutkan dalam ayat 1, Hak Milik
adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuhi, yang dapat dipunyai orang atas
tanah; ayat 2, Hak Milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. “Turun
temurun” artinya Hak Milik tidak hanya berlangsung selama hidupnya orang yang
mempunyai, tetapi dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya apabila pemiliknya
meninggal dunia. “Terkuat” menunjukkan Hak Milik tidak terbatas. Jadi berlainan
dengan Hak Guna Usaha atau hak guna bangunan yang jangka waktunya terbatas.
“Terpenuhi” artinya Hak Milik itu memberikan wewenang kepada empunya, yang
paling luas jika dibandingkan dengan hak yang lain.[2]
Pengertian Hak
Milik telah dirumuskan dalam pasal 570 KUHPerdata, yang artinya adalah hak
untuk menikmati suatu kebendaan dengan leluasa, dan untuk berbuat bebas
terhadap kebendaan itu, dengan kedaulatan sepenunya, asal tidak bertentangan
dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkannya, dan tidak
mengganggu hak-hak orang lain.
2.
Subjek hukum yang berhak
memiliki Hak Milik atas tanah.
Dalam kaitannya dengan Hak Milik atas tanah ini, maka hanya Warga
Negara Indonesia yang mempunyai Hak Milik, seperti yang secara tegas dirumuskan
dalam pasal 21 UUPA.
Ayat 1: Hanya Warga Negara Indonesia dapat mempunyai Hak Milik.
Ayat 2: Oleh pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat
mempunyai Hak Milik
dengan syarat-syarat.
Ayat 3: Orang asing yang sesudahnya berlakunya undang-undang ini memperoleh
Hak Milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena
perkawinan, demikian pula Warga Negara Indonesia yang mempunyai Hak Milik dan
setelah berlakunya Undang-undang ini kehilangan kewarga negaraannya wajib
melepaskan hak itu dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak
tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut
lampau, Hak Milik itu dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan
tanahnya jatuh pada negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang
membebaninya tetap berlangsung.
Ayat 4: Selama seorang di samping kewarganegaraan Indonesianya
mempunyai kewarganegaraan asing, maka ia tidak dapat mempunyai tanah dengan Hak
Milik dan baginya berlaku ketentuan dalam ayat (3) pasal ini.
Dalam kaitannya dengan Hak Milik atas tanah yang hanya berlaku bagi
Warga Negara Indonesia ini dapat diketahui di dalam penjelasan umum UUPA dalam
angka Romawi II angka 5, bahwa pemilik tanah dipakai asas kebangsaan, yang
ditegaskan bahwa sesuai dengan asas kebangsaan tersebut dalam pasal 1 maka
menurut pasal 9 jo pasal 21 ayat 1 hanya Warga Negara ndonesia saja yang dapat
mempunyai Hak Milik atas tanah, Hak Milik kepada orang asing dilarang (pasal 26
ayat 2). Orang-orang asing dapat mempunyai tanah dengan hak pakai yang luasnya
terbatas. Demikian juga pada dasarnya badan-badan hukum mempunyai Hak Milik
atas tanah, ialah karena badan-badan hukum tidak perlu mempunyai Hak Milik
tetapi cukup hak-hak lainnya, asal saja ada jaminan-jaminan yang cukup bagi keperluan-keperluan
yang khusus (Hak Guna Usaha, hak guna bangunan, hak pakai menurut pasal 28, 25
dan 41).
Meskipun pada
dasarnya badan-badan hukum tidak mempunyai Hak Milik atas tanah, tetapi
mengingat akan keperluan masyarakat yang sangat erat hubungannya dengan paham
keagamaan, sosial dan hubungan perekonomian, maka pemerintah memberikan
dispensasi dengan jalan menunjuk badan hukum yang dapat mempunyai Hak Milik
atas tanah (pasal 21 ayat 2). Akan tetapi Hak Milik tanah itu haruslah
dipergunakan untuk usahanaya dalam bidang sosial dan keagamaan. Dalam hal-hal
yang tidak langusng berhubungan dengan bidang itu mereka dianggap sebagai badan
hukum biasa.
Dalam penjelasan umum ini, seperti yang diatur dalam pasal 21 ayat
2 UUPA, pada dasarnya bahwa badan hukum tidak dimungkinkan untuk mempunyai Hak
Milik atas tanah, hal ini dikecualikan oleh Undang-undang serta peraturan
lainnya, seperti dapat kita lihat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun
1963, bahwa badan-badan hukum yang dapat diberikan Hak Milik adalah:
a.
Bank-bank yang didirikan oleh Negara.
b.
Perkumpulan-perkumpulan koperasi pertanian yang didirikan
berdasarkan Undang-undang Nomor 79 Tahun 1958.[3]
c.
Badan-badan keagamaan yang yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/
Agraria setelah mendengar Menteri Agama.
d.
Badan-badan sosial yang yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/
Agraria setelah mendengar Menteri Sosial.
3.
Terjadi Dan Hapusnya Hak
Milik Atas Tanah
Secara khusus mengenai terjadi dan hapusnya Hak Milik atas tanah,
UUPA menentukan adanya 2 pasal yang berkenaan dengan hal tersebut. Mengenai
terjadinya Hak Milik pengaturannya kita jumpai dalam pasal 22 UUPA:
a.
Terjadinya Hak Milik menurut hukum adat diatur dengan peraturan
pemerintah.
b.
Selain menurut cara sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 pasal
ini, Hak Milik terjadi karena:
a.
Penetapan pemerintah, menurut cara dan syarat yang ditetapkan
dengan peraturan pemerintah;
b.
Ketentuan Undang-undang.
Sedangkan mengenai hapusnya Hak
Milik disebutkan dalam pasal 27 UUPA:
a.
Tanahnya jatuh kepada Negara:
1.
Karena pencabutan hak berdasarkan pasal 18.
2.
Karena penyerahan dengan suka rela oleh pemiliknya.
3.
Karena diterlantarkan.
4.
Karena ketentuan pasal 21 ayat 3 dan pasal 26 ayat 2.
b.
Tanahnya musnah
Sebagai perbandingan mengenai hal
ini, dapat dikemukakan bagaimana Konsep Rancangan Undang-undang tentang Hak
Milik atas tanah yang disiusun oleh Fakultas Hukum Universitas Padjajaran
bekerja sama dengan Direktorat Agraria tahun 1979. Dalam rancangan ini empat
hal yang penulis kemukakan diatas diatur secara terpisah
1.
Pasal 10
Hak Milik atas tanah dapat terjadi karena: Undang-undang, Penetapan
pemerintah, Pembukaan tanah,Tanah timbul.
2.
Pasal 15
Hak Milik atas tanah dapat diperoleh dengan: jual beli, tukar-menukar,
hibah atau pemberian, pewarisan, dan wasiat.
3.
Pasal 44
(1)
Peralihan Hak Milik atas tanah dapat terjadi karena: jual beli,
tukar-menukar, hibah atau pemberian, wasiat, pewarisan, cara-cara lain yang sah
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2)
Setiap peralihan Hak Milik atas tanah tersebut ayat 1 dilakukan
menurut tata cara memperoleh Hak Milik menurut undang-undang yang ini.
4.
Pasal 52
Hak Milik atas tanah hapus karena:
a.
Tanahnya musnah.
b.
Penetapan undang-undang, tanahnya kembali pada penguasa Negara,
antara lain karena diterlantarkan, pemiliknya orang asing, pemiliknya yang
melebihi penetapan batas maksimum.
c.
Penyerahan dengan suka rela oleh pemiliknya, antara lain:
pewakafan, dan penghibahan kepada Negara.
d.
Pengembalian pada penguasa Negara melalui: Pelepasan hak, dan
pembebasan tanah.
e.
Pencabutan hak demi kepentingan umum oleh Negara.
Dengan hanya berlandaskan pada ketentuan pasal
22 dan 27 UUPA saja, maka pembicaraan kita mengenai terjadi dan hapusnya Hak
Milik ini hanya berkenaan dengan:
a.
Terjadinya Hak Milik menurut hukum adat.
Atas dasar ketentuan hukum adat, Hak Milik dapat terdjadi karena
proses pertumbuhan tanah di tepi sungai atau di pinggir laut. Pertumbuhan tanah
ini menciptakan tanah baru yang disebut “lidah tanah”. Lidah tanah ini biasanya
menjadi milik yang punya tanah yang berbatasan. Selain itu dapat juga Hak Milik
terjadi karena pembukaan tanah. Misalnya yang semula hutan, dibuka atau
ditanami oleh seseorang, sehingga ia mempunyai hak utama untuk menanami tanah
itu, setelah ditanami maka lahirlah hak pakai, dan hak pakai dalam waktu yang
lama bisa menjadi Hak Milik jika usaha atau modal yang ditanam itu terjadi
terus-menerus.
b.
Terjadinya Hak Milik karena penetapan pemerintah.
Cara terjadinya Hak Milik yang lazim yaitu yang diberikan oleh
pemerintah dengan suatu penetapan. Yang boleh memberikan Hak Milik hanya
pemerintah. Seorang pemegang hak atas tanah lainnya tidak boleh memberikan Hak
Milik. Yang boleh dilakukannya adalah mengalihkan Hak Miliknya. Tanah yang
boleh diberikan oleh pemerintah dengan Hak Milik itu, ialah Tanah Negara. Jadi
tidak ada hak pihak lain selain hak Negara.
c.
Terjadinya Hak Milik karena ketentuan undang-undang.
Terjadinya Hak Milik yang ketiga ini adalah atas dasar ketentuan
konversi menurut UUPA. Karena pada tanggal 24 september 1960, semua hak-hak
atas tanah yang ada diubah menjadi salah satu hak baru. Perubahan itu disebut konversi.
Maka hak-hak yang dikoncersi menjadi Hak Milik , yaitu yang berasal dari:
hak Eigendom kepunyaan badan hukum yang memenuhi syarat, hak Eigendom yang pada
tanggal itu, dipunyai oleh WNI tunggaldan dalam waktu 6 bulan datang
membuktikan kewarganegaraannya di kantor KPT, Hak Milik Indonesia dan hak
semacam itu, yang pada tanggal itu dipunyai WNI atau badan hukum yang mempunyai
syarat sebagai subjek Hak Milik, hak gogolan yang bersifat tetap.[4]
d.
Hapusnya Hak Milik karena pencabutan hak.
Menurut pasal 18 UUPA untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan
bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah
dapat dicabut, dengan memberi ganti rugi yang layak dan menurut cara-cara yang
diatur dengan undang-undang. Mengenai pencabutan hak atas tanah ini telah
dikeluarkan peraturan pelaksana seperti undang-undang No. 20 Tahun 1961, PP No.
39 tahun 1973, instruksi Presiden No. 9 Tahun 1973. Prosedur untuk pencabutan
hak cukup berat, panjang dan rumit. Hal ini dikarenakan pencabutan hak tersebut
harus dilakukan oleh presiden melalui keputusan presiden yang akan mencabut hak
atas tanah seseorang tanpa yang bersangkutan melakukan suatu pelanggaran hukum.
Adanya ketentuan semacam ini menunjukkan kepada kita, bahwa walaupun Hak Milikitu
sudah dinyatakan sebagai hak yang terkuat dan terpenuh, akan tetapi bukan
berarti mutlak sehingga tidak dapat diganggu gugat. Dengan ketentuan ini,
ternyata bilamana kepentingan yang lebih tinggi menghendaki, dapat saja
mencabut hak yang sudah diberikan kepada subjek hukum pemegang hak yang
bersangkutan.
e.
Hapusnya Hak Milik karena penyerahan dengan suka rela oleh
pemiliknya.
Hak Milik juga menjadi hapus jika tanahnya jatuh kepada negara
karena diserahkan dengan sukarela oleh pemiliknya. Biasanya penyerahan tanah
tersebut dilakukan dengan tujuan agar diberikan kemudian kepada suatu pihak
tertentu dengan hak tanah yang baru (Hak Guna Usaha, hak guna bangunan, hak
pengelolaan, atau hak pakai). Acara tersebut dikenal dari sudut pemilik
sebagai” melepaskan hak” dan dari sudut yang akan menerima haknya sebagai
“membebaskan hak”. Acara melepaskan hak atau membebaskan hak itu ditempuh jika
suatu pihak bermaksud untuk memperoleh dan menguasai tanah tertentu yang
berstatus Hak Milik, sedangkan ia sendiri tidak memenuhi syarat untuk mempunyau
hak itu. Mengalihkan Hak Milik itu langsung kepadanya akan mengakibatkan
berlakunya pasal 26.
f.
Hapusnya Hak Milik karena tanahnya diterlantarkan.
Hak Milik atas tanah menjadi hapus karena pemiliknya menelantarkan
tanah yang bersangkutan. Tanah yang diterlantarkan jatuh kepada negara. Menurut
UUPA tanah diterlantarkan jika dengan sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan
keadaannya atau tujuan dari haknya. Yang berhak menyatakan tanah tersebut dalam
keadaan terlantar adalah Menteri Dalam Negeri. Direktur Jendral Agraria atas
usul dari Kepala Kantor Agraria Provinsi dan tanahnya kembali menjadi tanah
yang dikuasai oleh negara.
g.
Hapusnya Hak Milik karena melanggar persyaratan yang ditentukan.
Hak Milik seseorang akan mejadi hapus jika persyaratan yang harus
ada dan dipunyai pemegang hak sudah dilanggarnya. Persyaratan utamanya
sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 21 ayat 1 “hanya warga negara Indonesia
yang dapat mempunyai Hak Milik” karena jika kewarganegaraan seseorang hilang
dan ada suatu perbuatan/peristiwa hukum tertentu yang menjadikan dia
mendapatkan Hak Milik atas tanah, Hak Milik tersebut tidak dibenarkan menurut
hukum. Ketentuan mengenai hal ini dicantumkan dalam pasal 21 ayat 3 dan pasal
26 ayat 2, karena Hak Milik tersebut akan menjadi hapus dengan berlakunya kedua
pasal tersebut.
h.
Hapusnya Hak Milik karena tanahnya musnah.
Dengan musnahnya tanah yang menjadi objek Hak Milik, maka sang
pemilik tidak dapat lagi memanfaatkan tanah yang bersangkutan dan haknya pun
menjadi hapus. Menurut Boedi Harsono, Hak Milik sebagai hubungan hukum yang
konkret antara suatu subjek dengan sebidang tanah tertentu, menjadi hapus bila
tanahnya musnah, karena objeknya tidak ada lagi.
Mengenai masalah
jangka waktu, sesuai dengan sifat aslinya dalam UUPA ditetapkan bahwa Hak
Miliktidak terbatas jangka waktu berlakunya. Dapat beralih karena pewarisan dan
dapat juga dijadikan jaminan utang.[5]
B. Hak Guna Usaha
1.
Pengertian Hak Guna Usaha
Menurut
pasal 28 ayat (1) UUPA, yang dimaksud dengan Hak Guna Usaha adalah hak untuk
mengusahakan tanah yang dikuasai oleh Negara, dalam jangka waktu sebagaimana
tersebut dalam pasal 29, guna perusahaan pertanian, perikanan, atau
perternakan. PP No.40 tahun 1996 menambahkan guna perusahaan perkebunan.[6]
Berlainan
dengan Hak Milik, tujuan penggunaan tanah yang dipunyai dengan Hak Guna Usaha
itu terbatas, yaitu pada usaha pertanian, perikanan, dan peternakan. Dalam
pengertian “pertanian” termasuk juga perkebunan. Oleh karena itu maka Hak Guna
Usaha tidak dapat dibebankan pada tanah Hak Milik. Hak Guna Usaha hanya dapat
diberikan oleh Negara (pemerintah).[7]
Pelaksanaan
lebih lanjut mengenai Hak Guna Usaha ini telah ada sejak dikeluarkannya PP
Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai
Atas Tanah.[8]
Ciri-ciri Hak
Guna Usaha
a.
Hak Guna Usaha tergolong hak atas tanah yang kuat, artinya tidak
mudah hapus dan mudah dipertahankan terhadap gangguan pihak lain.
b.
Hak Guna Usaha dapat beralih yaitu diwaris oleh ahli waris yang
empunya hak (pasal 28 ayat 3).
c.
Hak Guna Usaha jangka waktunya terbatas, pada suatu waktu pasti
akan berakhir (pasal 29).
d.
Hak Guna Usaha dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani hak
tanggungan (hipotek atau credietverband) (pasal 33)
e.
Hak Guna Usaha dapat dialihkan kepada pihak lain, yang itu dijual,
ditukarkan dengan benda lain, dihibahkan atau diberikan dengan wasiat
(dilegaatkan (pasal 28 ayat 3).
f.
Hak Guna Usaha dapat juga dilepaskan oleh yang empunya, hingga
tanahnya menjadi tanah Negara (pasal 34 huruf c).
g.
Hak Guna Usaha hanya dapat diberikan guna keperluan usaha
pertanian, perikanan, dan peternakan.[9]
2.
Subjek Hak Guna Usaha
Yang
dapat mempunyai (subjek hukum) Hak Guna Usaha menurut pasal 30 UUPA jo. Pasal 2
PP No. 40 Tahun 1996, adalah:
1.
Warga Negara Indonesia.
2.
Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan
di Indonesia (badan hukum Indonesia).[10]
Badan
hukum yang tidak didirikan menurut hukum Indonesia atau tidak berkedudukan di
Indonesia, tidak diperbolehkan mempunyai Hak Guna Usaha, sungguhpun mempunyai
perwakilan di Indonesia. Badan yang demikian hanya dapat menguasai tanah dengan
Hak Pakai atau Hak Sewa (pasal 42,45, dan 53)[11]
Menurut
Boedi Harsono badan-badan hukum Indonesia itu dapat berupa badan hukum yang
bermodal nasional, asing maupun patungan.[12]
3.
Luas Hak Guna Usaha
Luas
tanah Hak Guna Usaha adalah untuk perseorangan luas minimalnya 5 hektar dan
luas maksimalnya 25 hektar. Sedangkan untuk badan hukum luas minimalnya 5
hektar dan luas maksimalnya ditetapkan oleh kepala Badan Pertanahan Nasional
(pasal 28 ayat (2) UUPA jo. Pasal 5 PP No. 40 Tahun 1996).[13]
4.
Terjadinya Hak Guna Usaha
Hak Guna Usaha terjadi dengan penetapan pemerintah. Hak Guna Usaha
ini terjadi melalui permohonan pemberian Hak Guna Usaha oleh pemohon kepada
Badan Pertanahan Nasional. Apabila semua persyaratan yang ditentukan dalam permohonan
tersebut dipenuhi, maka Badan Pertanahan Nasional menerbitkan Surat Keputusan
Pemberian Hak (SKPH). SKPH ini wajib didaftarkan ke Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota setempat untuk dicatat dalam Buku Tanah dan diterbitkan
sertifikat sebagai tanda bukti haknya. Pendaftaran SKPH tersebut menandai
lahirnya HGU (Pasal 31 UUPA jo. Pasal 6 dan Pasal 7 PP No. 40 Tahun 1996)[14]
5.
Jangka Waktu
Pasal 8 PP No. 40 Tahun 1996 mengatur bahwasanya jangk1a waktu Hak
Guna Usaha untuk pertama kalinya adalah paling lama 35 tahun, diperpanjang
paling lama 25 tahun dan diperbaharui paling lama 35 tahun. Permohonan
perpanjangan jangka waktu atau pembaharuan Hak Guna Usaha diajukan
selambat-lambatnya dua tahun sebelum berakhirnya jangka waktu Hak Guna Usaha
tersebut. Perpanjangan atau pembaharuan Hak Guna Usaha dicatat dalam Buku Tanah
pada kantor Pertanahan Kabupaten / kota setempat. Persyaratan yang harus
dipenuhi oleh pemegang hak untuk perpanjangan jangka waktu atau pembaharuan hak
Guna Usaha adalah:
a.
Tanah masih diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat,
dan tujuan pemberian hak tersebut;
b.
Syarat-syarat pemberian hak tersebut terpenuhi dengan baik oleh
pemegang hak; dan
c.
Pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak.[15]
6.
Hapusnya Hak Guna Usaha
Dalam
Pasal 34 UUPA Tahun 1960 dinyatakan bahwa Hak Guna Hapus karena:[16]
1.
Jangka waktunya berakhir;
2.
Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuai syarat
tidak dipenuhi;
3.
Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktu berakhir;
4.
Dicabut untuk kepentingan umum;
5.
Diterlantarkan;
6.
Tanahnya musnah;
7.
Ketentuan dalam pasal 30 ayat (2).
BAB III
PENUTUP
A.
Hak Milik
1.
Pengertian Hak Milik
Hak Milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuhi, yang
dapat dipunyai orang atas tanah; ayat 2, Hak Milik dapat beralih dan dialihkan
kepada pihak lain.
2.
Subjek hukum yang berhak memiliki Hak Milik atas tanah.
Sesuai pasal 21 UUPA.
Ayat 1: Hanya Warga Negara Indonesia dapat mempunyai Hak Milik.
Ayat 2: Oleh pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat
mempunyai Hak Milik dengan syarat-syarat.
Ayat 3: Orang asing yang sesudahnya berlakunya undang-undang ini
memperoleh Hak Milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta
karena perkawinan,
Ayat 4: Selama seorang di samping kewarganegaraan Indonesianya
mempunyai kewarganegaraan asing, maka ia tidak dapat mempunyai tanah dengan Hak
Milik.
3.
Terjadi Dan Hapusnya Hak Milik Atas Tanah
Terjadinya Hak Milik pengaturannya kita jumpai dalam pasal 22 UUPA:
a.
Terjadinya Hak Milik menurut hukum adat diatur dengan peraturan
pemerintah.
b.
Selain menurut cara sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 pasal
ini, Hak Milik terjadi karena:
1)
Penetapan pemerintah, menurut cara dan syarat yang ditetapkan
dengan peraturan pemerintah;
2)
Ketentuan Undang-undang.
Hapusnya Hak Milik disebutkan dalam pasal 27 UUPA:
a.
Tanahnya jatuh kepada Negara:
1)
Karena pencabutan hak berdasarkan pasal 18.
2)
Karena penyerahan dengan suka rela oleh pemiliknya.
3)
Karena diterlantarkan.
4)
Karena ketentuan pasal 21 ayat 3 dan pasal 26 ayat 2.
b.
Tanahnya musnah
B.
Hak Guna Usaha
1.
Pengertian Hak Guna Usaha
Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai
oleh Negara, dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam pasal 29, guna
perusahaan pertanian, perikanan, atau perternakan
2.
Subjek Hak Guna Usaha
Subjek hukum Hak Guna Usaha menurut pasal 30 UUPA adalah:
a.
Warga Negara Indonesia.
b.
Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan
di Indonesia (badan hukum Indonesia).
3.
Luas Hak Guna Usaha
Luas tanah Hak Guna Usaha adalah untuk perseorangan luas minimalnya
5 hektar dan luas maksimalnya 25 hektar. Sedangkan untuk badan hukum luas
minimalnya 5 hektar dan luas maksimalnya ditetapkan oleh kepala Badan
Pertanahan Nasional
4.
Terjadinya Hak Guna Usaha
Hak Guna Usaha terjadi dengan penetapan pemerintah. Hak Guna Usaha
ini terjadi melalui permohonan pemberian Hak Guna Usaha oleh pemohon kepada
Badan Pertanahan Nasional. Apabila semua persyaratan yang ditentukan dalam
permohonan tersebut dipenuhi, maka Badan Pertanahan Nasional menerbitkan Surat
Keputusan Pemberian Hak (SKPH). SKPH ini wajib didaftarkan ke Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota setempat untuk dicatat dalam Buku Tanah dan diterbitkan
sertifikat sebagai tanda bukti haknya.
5.
Jangka Waktu
Pasal 29:
(1)
Hak Guna Usaha diberikan paling lama 25 tahun.
(2)
Untuk perusahaan yang memerlukan waktu yang lebih lama dapat
diberikan Hak Guna Usaha-usaha untuk waktu paling lama 35 tahun.
(3)
Atas permintaan pemegang hak dan mengingat keadaan perusahaannya jangka
waktu yang dimaksud dalam ayat 1 dan 2 pasal ini dapat diperpanjang dengan
waktu paling lama 25 tahun.
6.
Hapusnya Hak Guna Usaha
Dalam
Pasal 34 UUPA Tahun 1960 dinyatakan bahwa Hak Guna Hapus karena:
1.
Jangka waktunya berakhir;
2.
Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuai syarat
tidak dipenuhi;
3.
Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktu berakhir;
4.
Dicabut untuk kepentingan umum;
5.
Diterlantarkan;
6.
Tanahnya musnah;
7.
Ketentuan dalam pasal 30 ayat (2).
DAFTAR
PUSTAKA
Boedi Harsono. 2005. Hukum Agraria Indonesia, Jilid I. Jakarta : Djambatan
Efendi
Perangin. 1991. Hukum Agraria di Indonesia. Jakarta :Rajawali
Urip
Santoso. 2008. Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah. Jakarta: Kencana
Soesilo dan Pramudji R. 2008. Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
----------: Rhedbook Publisher
Sudaryo
Soimin. 1994. Status Hak dan Pembebasan Tanah. Jakarta: Sinar Grafika
Supriadi.
2009. Hukum Agraria. Jakarta: Sinar Grafika
[1]
Soesilo dan Pramudji R. Kitab Undang-undang Hukum Perdata. (Rhedbook
Publisher, 2008), hal. 560
[2]
Efendi Perangin. Hukum Agraria di Indonesia, (Jakarta : Rajawali,1991), hal.
236-237
[3]
Sudaryao Soimin. Status Hak dan Pembebasan Tanah. (Jakarta: Sinar
Grafika, 1994), hal. 3-5
[4]
Ibid., hal. 242-243
[5]
Boedi Harsono. Hukum Agraria Indonesia,
Jilid I. (Jakarta : Djambatan, 2005), hal. 286
[6]
Urip Santoso. Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah, (Jakarta: Kencana, 2008),
hal. 99
[7] Efendi Perangin. Op. cit, hal. 258
[8] Supriadi. Hukum Agraria, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2009), hal. 110
[9] Efendi Perangin. Op. cit, hal. 259-260
[10]
Urip Santoso. Op. cit., hal. 99
[11]
Efendi Perangin. Op. cit., hal. 263
[12]
Boedi Harsono. Op. cit., hal. 287
[13]
Urip Santoso. Op. cit., hal. 99
[14]
Ibid., hal. 100
[15]
Urip Santoso. Op. cit., hal. 100-101
[16] Supriadi. Op. cit., hal. 114